Oleh : Yunahar Ilyas
Pada saaat itulah Jibril, yang berada tidak jauh dari tempat itu menyeru Maryam supaya tidak usah bersedih hati. Hai Maryam, jangan sedih, Allah tidak akan meninggalkanmu. Lihat dekatmu, Allah SWT telah menjadikan sebuah anak sungai yang mengalirkan air yang jernih. Engkau dapat minum, membersihkan diri dan bayimu di anak sungai tersebut. Allah SWT berfirman:
فَنَادَىٰهَا مِن تَحۡتِهَآ أَلَّا تَحۡزَنِي قَدۡ جَعَلَ رَبُّكِ تَحۡتَكِ سَرِيّٗا
”Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah: “Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu.” (Q.S. Maryam 19:24)
Sedangkan untuk makanan, Maryam tidak usah khawatir. Jibril menyuruhnya menggoyang pangkal pohon kurma tempat dia bersandar itu, niscaya buah kurma yang masak akan jatuh dan dapat dimakan oleh Maryam. Allah SWT berfirman:
وَهُزِّيٓ إِلَيۡكِ بِجِذۡعِ ٱلنَّخۡلَةِ تُسَٰقِطۡ عَلَيۡكِ رُطَبٗا جَنِيّٗا
“Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu “. (Q.S. Maryam 19:25)
Begitulah, dua kesulitan Maryam dapat diatasi dengan pertolongan Allah SWT. Tentang anak sungai itu, apakah sudah ada sebelum Maryam sampai di sana, tapi Maryam tidak menyadarinya, atau memang atas izin Allah anak sungai itu diciptakan khusus untuk keperluan Maryam? Tentang hal itu tidak ada keterangan dalam ayat tersebut. Kemungkinan pertama anak sungai itu sudah ada sebelumnya, tapi Maryam tidak menyadarinya karena konsentrasinya pada rasa sakit yang dialaminya menjelang melahirkan. Maryam baru menyadarinya setelah Jibril memberitahukannya. Kemungkinan kedua memang anak sungai itu belum ada sebelumnya, lalu Allah SWT mengadakannya untuk keperluan Maryam. Kemungkinan yang kedua ini juga mudah saja bagi Allah SWT
Tentang buah kurma yang masak (ruthaban janiyyan), baru jatuh setelah pangkal pohonnya digoyang oleh Maryam, sebenarnya kalau Allah menghendaki Maryam tidak perlu menggoyang batang kurma, buah kurma itu dapat saja jatuh sendiri ke hadapan Maryam. Lagi pula tenaga Maryam pada waktu itu sangat lemah, goyangannya tentu tidak akan kuat, tidak akan mampu menggugurkan buah kurma. Tetapi hal itu harus dilakukannya sebagai sebuah ikhtiar, hasilnya Allah yang menentukan. Peristiwa ini memberikan pelajaran kepada kita tentang pentingnya ikhtiar betapapun kecilnya. Jika seorang hamba beraikhtiar, Allah SWT tentu akan menolongnya untuk mencapai hasil yang diharapkan.
