Muhammadiyah Maluku: Pusat Keunggulan dari Timur
Sekitar 81 tahun sudah perjalanan Muhammadiyah di Maluku. Sejak terbentuk hingga kini telah memiliki puluhan amal usaha dan sembilan PDM. Tidak dapat dipastikan kapan tepatnya Muhammadiyah masuk di kepulauan ini. Namun, tiga dasawarsa paska Muhammadiyah berdiri pada 1912, untuk pertama kalinya benih Muhammadiyah Maluku pun muncul di Kota Ambon.
Pada 1932, dipimpin Saleh Kastor dan Saparwi, kepanduan Hizbul Wathan (HW) telah melakukan aktivitasnya di Kota Ambon. Walaupun, saat itu, di Ambon Muhammadiyah belum berdiri secara resmi. Sejak itu, muncul komunikasi dan langkah intensif di antara para pencetus dan kaderkader untuk mendirikan Muhammadiyah di Ambon. Muhammadiyah pun berhasil didirikan, meskipun belum resmi.
Namun, pada masa awal perkembangannya, tepatnya tahun 1932, tantangan sudah datang, bahkan dari masyarakat Muslim setempat. Muhammadiyah dilabeli sebagai pembawa agama baru. Di tengah pemahaman dan pengamalan keberagamaan masyarakat Muslim yang masih terbelenggu takhayul dan kepercayaan tradisional, kedatangan Muhammadiyah dianggap telah mengubah tatanan keagamaan masyarakat yang dianut selama ini.
Pada 1936, atas prakarsa H Hamid bin Hamid, Muhammad Badjoeri, KH Ali Fauzi, dan Muhammad Pattisahusiwa, akhirnya Muhammadiyah Ambon berdiri secara resmi, walaupun stigmatisasi masih banyak terjadi, ditambah lagi pergolakan politik yang terjadi saat itu.
Pada 1938, Buya Hamka sempat mengunjungi Kota Ambon. Kedatangannya berhasil mengurangi ketegangan. Dialog dilakukan antara Pimpinan Muhammadiyah dan tokoh masyarakat, ulama, dan cendekiawan. Tantangan tersebut berdampak pada terhambatnya perkembangan Muhammadiyah Ambon, di mana akhirnya vacuum hingga 1951. Meskipun demikian, pergerakan tetap saja tak berhenti. Bahkan, dalam rentang tersebut, Muhammadiyah Ambon berhasil membangun satu sekolah: Sekolah Dasar (SD) Muhammadiyah Ambon.
Dalam rentang waktu 1952-1973, Muhammadiyah Ambon mulai bangkit. Ada lima tokoh yang berhasil membangkitkan Persyarikatan: H Hamid Bin Hamid, Muhammad Pattisahusiwa, Muhammad Amin Ely, Abd Latif Latuconsina, dan KH Ali Fauji. Dalam masa ini, dua amal usaha berhasil didirikan: SMP Muhammadiyah Ambon dan SMA Muhammadiyah Ambon. Dua sekolah ini masih kokoh berdiri hingga kini.
Pada 1960, Muhammadiyah Ambon mereorganisasi diri menjadi Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Maluku. Hamid Bin Hamid ditetapkan sebagai Ketua PWM Maluku. Mohammad Pattisahusiwa dan Abdullah Soulisa sebagai wakil ketua, dan Moh Amin Ely dan Ali Fauzi sebagai sekertaris I dan II.
Setelah tujuh tahun terbentuk, PWM Maluku memperoleh hibah dan dipercaya membina seluruh sekolah di wilayah Maluku, di bawah Yayasan Persatuan Muslim Indonesia (PERMI). Dalam rentang periode 1960-1973, keberadaan amal usaha pun mulai tumbuh pesat: berdiri SMA Muhammadiyah Masohi di Daerah Maluku Tengah; SMA Muhammadiyah Atiahu di Daerah Seram Bagian Timur; SMU Muhammadiyah Mamala dan SD Muhammadiyah Tehua di Maluku Tengah; dan berdiri SMP, SMA, MTs, dan Aliyah di Ternate, Maluku Utara. PDM dan Ortom pun mulai terbentuk. Pada 1974- 1990, PWM Maluku mulai memusatkan perhatian pada persiapan SDM dan dakwah di daerah terpencil dengan mengoptimalkan tenaga da’i’ dari Lembaga Dakwah Khusus (LDK) dan Rabitah Alam Islami.
