Prof Dr H Haedar Nashir, MSi
Selama ini pandangan umum selalu mengaitkan pembaruan Muhammadiyah yang bercorak modern diidentikkan dengan pemikiran Ibnu Taimiyah, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan bahkan Muhammad bin Abdul Wahhab. Pertautan pemikiran pembaruan Islam yang demikian tentu wajar, karena di dunia pemikiran mana pun saling mempengaruhi itu selalu terjadi, termasuk dalam pemikiran modern Barat. Namun sebenarnya terdapat tifikal khas dari pemikiran Kiai Dahlan dan Muhammadiyah yang berbeda dari para pembaru Islam sebelumnya.
Kiai Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah yang didirikannya secara historis dan sosiologis menghadirkan Islam sebagai jawaban atas modernisme awal abad keduapuluh. Tidak keliru jika Muhammadiyah kemudian diberi label sebagai gerakan Islam modernis, Islam reformis, dan Islam pembaruan. Peran modernisme Muhammadiyah itu sangat penting. Robert Van Niel (1984) bahkan dengan tegas menyatakan, bahwa “dua organisasi yang paling banyak mempengaruhi perkembangan elit selama jangka waktu ini barangkali ialah Muhammadiyah dan Boedi Oetomo”.
William Shepard (2004) mengkategorisasikan Muhammadiyah sebagai kelompok ”Islamic-Modernism”, yang lebih terfokus bergerak membangun “Islamic society” (masyarakat Islam) daripada perhatian terhadap “Islamic state” (negara Islam); yang fokus gerakannya pada bidang pendidikan, kesejahteraan sosial, serta tidak menjadi organisasi politik kendati para anggotanya tersebar di berbagai partai politik. Sementara itu Alfian menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan reformis. Deliar Noer menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan modern Islam, yang tampil lebih moderat ketimbang Persatuan Islam. Soekarno memberi predikat Muhammadiyah sebagai gerakan Islam progresif, meski dikritik pula ketika Muhammadiyah menggunakan hijab.
Charles Kurzman (2003) malah mengkategorisasikan pemikiran Kiai Dahlan dan Muhammadiyah sebagai “Islam liberal” mirip gerakan Aligarh di India dan gerakan-gerakan Islam serupa di belahan dunia Islam lainnya. Islam liberal (Liberal Islam) yang dimaksudkan Kurzman adalah suatu gerakan Islam yang “menghadirkan kembali masa lalu untuk kepentingan modernitas”, yang berbeda dengan Islam revivalis yang sekadar kembali pada masa lalu (periode Islam generasi awal) dan menolak praktik-praktik adat dalam keagamaan (Kurzman, 2003).
ORIENTASI ISLAM MODERN
Pandangan ideologi keagamaan reformis-modernis ditandai oleh wawasan keagamaan yang menyatakan bahwa Islam merupakan nilai ajaran yang memberikan dasar bagi semua aspek kehidupan dan karenanya harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi kaum reformis-modernis pengamalan ini tidak hanya terbatas pada persoalan-persoalan ritual-ubudiyah, tetapi juga meliputi semua aspek kehidupan sosal kemasyarakatan. Selain itu kaum reformis-modernis menerima perubahan berkaitan dengan persoalan-persoalan sosial; memiliki orientasi waktu ke depan serta menekankan program jangka panjang; bersikap rasional dalam melihat persoalan; mudah menerima pengalaman baru; memiliki mobilitas tinggi; toleran; mudah menyesuaikan dengan lingkungan baru. Pada awal abad keduapuluh sikap ini terlihat pada kaum modernis Muslim yang menerima sebagian unsur budaya Barat modern dalam program sosial dan pendidikan mereka. Mereka ini berkeyakinan bahwa dari manapun asalnya ide atau gagasan itu, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam, adalah diperbolehkan (Jainuri, 2004).
Menarik temuan Nakamura (1983) yang melukiskan Muhammadiyah sebagai berikut: ”Muhammadiyah adalah gerakan yang menampilkan banyak wajah. Dari jauh nampak doktriner. Tetapi dilihat dari dekat, kita menyadari ada sedikit sistematisasi teologis. Apa yang ada di sana agaknya merupakan suatu susunan ajaran moral yang diambil langsung dari Al-Qur’an dan Hadits. Nampak ekslusif bila dipandang dari luar, tetapi sesungguhnya tampak terbuka bila berada di dalamnya. Secara organisatoris nampak membebani, akan tetapi sebenarnya Muhammadiyah merupakan suatu kumpulan individu yang sangat menghargai pengabdian pribadi.
