Hadits Munculnya Generasi Ruwaibidhah, Zaman yang Diperingatkan Rasulullah
Ruslan Fariadi
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتُ يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ. (رواه ابن ماجة)
“Dari Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah saw bersabda: “Akan datang tahun-tahun penuh dengan kedustaan yang menimpa manusia, pendusta dipercaya, orang yang jujur didustakan, amanat diberikan kepada pengkhianat, orang yang jujur dikhianati, dan Ruwaibidhah turut bicara.” Lalu beliau ditanya, “Apakah al-ruwaibidhah itu?” Beliau menjawab,“Orang-orang bodoh yang mengurusi urusan perkara umum” (HR Ibnu Majah).
Hadits ini diriwayatkan Ibnu Majah dalam Sunan-nya, bab syiddatu al-zaman (kerasnya zaman) nomor 4026. Sanadnya muttashil (bersambung), namun pada kualitas rawinya terdapat dua orang rawi bermasalah, yaitu Ishaq bin Abi Al-Furat dari kalangan kibar al-tabi’in (generasi tabi’in tua) yang dikomentari oleh Maslamah bin Qasim, Ibnu Hajar al-Asqalani dan Al-Dzahabi sebagai rawi majhul (tidak dikenal identitasnya).
Juga rawi yang bernama Abdul Malik bin Qudamah bin Ibrahim dari kalangan generasi tabi’ at-tabi’in, yang dikomentari oleh Abu Hatim sebagai dha’if al-Hadits (Haditsnya lemah), pun Al-Nasa’i mengomentarinya laisa bi al-qawi (tidak kuat). Imam Al-Dzahabi dan Ibnu Hajar al-Asqalani menilainya dha’if (lemah). Maka, secara kualitas Hadits ini terkategori Hadits dha’if.
Namun, selain riwayat di atas dari jalur sahabat Abu Hurairah ra, Imam Ahmad juga meriwayatkan matan Hadits tersebut dari dua jalur yang berbeda, yaitu dari sahabat Abu Hurairah ra dalam bab Musnad Abi Hurairah no. 7571 dan dari Anas bin Malik ra dalam bab Musnad Anas bin Malik. Hadits dari jalur Abu Hurairah ra sebagai berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّهَا سَتَأْتِي عَلَى النَّاسِ سِنُونَ خَدَّاعَةٌ يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ السَّفِيهُ يَتَكَلَّمُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ. (رواه أحمد)
“Dari Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya akan datang kepada manusia tahun-tahun penipuan, di dalamnya orang yang berdusta dipercaya sedang orang yang jujur didustakan, orang yang berkhianat diberi amanah, sedang orang yang amanah dikhianati, dan di dalamnya juga terdapat al-ruwaibidhah.” Ditanya, “Apa itu al-ruwaibidhah wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Yaitu orang bodoh yang berbicara (memberi fatwa) dalam urusan manusia” (HR Ahmad).
Hadits ini diriwayatkan dari Abu Hurairah ra dengan kualitas yang sama, sekalipun beberapa rawi yang terdapat dalam sanad Hadits ini berbeda dengan jalur Hadits pertama. Bahkan dinilai sebagai rawi-rawi yang tsiqah (kredibel) dan dhabit (kuat hafalannya), namun dijumpai adanya dua rawi yang divonis dha’if sebagaimana penjelasan di atas. Sedang Hadits riwayat Imam Ahmad dari jalur Anas bin Malik ra sebagai berikut:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَمَامَ الدَّجَّالِ سِنِينَ خَدَّاعَةً يُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ وَيُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ وَيَتَكَلَّمُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ الْفُوَيْسِقُ يَتَكَلَّمُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ. (رواه أحمد)
“Dari Anas bin Malik ra berkata, Rasulullah saw bersabda, “Sebelum munculnya Dajjal akan ada beberapa tahun munculnya para penipu, sehingga orang jujur didustakan, sedang pendusta dibenarkan. Orang yang amanat dikhianati, sedang orang yang suka berkhianat dipercaya, dan para al-ruwaibidhah angkat bicara,” ada yang bertanya, apa itu ruwaibidhah? Rasulullah saw bersabda, “Orang fasik yang berbicara tentang persoalan publik” (HR Ahmad).
Selain Hadits tersebut di atas, terdapat Hadits lain yang berbicara hal ini, sehingga menurut kajian penulis, dengan melihat beberapa jalur yang ada, maka Hadits yang berbicara tentang hal ini dapat dikategorikan sebagai Hadits hasan li–ghairihi (Hasan karena dukungan dari jalur lain). Hal senada dikemukakan oleh kritikus Hadits, Syu’aib Al-Arnauth, dalam Ta’liq Musnad Ahmad no. 7912, yang menilai riwayat Ibnu Majah sebagai Hadits hasan, pun Ibnu Hajar al-Asqalani mengomentari sanadnya dengan jayyid (bagus).
Bahkan kritikus Hadits lain, Nashirudin al-Albani, men-shahih-kan riwayat Ibnu Majah sebagaimana termaktub dalam Shahih wa Dha’if Sunan Ibni Majah no. 4036. Maka, Hadits ini dapat dijadikan sebagai dalil-argumentasi. Terlebih lagi, hal yang dibicarakan terkait dengan pesan moral dan perintah menjauhkan diri dari sifat-sifat tercela.
Penjelasan Isi-kandungan Hadits:
Imam Al-Suyuthi menjelaskan, maksud dari kata al-khada’ dalam Hadits di atas adalah “Al-Khadda’ al-makru wa al-hilatu, wa idhafatu al-khadda’ ila as-sanawat majaziyah wal–muradu ahlu as-sanawati” (Al Khadda’ artinya makar dan muslihat. Dikaitkannya Al Khadda’ kepada al-sanawat (tahun-tahun) merupakan bentuk kiasan/majaz, maksudnya adalah orang yang hidup di tahun-tahun tersebut) (Syarh Sunan Ibni Majah, 1/292).