Malaikat Jibril mempersilahkan Maryam menikmati buah kurma. “Makanlah, minumlah, bersenang hatilah kamu” kata Jibril kepada Maryam. Allah SWT berfirman:
فَكُلِي وَٱشۡرَبِي وَقَرِّي عَيۡنٗاۖ فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ ٱلۡبَشَرِ أَحَدٗا فَقُولِيٓ إِنِّي نَذَرۡتُ لِلرَّحۡمَٰنِ صَوۡمٗا فَلَنۡ أُكَلِّمَ ٱلۡيَوۡمَ إِنسِيّٗا
“Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. jika kamu melihat seorang manusia, Maka katakanlah: “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang Maha pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini”. (Q.S. Maryam 19:26)
Maryam tentu tidak bisa selamanya bersembunyi dari orang banyak. Lambat laun dia pasti akan kembali kepada keluarga dan bergaul dengan masyarakat. Bagaimana menjelaskan apa yang akan terjadi. Kalau dia ceritakan kejadian sebenarnya, bahwa dia belum bersuami, dan belum pernah disentuh oleh lelaki manapun, tetapi hamil dan melahirkan anak. Dia hamil karena Malaikat Jibril meniupkan ruh dari Allah ke dalam tubuhnya. Siapa yang akan percaya dengan cerita tersebut? Apakah Yusuf an-Najar calon suaminya akan percaya? Barangkali yang akan percaya hanyalah Nabi Zakariya yang mengasuh Maryam waktu kecil di Baitul Maqdis. Zakariya bisa menyaksikan karamah yang diberikan Allah kepada Maryam. Setelah Zakariya, barangkali isterinya Hanah juga akan percaya karena dia bisa hamil walaupun sudah tua dan mandul atas izin Allah SWT. Tetapi bagaimana dengan masyarakat yang lainnya. Mereka tentu akan menuduh Maryam telah berzina, apalagi setelah melahirkan seorang bayi.
Untuk mengatasi kebingungan bagaimana menjelaskan apa yang terjadi itu, Allah SWT memerintahkan Jibril untuk menyampaikan kepada Maryam, agar tidak bicara. Jika ada yang bertanya jawab saja: “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang Maha pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini”
Setelah cukup kuat, Mayam menggendong bayinya dan membawanya pulang ke rumah orang tuanya, bertemu dengan tetangga dan karib kerabatnya. Persis seperti yang diduga, kaumnya menuduhnya telah berzina. Allah SWT berfirman:
فَأَتَتۡ بِهِۦ قَوۡمَهَا تَحۡمِلُهُۥۖ قَالُواْ يَٰمَرۡيَمُ لَقَدۡ جِئۡتِ شَيۡٔٗا فَرِيّٗا
“Maka Maryam membawa anak itu kepada kaumnya dengan menggendongnya. Kaumnya berkata: “Hai Maryam, sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang amat munkar.” (Q.S. Maryam 19:27)
يَٰٓأُخۡتَ هَٰرُونَ مَا كَانَ أَبُوكِ ٱمۡرَأَ سَوۡءٖ وَمَا كَانَتۡ أُمُّكِ بَغِيّٗا
“Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina”,(Q.S. Maryam 19:28)
Maryam dipanggil saudara perempuan Harun, karena ia seorang wanita yang Saleh seperti kesalehan Nabi Harun AS. (FN 102, Al-Qur’an dan Terjemahnya). Sesuai dengan petunjuk Allah, Maryam diam saja, tidak menjawab segala macam tuduhan dan makian tersebut. Dia menunjuk bayi yang waktu itu diletakkannya dalam ayunan. Dengan isyarat tangan Maryam mempersilahkan mereka bertanya langsung kepada bayinya itu. Tentu saja kaumnya heran dan jengkel. Bagaimana mungkin bayi dalam ayunan dapat berbicara. Allah SWT berfirman:
فَأَشَارَتۡ إِلَيۡهِۖ قَالُواْ كَيۡفَ نُكَلِّمُ مَن كَانَ فِي ٱلۡمَهۡدِ صَبِيّٗا
“Maka Maryam menunjuk kepada anaknya. mereka berkata: “Bagaimana Kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih di dalam ayunan?” “,(Q.S. Maryam 19:29)
Di luar dugaan mereka, Isa yang ada dalam ayunan berbicara. Allah SWT berfirman:
قَالَ إِنِّي عَبۡدُ ٱللَّهِ ءَاتَىٰنِيَ ٱلۡكِتَٰبَ وَجَعَلَنِي نَبِيّٗا
“Berkata Isa: “Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang Nabi,” (Q.S. Maryam 19:30)
Tentu saja mereka tercengang menyaksikan peristiwa luar biasa tersebut, bagaimana mungkin seorang bayi bisa berbicara. Dan pembicaraannya pun bukan hanya sekadar minta minum karena haus, tetapi menyatakan sesuatu yang sangat serius. “Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang Nabi,” (bersambung)