Tonggak Kebangkitan Baru Muhammadiyah Maluku
Selama enam dasawarsa sejak pembentukan hingga periode 1990-1995, perkembangan Muhammadiyah Maluku mengalami pasang-surut. Pada 1991, atas desakan dan dorongan Ortom-Ortom Wilayah dan PDM se-Maluku, Musyawarah Wilayah (Musywil) dilaksanakan. Tahun 1991 ini dianggap sebagai momentum memulai tonggak sejarah baru Muhammadiyah Maluku, di mana selama kurang lebih empat periode sebelumnya organisasi sempat tersendat-sendat. Periode kebangkitan inilah, 1990-1995, atas bantuan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 35 masjid berhasil didirikan di Maluku dan Maluku Utara.
Saat konflik Maluku meledak (1999-2002), seluruh kemampuan PWM dan Ortom difokuskan untuk membantu penyelesian konflik dan penanganan korban. Muhammadiyah Maluku, bersama UNDP, membangun sistem pendidikan rekonsiliasi.
Dari sini, Muhammadiyah Maluku menambah dan melakuan rekonstruksi sejumlah amal usaha di bidang kesehatan dan pendidikan: dari TK hingga SMA/SMK yang tersebar di sejumlah daerah di Maluku, termasuk SMK Muhammadiyah Ambon (yang kini telah terakreditasi A) dan Klinik Assyifa Muhammadiyah Ambon. Sejak periode ini, upaya mendirikan Perguruan Tinggi Muhammadiyah pun digagas.
Pasca Muktamar Muhammadiyah ke-44 di Jakarta, tepatnya tahun 2001 (pasca pemekaran provinsi), PDM Maluku Utara (Ternate) ditetapkan menjadi PWM Maluku Utara. PDM baru pun mulai tumbuh, di antaranya PDM Seram Bagian Barat (SBB), PDM Buru Selatan, dan PDM Kota Tual.
Pada 2016-2017, PWM Maluku dan seluruh kekuatan Persyarikatan berniat mewujudkan Rumah Sakit Islam serta pengembangan dan inovasi-inovasi di bidang pendidikan (dari TK hingga perguruan tinggi), program pelayanan kesehatan umum berbasis daerah kepulauan, dan pemberdayan masyarakat. Salah satu di antaranya adalah Universitas Muhammadiyah Maluku (UNIMMA) yang dicanangkan bersamaan dengan Tanwir Muhammadiyah di Ambon, 23-26 Februari 2017.
Disusul dengan pencanangan pembangunan RS Islam, Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat) Pertanian, dan peresmian Klinik Apung Said Tuhuleley. Selain itu, enam unit sarana pendidikan di Seram Bagian Barat (SBB), pelayanan kesehatan (Klinik), dan sarana pemberdayaan, juga akan didirikan. Bahkan telah tersedia lahan seluas 11 hektar di PDM Dobo (Kepulauan Aru), Tual, dan Seram Bagian Timur (SBT) untuk dibangun sarana pendidikan.
Bagi PWM Maluku, pengembangan dan peningkatan kuantitas dan keunggulan dalam mengelola berbagai amal usaha adalah sebuah tuntutan. Yakni, dalam rangka meningkatkan daya saing dengan membangun pusat-pusat keunggulan dan kemajuan untuk mencerdaskan putra-putri bangsa, khususnya di daratan Timur Indonesia. (Th)
Sumber: Majalah SM Edisi 5 Tahun 2017