Menyikapi Keterbatasan Diri

Menyikapi Keterbatasan Diri

Ilustrasi kaca pembesar

Oleh: Dr Arifin, MSi

Disiplin ilmu pengetahuan apapun dalam mengungkap fenomena (gejala) kehidupan manusia dalam proses pemenuhan beragam kebutuhan hidupnya punya kesimpulan yang sama tentang salah satu sisi keberadaan manusia, yaitu ‘sebagai makhluk yang sangat terbatas dalam segala aspeknya untuk menggapai tujuan hidup’ (Muji, A dan Mudzakir, J., 2001). Meskipun keberadaan manusia dalam proses hidupnya sangat terbatas, namun apabila dibandingkan dengan seluruh makhluk lain di dunia ini, manusia dikategorikan sebagai makhluk yang paling sempurna (paling baik), namun  predikat paling baik tersebut menuntut adanya pemenuhan persyaratan tertentu yang harus dilakukan manusia agar menjadi makhluk ciptaan Allah S.W.T yang terbaik (Q.S. Ali Imran/3: 110).

Upaya manusia dalam membangun kualitas hidup lahir-batin, seharusnya dibangun melalui sikap atau pola perilaku yang konsisten untuk melihat atau bercermin diri (refleksi diri) pada aspek/ sisi ‘keterbatasan diri’ yang melekat di sepanjang usia hidupnya, bukan hanya bercermin pada sisi ‘kelebihan diri’ yang dimilikinya (Usman Ismail, A., 2011). Secara psikologis, setiap individu yang mempunyai kualitas dalam memahami ‘keterbatasan diri’, akan tergerak hati (qalb) dan pikirannya (aql) untuk terus melakukan upaya-upaya: memperbaiki diri, cinta menjalin kerjasama dengan orang lain,  tidak suka meremehkan karya orang lain, selalu ingin belajar, dan cenderung lebih berhati-hati dalam bersikap atau bertindak. Secara spiritual, pribadi yang mempunyai kualitas dalam memahami ‘keterbatasan diri’, akan cenderung: sangat tegantung pada Tuhan, selalu meminta ampun dan petunjuk/ pertolongan pada Tuhan, cenderung taat pada aturan agama dan norma kehidupan, dan dalam hati-pikirannya terbangun kerangka pikir positif bahwa keberhasilan diri mencapai tujuan bukan semata-mata karena kehebatan diri sendiri, tetapi karena pertolongan Allah S.W.T dan sesamanya (Mujib, A dan Mudzakir, J., 2001). Fokus kajian singkat ini, hanya menekankan pada empat strategi menyikapi keterbatsan diri menuju kualitas hidup di masyarakat.

Strategi menyikapi keterbatasan diri, menuju kualitas hidup

Keterbatasan diri adalah suatu keniscayaan hidup manusia, sama persis dengan kelebihan diri adalah suatu anugerah yang melekat pada setiap insan dalam hidupnya. Manusia, sering sulit menyadari akan kebaikan Allah S.W.T, apabila manusia tidak berhasil dalam  wujudkan tujuannya, sebab utamanya adalah karena manusia tidak mampu memahami ‘hakikat keterbatasan diri’ dan ‘hakikat kelebihan diri’ (Muslih Muhammad, 2010). Berikut disinggung beberapa strategi atau metode dalam menyikapi ‘keterbatasan diri’ agar manusia mampu meraih kualitas dan tujuan hidupnya.

Pertama, memperkokoh aqidah atau tauhid.  Yakinkan dalam qalb dan aql kita, bahwa semua unsur yang ada pada diri kita, atau semua aspek kehidupan yang dihadirkan oleh Allah S.W.T pada diri manusia adalah ‘suatu pemberian yang terbaik’, tidak ada sedikitpun unsur yang merugikan, menganiaya, atau menyengsarakan hamba-Nya (Q.S. An Nisa’/4: 40), meskipun nampak dalam kasat mata sesuatu yang hadir dalam kehidupan kita itu adalah sesuatu yang menyakitkan atau menyengsarakan. Dalam Al Qur’an, lebih dari 114 ayat yang menegaskan tentang sifat Allah S.W.T sebagai ‘Maha Penyayang’, demikian juga ratusan ayat yang menjelaskan sifat Allah S.W.T sebagai ‘Maha Adil’. Jadi, ketika manusia menyikapi beragam ‘kesulitan atau kemudahan’ dalam proses perjuangan hidup di segala hal, semuanya harus dimaknai sebagai wujud pemberian kasih sayang dan keadilan dari Allah S.W.T. Perhatikan dengan prinsip yang ditegaskan oleh Allah S.W.T, bahwa “Allah S.W.T tidak akan memberikan beban yang terlalu berat melebihi kapasitas kemampuan diri setiap hamba-Nya, karena manusia itu diciptakan oleh Allah S.W.T dalam kondisi yang lemah/terbatas’ (Q.S. An Nisa’ /4: 28). Prinsip pertama ini menjadi pondasai semua prinsip hidup, karena ketika prinsip aqidah atau tauhid ini runtuh (tidak kualitas) maka semua aspek kehidupan akan runtuh / tidak berkualitas (Q.S. Al An’am /6: 82).

