“Antropologi Nama” Orang Indonesia Hari Ini

Oleh: Yayum Kumai

“…  dari nama orang bisa mendapatkan informasi dan mengidentifikasikan banyak hal. Tampaknya perlu kita mengembangkan antropologi nama. Mungkin.” –Hajriyanto Y. Thohari (Suara Muhammadiyah, 2020)

Bila kalimat di atas saya anggap sebagai pertanyaan atau pernyataan yang harus direspons, maka jawaban saya adalah, “iya.” Meskipun saya belumlah menjadi apa-apa, ilmu antropologi pun masih sangat dangkal, lewat tulisan sederhana ini saya ingin mencoba mengelaborasi komentar mengenai kemungkinan studi “antropologi nama” pada kondisi dewasa ini.

Bidang kajian yang mengkhususkan diri pada studi mengenai penamaan orang biasanya disebut antroponim. Studi antroponim ini merupakan bagian dari cabang ilmu linguistik. Lalu, apakah antropologi bisa mengambil bagian di sana? Bagi saya, tentu saja bisa. Bentuk-bentuk pendekatan antropologis dalam studi antroponim ini dapat berguna untuk melihat elemen-elemen intrinsik kultural di dalamnya.

Salah satu topik yang bisa dibahas dengan cara antropologis ialah alasan-alasan di balik pola perilaku pemberian nama (naming) suatu masyarakat. Penelusuran kebudayaan naming kelompok masyarakat tertentu akan mengantarkan kita pada alasan sosial-politik sebagai latar belakangnya. Sebab, naming sebagai salah satu bentuk tindak kebudayaan ialah kebiasaan (behaviour) manusia dari hasil pemikiran yang terpengaruh berbagai komponen pengetahuan (knowledge) di sekitar masyarakat itu. Penelitian “antropologi nama” ini akan menjadi semakin menarik pada hari ini, terutama di tengah perubahan kondisi masyarakat yang tengah terpapar globalisasi tanpa batas, sehingga semakin menguatkan pandangan post-strukturalis dan post-modernis.

Mari kita tengok kebiasaan pemberian nama orang-orang Indonesia. Sebagai besar narasi mengenai kebiasaan ini sudah dijelaskan banyak dalam tulisan Pak Hajriyanto Thohari. Saya pun sependapat dengan temuan-temuan yang disampaikan beliau, baik mengenai fenomena memanjangkan nama, tidak terbiasanya menggunakan nama klan atau turunan dari orangtua, dan ambiguitas santri-abangan dalam penggunaan bahasa Arab. Akan tetapi, hal-hal tersebut tentu saja tidak bisa digeneralisir, mengingat apa yang kita sebut “Indonesia” ini sangat luas dan ragam corak kebudayaannya sangat heterogen.

Beberapa aspek yang perlu diperhatikan untuk membaca pemaknaan budaya pemberian nama ini, coba saya oleh dari pandangan Sahid Teguh Widodo, ialah, pertama, serapan kata asal yang dipakai. Hal ini bisa menunjukkan usaha keluarga tersebut untuk mengkaitkan identitasnya terhadap budaya tertentu tertentu yang menjadi patokan hidupnya. Contohnya, Uswatun Khasanah atau Uswatun Hasanah yang diambil dari bahasa Arab memiliki arti teladan yang baik. Memang, belum tentu keluarga yang menamakan keturunannya dengan bahasa Arab adalah keluarga santri. Namun, perlu diinggat, santri bukanlah penggolongan segmen atau kelas masyarakat yang statis, melainkan dinamis dan berdasarkan perilaku. Tambahan saja, saya kurang setuju dengan trikotomi orang Jawa menurut Geertz.

Jadi, bagi saya, seorang abangan ataupun priayi dapat menjadi santri melalui upaya-upayanya karena nama Arab pada abad ke-19 dan 20 (mungkin hingga saat ini) umum disematkan untuk mengganti nama lama setelah pulang berhaji.

Kedua, posisi suatu keluarga dalam struktur sosial masyarakat. Penentuan posisi struktural ini biasanya dilihat dari berapa banyak kata dalam namanya dan gelar tertentu. Semakin sedikit jumlah kata, maka semakin rendah tingkat keluarga tersebut dalam struktur sosial masyarakat. Namun, hal ini tidak paten, tetap harus diperhatikan lingkup sosialnya, apakah nilai-nilai adat masih menjadi bagian pengatur kehidupan masyarakat. Andi Rifani Soraya dari Bugis Makassar, misalnya, menandakan bahwa ia keturunan bangsawan (Andi) dan biasanya mahar (panaik) untuk perempuan bernama Andi ini besar. Selain itu, Diyah Permata Megawati Setyawati Sukarnoputri juga bisa menandai bahwa orang ini berada di struktur masyarakat yang tinggi karena Namanya terdiri dari 5 kata. Atau biasanya di desa-desa Indonesia pada umumnya, contohnya di Sumatra Barat, nama warga tanpa jabatan atau petani biasa di institusi kerapatan adat hanya terdiri satu kata, seperti Kelus, Yuhanis, atau Simina. Mungkin di Jawa kita terbiasa mendengar nama Ngadiman, Ngatimin, atau Subagyo.

Ketiga, konteks waktu. Setiap manusia adalah “anak zaman”-nya. Pada aspek ini saya ingin menyapa semua usia, “selamat datang di era post-struc!” Sekarang ini adalah periode ketika bentuk-bentuk nilai tradisional saling bertumbukan dengan nilai dari belahan dunia antah berantah. Nilai-nilai ini saling berkelindan dan mendominasi alam pikiran manusia, sehingga menciptakan pengetahuan baru hingga kebenaran baru. Semua orang dari berbagai belahan dunia manapun bebas menentukan pengetahuan apa yang ingin dia miliki. Orang-orang bisa bebas menemukan informasi dan saling berkomunikasi tanpa batas spasial dan waktu.

Ketidakteraturan seakan menjadi ciri zaman ini. Bahkan, dua aspek identifikasi nama yang saya sebut di atas bisa jadi tak lagi berlaku pada hari ini

Bila kita rajin rebahan dan berselancar di dunia maya sekarang ini, maka akan ditemukan banyak artikel ide nama-nama anak, termasuk di tengah wabah pandemi virus Covid-19, seperti Tina Karantina, Rona Corona, dan Detolina. Bahkan, sebelum ramai penyakit ini, dari hasil observasi permukaa, saya juga mendapati bahwa semakin banyak nama anak-anak yang lahir setelah 2010, baik di desa ataupun di kota menggunakan nama dari serapan nama orang Barat, Jepang, Korea, bahasa Yunani, bahkan Ibrani, di antaranya Xavier Aligator, Princessa Cantika, Yuki Kumalasari, dll. Tidak hanya itu, jumlah kata dalam nama satu orang anak bisa lebih dari tiga kata semaunya. Membaca perubahan dunia yang signifikan dewasa ini, agaknya perlu dikembangkan pendekatan baru dalam studi antroponim.

Yayum Kumai, Pasca Antropologi UGM, Penyelaras Penerbit Suara Muhammadiyah

Exit mobile version