Akal Sehat dan Ilmu Kokoh Syarat Menghadapi Sekularisme

Akal Sehat dan Ilmu Kokoh Syarat Menghadapi Sekularisme

Oleh: Faiz Amanatullah

Kita harus menduniawikan yang duniawi , tidak usah mengukhrawikan yang seharusnya duniawi. Karena berpotensi akan memunculkan tahayul

Nurcholish Madjid 

Belakangan ini banyak sekali gagasan-gagasan dari para pemuka bangsa nasional maupun internasional yang kemungkinan bisa kita maknai mengandung nilai sekularitas dalam menjalani catur perpolitikan dunia sebagai alasan untuk kemajuan peradaban manusia yang menurutnya seringkali terhambat oleh hukum-hukum ataupun aturan yang terdapat dalam kitab suci agama. Tentunya dalam lembaran sejarah tidak jarang pula kita jumpai sekelompok pemuka agama yang menentang secara terang-terangan terkait gagasan tersebut yang menegasikan nilai agama dalam kehidupan, terkhusus pada ranah pemerintahan.

Dalam pendahuluan buku “Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam” yang ditulis oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas, beliau mengakui sejak tahun 1973 dirinya sudah menuliskan perihal kerusakan yang meluas dan mendalam terkait akhlak dan ilmu masyarakat Islam sezaman dan masalah ini pun masih kita rasakan dalam keadaan genting yang masih luput dari tinjauan kepahaman yang benar menurut wahyu Islam.

Namun hal yang menarik dari tulisan al-Attas yaitu beliau justru mengkritik ummat Islam itu sendiri sehingga menjadi salah satu spectrum penyebab ideologi sekularisme meluas ke berbagai negara. Menurutnya ummat Islam masih belum mempunyai pembacaan dan prediksi tentang realitas masa depan yang kuat terkait kejahilan dari rencana falsafah modern dan pascamodern.

Namun disisi lain falsafah modern juga mempunyai fungsi untuk merasionalkan eksistensi Tuhan kepada orang-orang atheis maupun sekular sekaligus. Dalam diskusi dengan BENTALA yang dipantik oleh Mas Alam, ia menjelaskan tentang turunan dari falsafah modern itu ada empat bagian, yaitu rasionalisme falsafi, rasionalisme sekular, empirisme dan empirisme logis.

Tentunya gagasan tersebut berangkat dari hal-hal realitas yang tampak oleh inderawi. Sehingga menurut Prof. Kuntowijoyo dengan hal tersebut kita mampu untuk memberikan nilai-nilai Islam kepada orang sekural maupun non-muslim tanpa harus menggunakan istilah Islam yang terdengar asing dimata mereka, dengan harapan mereka bisa menerima hal tersebut. Mungkin yang sering kita kenal dengan istilah “objektifikasi Islam”.

Wacana sekular memang terdengar sangat humanis dan menjadikan manusia sebagai sentral ideologinya. Dan apabila manusia menjadi peran sentralnya, maka agama akan menjadi bagian yang terpisah dari proyek ideologi ini. Bahkan dalam pengertian filsafat praktis sekularisme yaitu manusia menafsirkan dan mengorganisir kehidupan tanpa bantuan supranatural. Menurut beberapa pemuka ideologi sekular, agama kecendrungan memiliki aturan yang tidak pro-kemanusiaan, maka lahirlah renaissance yang puncaknya adalah konflik besar antara pemuka gereja dan ilmuwan pembaharu.

Perang Enam Hari yang terjadi kisaran tahun 1967, tragedi tersebut yang melibatkan antara koalisi arab dan mesir yang berusaha membendung serangan Israel yang berupaya mencaplok sisa wilayah yang berada di Palestina. Namun dalam peperangan singkat tersebut dimenangkan oleh Israel yang berhasil mengambil wilayah di kota suci Palestina dengan menghimpun kekuatan dari Amerika Serikat.

Haedar Nashir menyampaikan orasi budaya di haul Cak Nur ke-14 (foto: yuli)

Lantas dampak dari kelahan koalisi Arab dan Mesir tersebut menjadi pukulan moral bagi bangsa mereka, karena bisa diredam rencana mereka oleh Israel hanya dalam waktu enam hari. Tanpa berpikir panjang, para pemikir dan cendikiawan dari Arab Saudi mencoba untuk berpikir modernis yang melampaui ajaran agama, sehingga kecendrungan dari pola pikirnya menegasikan agama dengan dalih untuk menyaingi negara maju seperti AS yang membantu Israel dalam perang 6 hari tersebut.

Hal yang sangat disayangkan dari keputusan para pemikir dan cendikiawan Arab tersebut adalah mereka terlalu dini untuk menerapkan suatu ajaran tanpa melihat lebih jauh dampak ilmu-ilmu pascamodern yang ada. Lebih parahnya lagi, keputusan itu dapat berdampak pada Ilmu Pengetahuan yang nantinya akan diteruskan oleh generasi muslim yang akan datang.

