Sains dan Kekuasaan: Sebuah Refleksi Historis
Oleh: Muhammad Iqbal Birsyada
Dunia Sains selamanya tidak akan pernah lepas dari pada dominasi kekuasaan yang menindas. Pada Abad ke 4 SM, Socrates harus meregang nyawa karena imperium penguasa yang menindas. Mereka pemegang elit kekuasaan menghegemoni kaum-kaum intelektual agar tunduk pada perintah dan ketentuan-ketentuan yang telah mereka ciptakan. Begitu juga dengan Galileo Galilie yang harus pasrah dan menyerah akibat kungkungan dogma gereja yang hegemonik.
Di Jawa pada abad ke- 15 ada tokoh ulama seperti Syekh Siti Jenar yang juga menjadi tumbal atas hegemonisasi kekuasaan ulama syare’at terhadap ulama hakekat. Kondisi tersebut harus memuaskan diri Siti Jenar teralienasi dari pergumulan Dewan Wali. Paling tidak ada dua corak paradigma pengetahuan yang sampai saat ini berkembang.
Pertama, pengetahuan adalah bebas nilai dan selalu objektif. Paradigma kedua, pengetahuan tidaklah akan pernah mencapai nilai keobjektifannya, sebab ke-eksisan pengetahuan sangat bergantung pada sejauh mana daya dukung dan kekuatan kekuasaan yang menyertainya. Walaupun begitu, proses sejarah selalu membuktikan bahwasanya pengetahuan selalu berada dalam kungkungan dominasi kekuasaan dan akan selalu menjadi objek kekuasaan. Atau barangkali lebih tepat pengetahuan sebagai alat dikte penguasa kepada rakyat. Pengetahuan yang legal adalah yang mendukung statusquo.
Edward Said misalnya, mengkritik paradigma pengetahuan atau teori-teori barat yang mencoba menghegemoni dunia pengetahuan negara-negara ketiga (negara berkembang). Edward mengkritisi bahkan menguliti paradigma Sains menurut kaum orientalisme barat yang jika tidak didobrak akan menyesatkan pikiran masyarakat negara-negara berkembang yang membuatnya makin inferior, sedangkan lebih meneguhkan barat pada posisi superior.
Akhirnya, Edward Said mengusulkan untuk mengembalikan otonomi teori-teori lokal. Dia berpendapat, bahwasanya seluruh negara-negera di dunia berhak mengembangkan otoritas teori tanpa dominasi dari hegemoni Sains yang sedang dikembangkan bahkan yang selama ini menjadi rujukan barat.
Gugatan terhadap paradigma Sains
Gugatan terhadap paradigma Sains terutama pada metodologi dan cara berpikir barat yang hegemonik juga dilakukan oleh intelektual muslim Sayyed Hoesin Nasr. Nasr juga mengkritik paradigma pengetahuan barat yang cenderung mendewa-ndewakan aspek rasional dan meninggalkan tradisi intelektual masyarakat lokal terutama dalam hal dimensi spiritual. Masyarakat barat sekarang cenderung menjadi masyarakat kapitalis yang pada prakteknya telah mengalami banyak kehampaan spiritual.
Nurcholis Madjid bahkan dengan tegas mengatakan bahwasanya masyarakat modern telah banyak mengalami terjangkitnya kehampaan spiritualitas yang amat akut. Begitupula dengan Kuntowijoyo yang akhirnya harus mengusulkan paradigma Sains terutama dalam khasanah Islam untuk lebih ditunjukkan lewat refleksi-refleksi intepretasi aksi yang aplikatif bukan sekedar gagasan teoritik (utopis) yang tekstualis dan cenderung terkesan definitif.
Di Indonesia, gagasan pembaharuan pemikiran Islam pada awal abad 20 dapat dilihat lewat gerakan Muhammadiyah yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan sebagai refleksi sekaligus aksi pembebasan umat dari dominasi penjajah kolonial yang menindas. Walaupun pada awalnya KH. Ahmad Dahlan banyak dicap oleh kaum tradisionalis sebagai Kyai Palsu karena gagasan-gagasannya yang modern meniru gaya penjajah kafir, namun gerakan ini lambat laun terus mendapatkan sambutan positif dari berbagai kalangan pribumi.
