JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Peraturan Pemerintah Pengganti (Perppu) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Coronavirus Disease 2019 mengundang banyak kritik dan gugatan khususnya dari para pakar di Muhammmadiyah. Menanggapi hal ini, Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (MAHUTAMA) menyelengarakan diskusi online dengan tema “Menggugat PERPPU Covid-19” yang dinilai dapat membahayakan serta merugikan negara. Dalam diskusi tersebut menghadirkan beberapa pembicara diantaranya, Prof. Dr. M. Din Syamsuddin, M.A selaku Keynote Speaker, Prof. Dr. Syaiful Bakhri, Prof. Dr. Muhammad Fauzan, Iwan Satriawan, Ph.D, Dr. Sulardi, dan Dr. Ahmad Yani, pada Sabtu, 11 April 2020.
Syaiful Bakhri, Ketua Tim Hukum Judicial Review Perppu Nomor 1 Tahun 2020 menyampaikan bahwa pasal 2 Perppu bertentangan dengan pasal 23 UUD 1945. Pada pasal 2 Perppu memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk menetapkan defisit anggaran melampaui 3% PDB untuk Tahun Anggaran 2020, 2021, dan 2022. Hal yang demikian bertentangan Dengan Pasal 23 UUD 1945 karena APBN bersifat periodik yang ditetapkan setiap satu tahun anggaran. Masalah lain dari Perppu tersebut adalah menjadikan eksekutif tanpa kontrol atau melampau kewenangannya. Karena Perppu memangkas kewenangan tiga lembaga sekaligus, yakni DPR, BPK, dan Kekuasaan Judicial. “Perppu ini tidak layak untuk disahkan karena banyak sekali bertentangan dengan undang-undang,” tegasnya.
Secara sosial, akan terjadi berbagai dampak yang ditimbulkan apabila Perppu ini dijalankan. Hal tersebut akan berdampak terhadap anggaran negara yang akan semakin tergerus untuk membayar pinjaman luar negeri, karena terbukanya peluang untuk memperbesar jarak defisit. Dampak ini akan diikuti oleh dampak lanjutan, diantaranya.
Pertama, secara politik internasional, Indonesia akan kehilangan kemandiriaanya dihadapan negera-negara pemberi hutang, karena jumlah pinjaman yang semakin tidak terkendali. Kedua, akan terjadi gejolak sosial sebagai akibat tergoncangnya perekonomian nasional yang menimbulkan kepanikan di tengah masyarakat. Ketiga, stabilitas politik dalam negeri akan ikut tergoncang, sebagai dampak lanjutan dari potensi krisis dibidang perekonomian. Keempat, kewibawaan penyelenggara negara akan tergerus, sebagaimana pengalaman-pengalaman krisis pada tahun 98.
“Perppu ini tidak perlu untuk dikeluarkan karena telah ada skema penggunaan APBN dalam masa darurat yang diatur dalam pasal 27 ayat 4 UJ Keuangan Negara.” Ujar Syaiful yang juga merupakan Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Iwan Satriawan, Peneliti Pusat Kajian Konstitusi dan Pemerintahan (PK2P) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) mengatakan bahwa pemberian imunitas hukum pada pejabat dalam keadaan dalam darurat sebagaimana diatur dalam Pasal 27 bertentangan dengan prinsip demokrasi dan negara hukum yang diatur oleh UUD 1945 pasal 1 ayat 2 dan 3. Pasal tersebut menegaskan prinsip konstitutionalisme yang dianut oleh UUD 1945. Pasal 28 D UUD 1945 menyatakan, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Dan pada pasal 28 I ayat 1 UUD 1945 menegaskan “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
“Muatan Pasal 27 Perppu ini tidak setimpal dengan langkah terbatas yang diambil oleh Pemerintah Pusat dalam merespon pandemi Covid 19 yaitu hanya dalam bentuk PSBB. Padahal jika dianggap darurat, maka seharusnya dari awal Pemerintah bisa melakukan karantina wilayah tertentu untuk mencegah penyebaran Covid 19 ini,” ungkap Iwan.
Ahmad Yani, Anggota DPR-MPR 2009-2014 mengungkapkan bahwa yang lebih mencolok dari Perppu ini adalah upaya pemerintah untuk mengamankan ekonomi yang sudah mengalami devisit anggaran sejak beberapa tahun sebelum Covid-19 masuk Indonesia, akibat kegagalan pengelolaan perekonomian dan keuangan negara yang tidak benar dan berpotensi mengancam stabilitas keuangan. Hal ini sudah seringkali diingatkan oleh pakar ekonomi khususnya oleh Rizal Ramli, dalam berbagai tulisan atau pandangan yang dikemukakannya dalam berbagai forum. Akan tetapi pemerintah menutup telinga dan mata. “Jadi bukan karena Covid-19 perekonomian dan keuangan negara ambruk. Justru sebaliknya Perekonomian dan keuangan negara dalam keadaan buruk, menyebabnya pemerintah gagap menghadapi Covid-19,” paparnya
Tanpa Covid-19, Indonesia tetap menghadapi krisis ekonomi dan ancaman resesi. “Menurut saya, eknomi kita yang kacau dan pengelolaan keuangan negara yang tidak tepat membuat kita tidak mampu menghadapi wabah ini. Persoalan utamanya adalah masalah ekonomi, meskipun dalam perppu tersebut Covid-19 menjadi alasannya, namun dalam norma Perppu maupun konsiderannya tergambar jelas untuk mengatasi darurat ekonomi. Oleh karenanya Perppu ini tidak relevan dengan kondisi darurat kesehatan nasional yang sedang dialami oleh Indonesia,” tutup Yani. (diko)