Nampak sebagai organisasi yang sangat disiplin, akan tetapi sebenarnya tidak ada alat pendisiplinan yang efektif selain kesadaran masing-masing. Nampak agresif dan fanatik, akan tetapi sesungguhnya cara penyiarannya perlahan-lahan dan toleran. Dan akhirnya tetapi barangkali yang paling penting, nampak anti-Jawa, akan tetapi sebenarnya dalam banyak hal mewujudkan sifat baik orang Jawa. Barangkali kita bisa mengatakan di sini, kita mempunyai satu kasus dari agama universal seperti Islam yang menjadi tradisi agama yang hidup di lingkungan Jawa.”
Di antara tokoh yang menonjol dan memiliki kedekatan spesial dengan Muhammadiyah ialah Soekarno atau Bung Karno. Tokoh sentral pergerakan Indonesia, Proklamator dan Presiden Pertama Republik Indonesia, sungguh bukan sosok yang asing bagi Muhammadiyah. Tokoh ini tertarik kepada Muhammadiyah karena paham kemajuannya tentang Islam.
Soekarno pernah menulis artikel tentang “Memudakan Pengertian Islam” dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi, sambil mengutip pandangan Farid Wajdi, dia menyatakan bahwa Islam maju jika dilandaskan pada kemerdekaan roh, kemerdekaan akal, dan kemerdekaan pengetahuan. Bahwa roh yang selama ini dirantai oleh fiqh haruslah dilepas rantainya, akal yang selama ini dipasung oleh ijma’ ulama’ haruslah dibuka pasungannya, dan pengetahuan yang selama ini ditutup oleh bab ijtihad haruslah dibuka tutupnya. Maka, beliau tertarik masuk menjadi anggota dan pengurus Muhammadiyah karena sejalan dengan alam pikirannya mengenai Islam, yakni Islam yang progresif atau Islam yang berkemajuan.
Dengan merujuk buku The New World Of Islam karya Leopord Stoddard, Soekarno menyetarakan Kiai Dahlan bersama tokoh-tokoh gerakan pembaruan dunia Islam seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan lain-lain. Soekarno merasakan kehadiran Kiai Dahlan memberikan inspirasi keislaman yang baru, di saat dia haus ilmu dan pikiran maju, sehingga dalam pidatonya pada penutupan Muktamar Setengah Abad tahun 1962 di Jakarta, dia menyatakan,
Lebih lanjut Soekarno menyatakan, “Nah, suasana yang demikian itulah, saudara-saudara, meliputi jiwa saya tatkala saya buat pertama kali bertemu dengan Kiai Haji Ahmad Dahlan. Datang Kiai Haji Ahmad Dahlan yang sebagai tadi saya katakan memberi pengertian yang lain tentang agama Islam. Malahan ia mengatakan, sebagai tadi dikatakan oleh salah seorang pembicara: ”Benar, umat Islam di Indonesia tertutup sama sekali oleh jumud, tertutup sama sekali oleh khurafat, tertutup sekali oleh bid’ah, tertutup sekali oleh takhayul-takhayul. Dikatakan oleh Kiai Dahlan, sebagai tadi dikatakan pula, padahal agama Islam itu agama yang sederhana, yang gampang, yang bersih, yang dapat dilakukan oleh semua manusia, agama yang tidak pentalitan, tanpa pentalit-pentalit, satu agama yang mudah sama sekali.”
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam modernis, selain mengusung tema pembaruan Islam, pada saat sama melibatkan diri dalam gerakan kebangsaan. Orientasi kebangsaan merupakan perwujudan dari paham keagamaan, sehingga pilihan jihad dan ijtihad Muhammadiyah ialah mengintegrasikan nilai dan perjuangan keislaman dengan keindonesiaan. Dalam konteks mutakhir ijtihad Muhammadiyah sebagai cermin pandangan Islam modernis, tercermin dalam pandangan resmi hasil Muktamar Makassar 2015 tentang “Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah”. Muhammadiyah menerima NKRI yang berdasarkan Pancasila sebagai hasil konsensus nasional dan menjadi lahan berkiprah menjadikannya sebagai negara dan bangsa yang berkarakter Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur.
ORIENTASI TENGAHAN
Modernisme yang ditampilkan Muhammadiyah sedikit berbeda dari arus modernisme Islam atau gerakan kebangkitan Islam (al-sahwa al-Islamy) di dunia Islam sebelumnya yang cenderung mengeras atau puritan dalam ideologi Salafiyah atau revivalisme Islam yang kaku. Muhammadiyah dalam pandangan Azyumardi Azra, kendati secara teologis atau ideologis memiliki akar pada Salafisme atau Salafiyah, tetapi watak atau sifatnya tengahan atau moderat yang disebutnya sebagai bercorak Salafiyyah Wasithiyyah (Republika, 13 Oktober 2005). Karena itu, kendati sering diposisikan berada dalam matarantai gerakan pembaruan Islam di dunia muslim yang bertajuk utama al-ruju’ ila Al-Qur’an wa al-Sunnah, Muhammadiyah tidak terlalu kental bercorak gerakan Timur Tengah, karena watak dan orientasi gerakannya lebih lentur dan tengahan.