Ke-egalitarian gerakan ini membuat pribumi lintas kelas menyambut dengan suka cita proses pembaharuan yang dibawa Muhammadiyah. Gerakan KH. Ahmad Dahlan pada fase awal-awal tersebut lebih menitik beratkan pada aspek pendidikan dan sosial. Oleh sebab itu barangkali benar jika banyak kalangan berpendapat bahwasanya gerakan yang dibawa KH. Ahmad Dahlan mirip dengan apa yang dilakukan oleh Syekh Muhammad Abduh di Timur Tengah.
HOS. Cokroaminoto pendiri Syarekat Islam berusaha keras mensintesakan antara Islam dengan nilai-nilai Sosialisme. Cokroaminoto berpendapat bahwasanya Islam dan Sosialisme adalah selaras dan senafas yang tidak perlu lagi dipertentangkan oleh umat Islam. Sebab menurutnya, sosialisme adalah bagian dari Islam. Di Jawa, gerakan SI yang juga mengedepankan ke-egaliterian ini mampu menjadi magnet kultural bahkan dapat menandingi dominasi kultural kraton dan pemerintah kolonial penjajah.
Dalam sekejap SI mampu meraup ratusan ribu pengikut yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara. SI yang pada era awalnya hanya sekedar membendung arus monopoli dagang yang dilakukan oleh Cina dan Barat kemudian berubah menjadi gerakan sosial dan politik yang lebih cenderung non cooperative dengan pemerintah kolonial. Konflik internal kemudian harus memaksa SI pecah menjadi dua kubu, yakni SI Merah dan SI putih dan lambat laun makin lama makin kurang solid kemudian perlahan mulai banyak ditinggalkan konstituennya.
Begitu pula dengan Hamka yang mengadakan pembaharuan pada ide keagamaan kaum tradisionalis khususnya aliran tarekat dan tasawuf yang cenderung ortodok yang mereka lebih menekankan pada penguatan aspek kesalehan individual. Hamka berpendapat bahwasanya orang yang melaksanakan nilai-nilai ajaran tasawuf tidaklah harus mengasingkan diri apalagi menjauh dari keramaian kehidupan dunia masyarakat. Tasawuf justru harus membaur dengan masyarakat, menolong dan menebar kebermanfaatan sebagaimana yang dipraktekkan oleh Nabi.
Gugatan Hamka terhadap tradisi tasawuf ortodok yang banyak dilakukan oleh kaum sufi dan tradisionalis tersebut dapat dilihat lewat karyanya Tasauf Modern dan Tafsir Al- Azhar. Pembaharuan dalam pemikiran keagamaan yang dilakukan oleh Hamka tidak lantas menjadikan kaum tradisionalis terutama kalangan pemraktik tasawuf khususnya tarekat menjadi bergeming. Namun dalam realitas, tokoh-tokoh aliran tarekat justru banyak yang melancarkan serangan balik terhadap gagasan Hamka yang dinilai keluar dari pakem metodologi tasawuf sebagaimana yang banyak dikembangkan dan dipraktekkan oleh ahli tasawuf maupun para sufi era klasik.
Dalam hal politik, Hamka juga termasuk katagori kritikus yang tajam terhadap gagasan dan kebijakan-kebijakan Soekarno yang dirasa bertentangan dengan semangat Islam. Hal ini kemudian harus membuat Hamka terasingkan dalam jeruji besi pada tahun 60-an karena tuduhan-tuduhan tidak sejalan dengan negara. Kesedihan Hamka ini sangat jelas dan tampak mengguncangkan jiwanya. Tanggapan Hamka atas tuduhan ini disampaikannya secara mendalam dalam pengantar karyanya Tasauf Modern.
Pada era 70-an Nurcholis Madjid (Cak Nur) mengajarkan gagasan Islam universal dan kosmopilitan. Menurutnya, Islam janganlah di sekat-sekat secara parsial, terlebih untuk kepentingan politik. Cak Nur yang tadinya digadang-gadang oleh kaum intelektual islam termasuk Masyumi menjadi kader andalan mereka, justru mengeluarkan jargon “Islam Yes, Partai Islam No” yang kemudian lebih menyandangkan Cak Nur tidak lebih dari sekedar sosok intelektual Muslim yang Liberal.
Cak Nur terpaksa harus menentang arus pemikiran maindstrim kaum muslimin kala itu. Cak Nur berpikir bahwasanya Islam itu adalah kosmpolitan bahkan menjadi doktrin peradaban. Menyusul Cak Nur kemudian Abdurrahman Wachid, Amien Rais dan Ahmad Syafi’i Maarif yang juga memiliki beberapa kesamaan dalam memandang Islam dan Keindonesiaan yang lebih moderat. Gagasan-gagasan mereka dalam prakteknya tidak begitu saja berjalan dengan mulus, banyak kalangan pula terutama umat Islam yang kurang sepakat memberikan perlawanan dan gugatan pemikiran yang cukup massif.
