Oleh: Fahd Pahdepie
Hari ini saya membaca: Dari seluruh pasien yang dinyatakan positif memiliki COVID-19, 80%-nya adalah mereka yang berpenghasilan tinggi, orang-orang kaya. 1.292.025 jumlahnya. Dan 82.903 orang di antaranya meninggal dunia.
Sisanya, 17% merupakan warga menengah-atas dan hanya 1,8% atau 2.452 orang dari seluruh pasien di seluruh dunia merupakan warga miskin. Dari kelas sosial yang berpenghasilan rendah ini, yang meninggal berjumlah 93 orang. Kecil sekali jika dibandingkan jumlah warga kaya yang wafat.
Data ini tidak dilaporkan oleh lembaga sembarangan. Tak tanggung-tanggung, World Food Programme (WFP), sebuah lembaga resmi di bawah PBB yang berfokus pada masalah kemanusiaan dan keamanan pangan dunia, yang melaporkannya. Data terakhir diperbarui tanggal 9 April 2020 kemarin. Data yang mencengangkan.
Saya tidak ingin cepat-cepat menyimpulkan bahwa virus corona ini cenderung ‘mengincar’ mereka yang kaya. Seperti orang-orang yang buru-buru menyebut bahwa virus ini semacam cara alam untuk menampar kesombongan manusia. Toh bukankah virus dan penyakit tidak mengenal agama, usia, bangsa, dan kelas sosial?
Ada banyak cara untuk membaca data di atas dan menganalisis mengapa mereka yang kaya menampilkan persentase yang tinggi. Barangkali mereka yang berada, lebih punya akses ke rumah sakit dan fasilitas medis, diprioritaskan penanganan serta pengujiannya.
Bukankah dunia ini memang berjalan dengan sistem sosial-ekonomi yang tidak adil? Yang menengah-bawah apalagi miskin tak punya kesempatan untuk diuji, ditangani keluhannya, dibawa ke rumah sakit, mendapatkan layanan dan fasilitas medis yang memadai.
Namun, bagaimana jika data itu benar dan menampilkan realitas yang sesungguhnya? Orang miskin yang sering dituding ‘membawa penyakit’ bagi kaum kaya itu, justru merupakan kelas yang lebih imun terhadap ganasnya virus corona? Mungkinkah ini yang memang sedang berlaku?
Mengapa fasilitas-fasilitas yang selama ini identik dengan tempat berkumpulnya ‘orang-orang kaya’ yang ditengarai menjadi pusat-pusat konsentrasi penyebaran virus corona? Mal, bandara, pusat-pusat bisnis dan perkantoran, kafe dan restoran? Ruang-ruang ber-AC yang tertutup dan memberi jarak kelas yang jelas.
Kota-kota besar dunia pun bertumbangan, menghentikan denyut perekonomian dunia yang disebut bisa mengundang resesi dunia paling gila sepanjang sejarah. New York yang tak pernah tidur, pingsan. Kota-kota di Tiongkok yang berjubel manusia, sepi. Jakarta dan Bangkok yang macet setiap hari, lengang. Makkah, Jerusalem, Vatican, dan kota-kota lain yang tak pernah berhenti dialiri jutaan manusia yang berziarah, ditutup.
Bukankah kota-kota itu yang selama ini kerap diskriminatif terhadap manusia? Bahkan di kota-kota tempat ziarah agama-agama? Di Makkah, hotel-hotel yang berbintang dan yang tidak membedakan jamaah mana yang bisa sampai lebih dulu ke Masjidil Haram, berdasarkan jarak dan eksklusivitasnya. Ongkos ziarah ke kota-kota suci dunia, kian hari jadi bisnis yang memberi lebih banyak kemudahan bagi mereka yang kaya, membatasi mereka yang miskin.
Mungkinkah Tuhan memang murka pada perilaku manusia? Bahwa virus ini merupakan sebuah pesan yang harus kita terima dan pecahkan hikmahnya? Apa yang sebenarnya sedang terjadi di balik semua ini?
Kemarin saya mendapatkan sebuah gambar dengan cerita yang menggetarkan. Gambar itu menampilkan Masjidil Haram yang lengang, hanya ada Ka’bah yang berdiri kesepian di sana. Poros yang biasanya menjadi pusat ‘tawaf’ jutaan manusia itu, kini sepi. Pemerintah Arab Saudi memutuskan untuk menghentikan umrah sementara waktu agar virus tak menyebar di sana.
Namun, beberapa meter di depan Ka’bah, di foto itu, duduk seseorang yang tampak berdoa. Diceritakan ia hanya seorang petugas kebersihan. Sendirian dia berdoa di sana, dengan segala keistimewaan yang luar biasa. Kemewahan yang barangkali didambakan semua orang muslim di dunia. Hanya dia dan Ka’bah, baitullah, rumah Tuhan. Tak ada sesiapa yang lainnya.
Bayangkan yang mendapatkan kemewahan luar biasa itu hanya seorang tukang sapu, petugas kebersihan? Bukan raja, pangeran, menteri atau kepala negara? Sementara di saat yang sama Raja Salman dilaporkan sakit dan harus dikarantina dengan dijaga 150 lebih pengawal? Ya Salam!
Apakah ini benar, bahwa virus corona tidak begitu tertarik menjangkiti mereka yang miskin dan berpenghasilan rendah? Benarkah virus ini lebih mengancam mereka yang kaya dan berpenghasilan tinggi, dipicu aktivitas dan pusat-pusat pergaulan mereka? Entahlah.
Yang jelas, hari ini, beberapa kepala negara dan orang-orang penting di dunia dinyatakan positif COVID-19. Para pengusaha dan orang kaya ketakutan mengunci diri di rumah, sejumlah menteri dan pejabat tak kebal virus ini, sementara mereka yang miskin masih bertanya-tanya karena penghasilan mereka saja yang berkurang: Mereka berkumpul di jalan-jalan, mengobrol di pelataran rumah, bercengkrama di gang-gang kampung, seolah-olah tak terjadi apa-apa.
“Di sini mah kayak nggak ada corona!” Kata mereka.
Entahlah!
Fahd Pahdepie, Penulis