Pandangan Muhammadiyah tentang Mudik Lebaran saat Wabah Covid-19

Pandangan Muhammadiyah tentang Mudik Lebaran saat Wabah Covid-19

Dok MCCC/SM

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia mengadakan Rapat Koordinasi Konsultasi Publik Pedoman dan Petunjuk Teknis Pengendalian Transportasi dalam rangka Covid-19 melalui telekonferensi pada Selasa sore (07/03) kemarin. Materi pembahasan dalam rapat kali ini adalah tentang mudik Lebaran 1441 H. 

Rapat tersebut diikuti oleh para pejabat di beberapa kementerian dan badan negara yang terkait langsung dalam penanganan dampak wabah Covid-19. Beberapa perwakilan organisasi masyarakat, yaitu Muhammadiyah dan NU, serta individu juga hadir dalam rapat yang berlangsung selama dua jam dari pukul 15.00 – 17.00 WIB. Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam rapat tersebut diwakili oleh Wakil Ketua Lembaga Penanggulangan Bencana (LPB), Arif Jamali Muis yang mengikuti rapat dari Kantor PP Muhammadiyah Cik Di Tiro Yogyakarta.

Dalam kesempatan tersebut, Arif menyampaikan pokok-pokok pandangan Muhammadiyah terkait mudik Lebaran dalam kondisi wabah Covid-19 saat ini. “Muhammadiyah punya perspektif dalam menyikapi mudik berdasarkan maqasidus-syar’i (prinsip dasar dan tujuan dalam syariat), yaitu masuk kategori hifdzun nafs (memelihara jiwa). Berdasarkan itu maka Muhammadiyah berpendapat mudik sebaiknya dilarang karena bukan peribadatan,” katanya.

Lebih lanjut Arif menyampaikan bahwa dasar pendapat tersebut ada dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah 195 yang menyebutkan ‘dan janganlah kalian jatuhkan diri kalian dalam kebinasaan dengan tangan kalian sendiri dan berbuat baiklah sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik’. “Maka dalam kontes pemahaman tersebut, bisa dikatakan bahwa tidak mudik untuk menghindari meluasnya wabah Covid-19 adalah jihad kemanusiaan,” tuturnya.

Muhammadiyah juga memandang bahwa pemerintah (selaku pemegang otoritas) ketika melarang mudik perlu menyiapkan konsekuensinya, yaitu pengaturan yang tegas perihal tidak boleh mudik dan aspek teknisnya. Pertama, membatasi mobilitas orang sekaligus moda transportasi umum dan moda pribadi. Kedua, aspek non-teknis, seperti kebijakan ganti cuti bersama, insentif atau jaring pengamanan sosial kepada pekerja sektor transportasi (sopir, awak angkutan, dan lain-lain).

Perlu diperhatikan juga konsekuensi kalau tetap mudik diperbolehkan pemerintah. Ada beberapa konsekuensi selain yang diatur dalam draft pemerintah, yaitu potensi meningkatnya konflik untuk daerah tujuan mudik karena banyak komunitas menolak para pemudik. Sebaiknya persetujuan dari daerah tujuan mudik juga menjadi dasar izin untuk mudik. Kalau pemudik tidak diterima komunitas tujuan mudik jelas akan menimbulkan masalah sosial baru.

“Potensi konflik juga akan terjadi saat arus balik. Contohnya di salah satu RT di Yogyakarta, Ketua RT membuat perjanjian bagi warga diizinkan untuk mudik dengan catatan tidak boleh kembali lagi ke RT-nya sebelum wabah selesai,” imbuh Arif.

Arif juga menyampaikan pernyataan bahwa pemudik berstatus ODP dan ‘dapat’ dikarantina 14 hari itu bias. “Seharusnya kata ‘dapat’ diganti diganti ‘wajib’ dan pemerintah juga harus menerbitkan petunjuk teknis karantina warga pemudik itu beserta insentif fasilitas karantina. Sampai kampung dikarantina 14 hari di sebuah tempat karantina misalnya di tempat yang telah disediakan pemerintah.” ungkapnya. Itupun dengan catatan pulangnya 15 hari sebelum hari raya, kalau mepet pemudik akan melaksanakan Idul Fitri di karantina.

Di kesempatan lain terkait mudik ini, Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nasir menyampaikan bahwa jangan sampai ormas dan tokoh agama diminta meyakinkan warga untuk tidak mudik, sementara pemerintah sendiri membolehkan dan tidak melarang warga untuk mudik. “Kalau memang pemerintah mengizinkan warga mudik, biarlah tokoh agama berhenti mengimbau warga, sehingga segala urusan Covid-19 menjadi sepenuhnya urusan pemerintah,” katanya. (Budi/Riz)

Exit mobile version