Sains dan Kekuasaan
Bertolak dari pandangan-pandangan di atas dapat kita simpulkan bahwasanya pengetahuan akan selalu berkorelasi dengan kondisi realitas sosial sekaligus dominasi kekuasaan yang melatarbelakanginya. Sifat dasar pengetahuan ingin selalu mencoba membebaskan masyarakat dari kungkungan kaum penindas. Cara yang dilakukannya adalah melalui proses penyadaran kritis “critical awarness” bersama masyarakat secara komunikatif dua arah.
Proses yang dialogis dan komunikatif dengan umat adalah kunci gerakan pembaharuan yang membebaskan. Lantas, kemudian bagaimana dengan fenomena padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi di Probolinggo yang menyeret nama salah satu intelektual muslim Indonesia yakni Marwah Daud Ibrahim? Kemanakah arah gagasan gerakan ini? Membebaskan masyarakat dari belenggu keterpurukan sosial ataukah justru menjerat masyarakat dalam jurang yang menindas dengan cara menebar iming-iming kekayaan dan ketenteraman palsu?
Secara teoritik, kepemimpinan kharismatik palsu yang dipertunjukkan oleh Taat Pribadi ternyata sangat ampuh untuk memperdaya sekaligus menjerat masyarakat dalam kungkungan sebuah kesadaran palsu. Dalam imaginasi mereka, para pengikut menjadikan tokoh Taat Pribadi bak seorang juru selamat atau mesias. Secara historis, gerakan-gerakan bercorak keagamaan model seperti ini hampir memiliki kesamaan struktur dari waktu-ke waktu. Pada abad ke 19 dan 20 gerakan-gerakan seperti ini muncul karena efek mewabahnya kemiskinan dan kelaparan pada penduduk pribumi karena faktor ketertindasan dari bangsa penjajah.
Tokoh-tokoh gerakan mesias tersebut rata-rata memiliki kharisma terutama memiliki kekuatan supranatural yang magis dan gaib serta memiliki berbagai kasekten yang jauh melampaui rata-rata manusia pada umumnya. Sartono Kartodirdjo menyebut tipekal gerakan model ini sebagai gerakan Ratu Adil atau millenarianisme. Ciri pokok gerakan keagaman model ini adalah berasal dari prophet, guru, dukun, tukang sihir atau utusan Mesias. Pemimpin-pemimpin model gerakan di atas biasanya mearasa diilhami oleh wahyu yang mendorong dia untuk bergerak. Gerakan-gerakan model ini biasanya membayangkan zaman masa depan menjadi sejahtera, masyarakat akan mendapatkan sandang pangan yang meilmpah serta orang akan dapat hidup tentram dan damai. Biasanya gerakan ini berlangsung secara radikal dan revolusioner.
Dalam tradisi gerakan-gerakan keagamaan di Jawa, sifat Mesias dan Ratu Adil juga sering tampak, khususnya dalam rangka perlawanan terdap kaum penjajah. Gagasan Mesias tersebut terwujud misalnya terangkum dalam kata “Perang Sabil”. Gerakan Perang Sabil yang dilakukan Haji Zaenal Arif di Kudus pada tahun 1847 misalnya, bertujuan melenyapkan orang-orang Eropa. Gerakan Kyai Rifai di Kalisalak Batang pada tahun 1800-an juga dalam rangka melawan dari dominasi kaum penjajah. Kyai Rifai bahkan mengharamkan umat muslim menikah dibawah penghulu yang dibentuk oleh birokrasi kafir pemerintah kolonial.
Kyai Rifai juga mengajak masyarakat untuk mengingatkan elit penguasa lokal seperti demang, lurah, bupati yang terlena dengan kemewahan dunia dan suka bermain judi lagi beristri banyak. Ia mangajak rakyat untuk menolak dan melarang masyarakat untuk mematuhi mereka. Gerakan-gerakan model seperti ini mengalami puncaknya pada masa Perang Diponegoro 1825-1830 yang sering disebut Perang Sabil. Salah satu penggerak dari gerakan ini adalah sosok Diponegoro dipersepsikan sebagai Ratu Adil atau Erucaraka yang selama ini ditunggu-tunggu oleh rakyat Jawa. Ramalan-Ramalan terhadap akan bangkitnya juru selamat mendorong gerakan yang dilakukan Pangeran Diponegoro ini sangat relovusioner.