Namun kita disini bisa sama-sama untuk mengkritisi keputusan yang diambil oleh para pemikir dan cendikiawan muslim dari Arab tersebut dengan membuka buku dari Abi Quraish Shihab yang berjudul “Logika Agama. Dalam bukunya, Abi Quraish Shihab mengatakan, syariah Islam datang, antara lain untuk membebaskan manusia dari jeratan nafsu yang selalu mengarahkan manusia kepada kejahatan, sebagaimana Allah telah berfirman dalam surah Yusuf [12]: 23:

Artinya: “Sesungguhnya nafsu selalu menyuruh kepada keburukan, kecuali yang diberi rahmat oleh Tuhanku (QS. Yusuf [21]:23).

Nafsu dan setan seringkali memperindah bagi manusia hal yang buruk. Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa tidak ada jaminan bahwa apa yang dianggap seseorang baik, itu benar-benar baik, lebih-lebih kepada hal yang menyangkut telah ada petunjuk agama yang jelas. Dari sini timbulah demarkasi antara yang baik dan yang buruk serta sampai dimana peranan akal kita berada. Seringkali pribadi tidak menyadari hal ini, hingga hampir semua manusia tidak mencurigai pandangan nalarnya. Maka dibutuhkanlah akal yang sehat agar dapat memandang lebih jauh tentang keputusan yang akan kita ambil, terlebih dalam aspek keagamaan.

Islam Tidak Menafikan Eksistensi Duniawi

Al-Attas pernah menyebutkan bahwa agama yang dimaksudkan oleh beliau adalah tidak menentang pengosongan alam tabi’i ruhaniah, namun yang dimaksud pengosongan adalah upaya penyingkiran dari kefahaman segala pandangan alam yang dipenuhi oleh berbagai mitos dan kesaktiannya yang diciptakan oleh khalayak etnik yang menjelma menjadi takhayul. Penulis pernah menonton film “Percy Jackson” yang menjelaskan tentang perseteruan antara semua dewa pengendali alam raya. Mungkin ini yang dimaksudkan oleh Al-Attas.

Karena memang pada dasarnya dunia ini tidak usah ditambahkan dengan hal-hal mitos yang justru akan menambah ketakutan dan ketundukan yang tidak jelas kepada ummat manusia. Segala kehidupan di alam raya tetap mengandung ma’na ruhani tanpa harus ditambahkan, hal itu sudah tertera dalam pedoman hidup seorang muslim yaitu Al-Qur’an yang memerintahkan untuk menyembah Allah, menjalankan syari’at dan menjauhi larangan-Nya.

Tuhan yang Maha Esa bukanlah mitos buatan budaya di suatu daerah, bukan juga sebagai suatu gambaran yang dicitakan atau suatu simbol yang senantiasa memiliki perubahan makna menurut akal fikri yang mengikuti perubahan masa. Hakikat Iman mengandung unsur ilmu yang memahamkan tentang kebenaran kepada akal insan. Dan salah satu titik perbedaan antara agama dan falsafah sains sekular adalah cara dan kaidah kita memahami tentang sumber ilmu.

Nurcholis Majid (Cak Nur) berpendapat bahwa kita harus menduniawikan yang duniawi, tidak usah diukhrawikan karena akan mengakibatkan munculnya tahayul. Seringkali terjadi di zaman sekarang adalah banyak sekali manusia yang melakukan pembenaran atas semua feomena yang terjadi bahwa itu semua adalah skenario Allah. Memang betul semua kejadian di dunia ini adalah kehendak Allah, namun disisi lain ada juga peristiwa alam yang disebabkan oleh ulah manusia itu sendiri.

Padahal Allah memerintahkan manusia untuk menelaah sebab apa yang menjadikan alam dunia seperti sekarang ini, agar mereka tidak mengulanginya lagi, padahal sudah banyak ayat yang menerangkan hal demikian. Bahkan lebih parahnya ada yang membenarkan takdir tuhan atas ketidakmampuan mereka melakukan hal itu, karena sebagian kalangan kurang memahami makna ikhtiar. Dewasa ini bisa dikatakan munculnya teologi neo-jabariyah ketika virus Corona melanda.

Pengalaman penulis selama aktif dalam beberapa kegiatan yang berorientasi pada literasi. Sebagian besar kakak tingkat atau pemateri pasti akan mengajarkan suatu kebenaran, namun diawali dengan sebuah keraguan. Dengan timbulnya keraguan dalam diri kita, otomatis diri kita akan terpaksa berpikir keras sehingga melatih untuk berpikir secara metodis dan radikal (mendalam). Sama halnya kita memeluk Islam jangan hanya atas garis keturunan saja tanpa mengalami perenungan yang lebih mendalam, karena disitu akan menimbulkan bertambahnya keimanan dengan adanya akal berpikir yang sehat. Maka dari itu gunakanlah akal yang sudah dianugerahi Allah sebagai alat untuk menyelami alam pikiran anda sendiri terhadap alam agar mengenal Sang Pencipta.

Namun yang penulis bingungkan sampai sekarang yaitu “adakah rukun berpikir yang benar dalam Islam?”, karena dewasa ini banyak orang mudah sekali menuduh sebagian orang bahkan kelompok disebut sebagai paham liberal, sekular dan lain sebagainya.

Faiz Amanatullah, Kepala Divisi Keilmuan & Keagamaan BEM FAI UMY

Exit mobile version