Kedua, memegang teguh prinsip-prinsip Al Qur’an. Sepanjang usia hidup, pribadi muslim terus meningkatkan kualitas pemahamannya terhadap Al Qur’an dan Hadist shahih. Rasulullah s.a.w bersabda “Sebaik-baik engkau (orang muslim) adalah orang yang selalu belajar, mengkaji, memahami, dan mengamalkan isi Al Qur’an” (H.R. Muslim). Manusia yang mampu mengkaji dan memahami  secara benar isi kandungan makna Al Qur’an (ulul albab), dipastikan manusia itu akan mampu memaknai ‘hakikat keterbatasan diri’, menuju kualitas kehidupan di berbagai bidang. Perhatikan prinsip dalam Al Qur;an “… ini Al Qur’an, akan berfungsi sebagai cahaya/ lentera bagi manusia dalam proses hidupnya, dan sekaligus sumber dalam meraih  petunjuk (bimbingan) dan kasih sayang dari Tuhan, bagi kaum yang meyakininya” (Q.S. Al Jaatsyiah/45: 20). Dalam Al Qur’an banyak sekali dijelaskan tentang cara mengatasi ‘keterbatasan diri’, misalnya: (a) selesaikan semua ujian/ cobaan hidupmu (termasuk keterbatasan diri) dengan membangun karakter sabar atau konsisten/ istiqomah  memegang prinsip kebenaran (Q.S. Al Baqarah/2: 155); (b) pahami, bahwa hakikatnya Allah S.W.T tidak pernah membebani beban hidup (tugas hidup) yang diluar kemampuan diri masing-masing  (Q.S. Al Baqarah/2:125; dan Q.S. An Nisa’/4: 84); (c)  pahami, bahwa kemuliaan hidup (kesuksesan hidup) yang diraih seseorang adalah berbanding lurus (tergadaikan) dengan ikhtiarnya atau kualitas perjuangannya (Q.S. Al Ahqaf/ :19; dan Q.S. Al An’am/6: 160). Masih banyak prinsip-prinsip lain yang dijelaskan dalam Al Qur’an. Jadi, jadikan Al Qur’an dan Hadist shahih betul-betul sebagai pedoman hidup, yang didasarkan pada kualitas aqidah. Mengkaji Al Qur’an yang tidak didasari oleh aqidah yang benar akan menjadi liberalis, sekuleris dan bahkan atheis.

Ketiga, memegang prinsip ‘hidup harus berbagi’. Dalam konsep Islam, ‘hidup berbagi’ adalah berinfak atau bershadaqoh jiwa-raga. Semua ilmuwan sosial dalam teorinya berkesimpulan sama, bahwa sikap mental atau etos budaya suka berbagi kebaikan dengan sesama dalam kehidupan kelompok, akan mengurangi kesenjangan sosial, disintegrasi sosial dan keterbelakangan kehidupan masyarakat’ (Koentowijoyo. 1999; Toffler, A. 2000; Seligman, M. 2002).

Keterbatasan diri, seharusnya semakin menyadarkan setiap individu untuk saling membantu, saling tergantung, saling membutuhkan, saling memperkuat/ memotivasi, dan saling berbagi sesuatu yang terbaik dengan sesamanya. Oleh karena itu Al Qur’an, kurang lebih ada 54 ayat yang memberikan penjelasan yang sangat tegas tentang prinsip suka berbagai (infaq atau shadaqoh), yaitu: (a) orang yang tidak suka berinfak di jalan yang benar, pada hakikatnya dia telah menjatuhkan pilihan hidup menuju  kehancuran (Q.S. Al Baqarah/2: 195); (b) orang yang suka berbagi kebaikan dengan sesama (infaq fii sabilillah) dengan ikhlas, pasti Allah S.W.T akan melipatgandakan kebaikan yang dia raih dalam hidupnya (Q.S. Al Baqarah/2 :245); (c) orang yang suka berinfak dijalan yang benar dengan ikhlas, pasti Allah akan sempurnakan balasan-Nya dan sedikitpun dalam proses hidupnya tidak teraniaya (Q.S. Al Baqarah/2: 272); (d) orang yang suka berinfak dijalan yang benar dengan ikhlas, pasti Allah akan memberikan balasan dalam bentuk hati-pikiran yang tidak akan pernah sedih, galau dan cemas (Q.S. Al Baqarah/2: 262). Masih banyak lagi prinsip dalam Al Qur’an, tentang betapa pentingnya selama proses hidup ini untuk berbagi kebaikan, baik dalam keadaan suka atau duka. Jadi, mengatasi keterbatasan diri adalah harus (niscaya) membangun sikap mental suka berbagi kebaikan dengan sesama (Abdurrohman Jibril A.M. 1994)..