Lalu bagaimana dengan struktur gerakan Dimas Kanjeng Taat Pribadi? Gerakan ini secara teoritis hampir mirip dengan model-model gerakan keagamaan di Jawa sebagaimana telah dijelaskan di atas. Apa lagi dengan murid yang jumlahnya puluhan ribu hanya dalam jangka waktu tahunan menjadikan model gerakan ini sangat massif dan masuk kedalam katagori revolusioner. Gerakan Dimas Kanjeng Taat Pribadi sama dan masuk dalam katagori model juru selamat atau Mesias.
Karomah atau kekuatan ghaib supranatural yang dapat mengadakan atau menggandakan uang adalah unsur pokok kekuatan yang dapat menarik simpati masyarakat untuk mengikuti dan bergabung dengan gerakan ini. Kesadaran magis tersebut dimanfaatkan oleh sang guru seperti Taat pribadi untuk menundukkan rasionalitas masyarakat yang barangkalai selama ini banyak telah dirundung berbagai masalah yang rumit dan komplek. Dimas Taat dipersepsikan oleh mereka pendukungnya sebagai juru selamat (Mesias) sedangkan pengikut sebagai orang-orang yang diselamatkan.
Gerakan yang diaktori Dimas Taat Pribadi ini seakan menikam nalar rasional pengetahuan yang selama ini terkonstruksi dalam benak fikiran masyarakat. Bisa jadi pula gerakan ini banyak pengikut karena efek kemiskinan struktural masyarakat yang selama ini tidak pernah terurai dan terpecahkan. Menjadi pengikut gerakan ini adalah upaya strategi instan yang dilakukan oleh masyarakat untuk menerabas secara cepat dari jalan keterpurukan menuju jalan kesejahteraan dan kedamaian.
Dan tampaknya gerakan ini terlihat sudah sangat profesional dan struktural karena melibatkan banyak kalangan klas masyarakat tak terkecuali intelektual dan disinyalir banyak birokrat dan politisi yang masuk dalam gerakan ini. Sekedar menanggungkan beban kesalahan kepada mereka para pengikut setia Dimas Kanjeng kiranya kurang bijak. Pemerintah, birokrat, politisi dan berbagai elemen masyarakat dan bangsa perlu interopeksi bersama dalam rangka membangun kesadaran sosial yang komunikatif dan dialogis dua arah kepada seluruh masyarakat untuk menciptakan rasa keadilan sosial terutama pembelaan pada kelas bawah.
Kepada politisi, birokrat dan sejenisnya yang terlibat dalam gerakan ini barangkali juga bagian korban struktural sistem demokrasi bangsa yang masih sangat prosedural dan berbiaya mahal. Pesta demokrasi hanya bisa diikuti dan dimenangkan oleh kaum elit, borjuis-borjuis berdasi saja yang barangkali secara kapasitas intelektual, etika dan moral masih dibawah standar.
Jika dahulu ada fenomena batu ajaib berkaromah dari Ponari yang dapat menyembuhkan segala penyakit hanya dengan sekali celup ke air. Sekarang, Dimas Kanjeng Taat Pribadi muncul dengan aksi karomah pengadaan uang. Barangkali benar jika ada pendapat bahwasanya masyarakat Jawa dari dulu hingga sekarang cenderung menyidap sindrom kagetan dan gumunan. Dua karakter negatif inilah kemudian dimanfaatkan oleh aktor-aktor palsu untuk meraup keuntungan individual yang kemudian berefek pada bentuk cara-cara yang menindas.
Demokrasi selama ini barangkali masih sekedar konsumsi elit yang tidak diperuntukkan untuk kelas bawah. Lebih-lebih untuk pesta demokrasi seakan jurang tersebut makin mengagah. Kaum borjuis berdasi dan berkantong gendut sebagai orang yang dipilih sedangkan klas bawah didekte sedemikian rupa untuk memilih mereka. Inilah dampak struktural yang harus kita alami dan hadapi. Proses penyadaran terhadap masyarakat saja akan pentingnya demokrasi saja tidaklah cukup, tanpa dibarengi dengan perubahan struktural secara revolusioner.
Muhammad Iqbal Birsyada, Alumni IMM Semarang