Bahwa ideologi reformis dan moderat atau apapun istilahnya tidak boleh dipelintir seakan Muhammadiyah serba tidak jelas. Sifat reformis juga jangan dikesankan sekuler dan liberal, sedangkan sikap moderat dianggap tidak memiliki prinsip dan serba abu-abu, lalu Muhammadiyah diaarahkan ke arah yang sebaliknya yakni Islam yang cenderung menjadi neorevivalis. Sebab dalam Muhammadiyah prinsip-prinsip Islam yang autentik (murni) tetap menjadi fondasi, yang sejak awal selalu dinyatakan dalam idiom “sepanjang kemampuan ajaran Islam”. Dalam fase berikutnya, perspektif pemikiran Islam dalam Muhammadiyah secara tegas diformulasikan dalam orientasi tajdid yang bersifat purifikasi (pemurnian) dan dinamisasi (pengembangan, modernisasi) maupun dalam pengembangan manhaj tarjih dengan menggunakan pendekatan bayani, burhani, dan irfani sebagai ikhtiar memahami Islam secara komprehensif. Perspektif ideologis yang demikian sangatlah jelas tentang karakter dasar Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang melaksanakan misi dakwah dan tajdid. Posisi tengahan jangan menjadi retorika negatif seolah serba abu-abu, sebab jika dirujuk pada prinsip-prinsip gerakan Muhammadiyah, termasuk faham agama dalam Muhammadiyah, semuanya sudah jelas dan terang benderang.
Posisi tengahan juga jangan diplesetkan bukan kanan dan bukan kiri, sehingga menjadi yang bukan-bukan. Bacalah Kepribadian Muhammadiyah misalnya, betapa terang benderang karakter gerakan Islam ini. Bukankah khair al-‘umur awsatuha, bahwa sebaik-baik urusan yang bersifat tengahan? Dalam posisi yang tengahan Muhammadiyah bersifat eklektik atau bergerak dinamis, sehingga mampu menampilkan kekayaan yang dimiliki atau sebaliknya tidak dimiliki dari yang cenderung serba ekstrem dalam gerakan Islam. Mungkin bagi yang terbiasa di kanan atau di kiri, posisi di tengah itu dinilai tidak jelas, padahal jelas yakni berposisi di tengah. Tetapi di tengah itu jangan dimaknai rigid atau kaku berada pada garis yang linier, sebab selalu terdapat dinamika gerakan dan pengayaan. Agenda pemikirannya memang memperkaya dan memperkuat basis epistemologis dan metodologis gerakan modernisme Islam tengahan ini.
Ditarik ke mana pun, kelebihan Muhammadiyah dengan karakter reformis-modernis yang berbasis pandangan Islam yang berkemajuan, telah berkiprah sekuat ikhtiar dalam mewujudkan amaliah Islam yang konkret di berbagai bidang kehidupan di bidang dakwah bi-lisan, pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial, dan usaha-usaha lain yang bersifat dakwah bil-hal yang mencerahkan kehidupan umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan universal. Boleh jadi dalam pemikiran tidak kaya seperti golongan neomodernisme Islam, tetapi pemikiran-pemikirannya relatif mencukupi dan tidak kalah pentingnya diwujudkan melalui pranata-pranata sosial Islam yang melahirkan pencerahan dalam bentuk pembebasan, pemberdayaan, dan pemajuan kehidupan secara nyata dan dirasakan kemaslahatannya oleh masyarakat luas. Ideologi reformismodernis berbasis pandangan Islam yang berkemajuan yang melekat pada Muhammadiyah justru menampilkan karakter kuat pada ideologi amaliah Islam, sehingga dapat dirasakan misinya sebagai penyebar rahmatan lil-‘alamin.
Modal pemikiran Muhammadiyah tersebut dapat dijadikan pangkal dalam memasuki era baru dunia modern abad keduapuluhsatu ketika gerakan Islam yang didirikan oleh Kiai Ahmad Dahlan ini memasuki pergerakan abad kedua dengan tema “Islam Berkemajuan” dan “Gerakan Pencerahan”. Agendanya ialah bagaimana memberi pijakan epistemologis dan metodologis bagi gerakan Muhammadiyah di abad kedua tersebut secara lebih kokoh sehingga mampu menghadirkan praksis alternatif. Inilah tantangan generasi baru Muhammadiyah. Pada abad modern sat ini dan ke depan Muhammadiyah harus “berfastabiq al-khairat” dengan pemikiran baru yang lebih progresif dalam genre “postradisionalisme” dan “posmodernisme”.
Sumber: Majalah SM Edisi 9 Tahun 2016