Sedang kata al–ruwaibidhah, merupakan bentuk tashghir (pengecilan) dari al-rabidh yang berarti berlutut. Lalu kata al–rabidh yang makna aslinya berlutut, dipinjam penggunaannya (isti’arah) menjadi makna yang lain, yaitu posisi rendah (inferior). Seolah-olah menggambarkan orang yang berlutut itu sebagai orang yang rendah kemampuan dan keilmuannya, namun banyak berbicara dan mengeluarkan statement tanpa didasari oleh ilmu yang memadai dan dipandang baik oleh para pengagumnya, sehingga memiliki pengaruh dan dampak yang luas.
Lebih lanjut, Imam Al-Suyuthi menyatakan “Qauluhu wa yanthiqu fiha al-ruwaibidhah tafsiruhu ma marra min Haditsi Anas’; qulna ya Rasulallah ma zhahara fi al-umami qablana? qala al-malaku fi shigharikum wa al-fakhisyatu fi kibarikum wa al-‘ilmu fi rizdalatikum wa al-rajulu al-tafahu al-radzilu wa al-haqiru. Wa al-ruwaibidhah tasghiru rabidhah wahuwa al-‘ajizu allladzi rabadha ‘an ma’ali al-umuri wa qa’ada ‘an thalabiha”, (Sabdanya “Dan ar-ruwaibidhah berbicara”, penjelasannya adalah seperti yang disebutkan dalam Hadits Anas:
“Kami berkata; Wahai Rasulullah, apa yang nampak dari umat-umat sebelum kita?” Beliau bersabda: “Raja (pemimpin)-nya justru datang dari orang kecil di antara kamu, para pelaku kekejian justru adalah orang-orang besar kalian, dan ilmu justru ada pada orang jahat dan hinanya kalian (al-rajul al-tafih). Al-Ruwaibidhah adalah bentuk tasghir (pengecilan) dari rabidhah, yaitu orang yang lemah, yang berlutut pada orang-orang mulia yang memahami urusan, lalu dia duduk untuk mendapatkan sesuatu darinya) (Syarh Sunan Ibni Majah, 1/292).
Penjelasan di atas menegaskan bahwa Hadits ini memberikan informasi beberapa hal. Pertama, memberi peringatan tentang bahaya dan dampak berbicara tanpa landasan ilmu. Sebagaimana ditegaskan Allah SwT dalam Qs Al-Baqarah: 168-169 dan Qs Al-Isra’: 36. Kedua, penjelasan pentingnya sifat jujur sekaligus peringatan keras bahaya dusta, yang selaras dengan sabda Rasulullah saw dari Abdullah bin Mas’ud ra yang artinya:
“Hendaknya kalian bersikap jujur, karena kejujuran menuntun kepada kebaikan, dan kebaikan itu menuntun ke surga. Bila seseorang terus bersikap jujur dan berjuang keras melaksanakannya, ia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur (shidiq). Jauhilah kedustaan, karena ia menyeret kepada keburukan, dan keburukan menjerumuskan ke neraka. Bila seseorang terus berdusta dan mempertahankannya, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta” (HR Muslim).
Ketiga, Hadits ini menjelaskan, hendaknya seseorang memilih pemimpin yang memiliki kualifikasi dan kemampuan, baik ilmu, amanah, dan kejujuran, di samping pertimbangan lainnya. Keempat, Hadits ini menunjukkan jalan keluar ketika menghadapi situasi kacau semacam itu dengan kembali kepada ilmu (Al-Qur’an dan Al-Sunnah) dan ulama. Kelima, Hadits ini mengingatkan pentingnya menjaga amanah dan bahaya menyia-nyiakannya, di mana sejalan dengan penjelasan Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali:
‘Wa madhmunu ma dzukira min asyrat al-sa’ah fi hadza al-Haditsi yarji’u ila al-umur tawassadu ila ghairi ahliha, kama qala al-Nabiyu Shallallahu ‘alaihi wa sallama liman sa‘alahu ‘an al-sa’ati; idza wusida al-amru ila ghairi ahlihi fantazhirri al-sa’ati’. (Kandungan yang tertera dalam Hadits ini berupa tanda-tanda datangnya kiamat kembali pada persoalan-persoalan banyaknya urusan yang diserahkan pada yang bukan ahlinya, seperti sabda Nabi saw pada orang yang bertanya tentang arti al-Sa’ah (kiamat-kehancuran): “(yaitu) Jika urusan diserahkan pada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya)” (Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, 1/139).
Kesimpulan
Hadits ini memberi suatu peringatan akan datangnya suatu masa, di mana manusia dipenuhi berbagai intrik dan tipu-muslihat, serta kebohongan (hoax). Gambaran ini dijadikan oleh Rasul saw sebagai tanda-tanda dekatnya hari kiamat, di mana banyak pembohong dicitrakan sebagai orang jujur. Sebaliknya, orang jujur dikriminalisasi sebagai pembohong, para pengkhianat dipandang amanah, disambut bak pahlawan. Sementara orang yang amanah dianggap pengkhianat dan dikriminalisasi, serta orang-orang bodoh dipercayai untuk mengurusi persoalan masyarakat. Akibatnya, terjadi ketidakpastian, kekacauan (chaos) dan kehancuran. Wallahu a’lam bis-shawab.
Ruslan Fariadi, Dosen Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) dan mengajar di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah, Yogyakarta
Sumber: Majalah SM Edisi 9 Tahun 2017