Keempat, membangun prinsip saling bekerjasama/ silaturakhim dengan sesama, dan tawakkal pada Allah S.W.T. Perlu dipahami, bahwa kondisi objektif manusia dalam hidup adalah penuh keterbatasan diri. Salah satu makna inspiratif dari keterbatasan diri adalah mendorong setiap diri untuk ‘kerja keras, penuh ikhtiar, dan selalu tawakkal’ agar keterbatasan diri manusia tersebut tidak menenggelamkan harkat dan martabat diri. Kerja keras, penuh ikhtiar adalah kebutuhan dasar manusia dalam hidup untuk menuju kualitas diri. Perhatikan prinsip al Qur’a, yaitu “Manusia dicipta oleh Allah S.W.T dalam format harus kerja keras atau berjuang keras” (Q.S. Al Balad/90: 4), dan ”ujian atau cobaan yang melekat dalam kehidupan manusia sejatinya adalah sebagai media Allah S.W.T untuk menilai setiap hamba-Nya apakah betul-betul memiliki jiwa atau semangat berjuang di jalan kebenaran dan apakah betul-betul berkarakter sabar dalam hidupnya” (Q.S. Muhammad/47: 31).

Jadi, kerja keras, penuh ikhtiar dan tawakkal adalah konsekwensi logis dari realitas hidup berupa ‘keterbatasan diri’. Agar kerja keras, penuh ikhtiar tersebut memberikan hasil yang baik (berkualitas), maka setiap diri (hamba) harus saling tolong menolong, kerjasama, silaturahim penuh keikhlasan. Perhatikan beberapa prinsip berikut ini: (a) Rasulullah s.a.w bersabda yang artinya “barangsiapa yang suka menolong (memudahkan urusan sesama muslim), Allah S.W.T akan memudahkan semua urusannya di dunia dan di akhirat” (H.R. Muslim); dan “Orang muslim yang suka menolong sesama muslim dengan penuh cinta kasih, Allah S.W.T akan memberikan naungan kasih sayang di padang makhsyar, yang tidak ada naungan kecuali naungan dari Allah S.W.T (H.R. Muslim); (b) rakhmat dan karunia Allah S.W.T akan diberikan pada setiap pribadi muslim yang sanggup meletakkan sesama muslim dihati-pikirannya (sebagai saudara) dan selalu cenderung untuk berdamai, menyatu dalam kegiatan kebaikan, dan selalu takut hanya kepada Allah S.W.T (Q.S. Al Hujurat/ 49:10), dan masih banyak lagi prinsip Al Qur’an dan sunnah yang menjelaskan pentingnya menjalin silaturakhim untuk meraih kemuliaan hidup dunia-akhirat.

Kesimpulan

Uraian singkat tersebut di atas, dapat diambil nilai hikmah, bahwa hakikat ‘keterbatasan diri’ bukanlah menghinakan, dan menghancurkan kehidupan manusia, baik secara pribadi atau kelompok, tetapi keterbatasan diri menunjukkan bahwa manusia harus tetap tergantung pada Tuhannya dan pada sesamanya. Keterbatasan diri mengharuskan manusia untuk membuang jauh-jauh sikap sombong, dengki dan sikap tidak memaklumi. Melalui pemahaman akan hakikat makna keterbatasan diri secara bijaksana, sejatinya justru akan menghantarkan pada kemuliaan hidup manusia itu sendiri. Oleh arena itu, dalam memahami keterbatasan diri, setiap hamba harus semakin dekat pada Allah S.W.T (kualitas tauhid), harus menjadikan Al Qur’an sebagai sumber inspirasi dan aksi dalam hidup, harus semakin tinggi semangat untuk memberi atau berbagi kebaikan, dan harus menjalin silaturakhim penuh keikhlasan. Al Qur’an menjelaskan, bahwa ‘Allah S.W.T sangat mengetahui apa saja yang terjadi dalam hidup kamu (ujian/ cobaan), oleh karena itu cukuplah Allah S.W.T engkau jadikan sebagai pelindung dan tempat meminta pertolongan’ (Q.S. An Nisa’/4: 45).  

*) Penulis adalah Pendidik, Wakil Ketua PDM Kota Malang, dan Anggota CMM Kota Malang.

Exit mobile version