DR Sidik Jatmika, MSi
K risis diplomatik Qatar 2017 mulai mencuat pada 5 Juni 2017 ketika negara Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain, Mesir, dan Maladewa secara tiba-tiba memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar. Pemutusan hubungan tersebut termasuk penarikan duta besar, memberlakukan larangan perdagangan dan perjalanan. Mereka mengeluarkan daftar berisi 13 tuntutan kepada Qatar melalui Kuwait, yang bertindak sebagai mediator. Bagaimana kita memahami fenomena krisis Qatar tersebut? Bagaimana dampak krisis tersebut bagi proses demokratisasi ‘Arab Spring’ yang muncul di Timur Tengah sejak tahun 2010?
Arab Spring
Memasuki dekade kedua abad ke-21, kawasan Timur Tengah ditandai dengan geliat gerakan rakyat menggugat berbagai kepemimpinan nasional mereka. Peristiwa itu dikenal sebagai Kebangkitan Dunia Arab atau Musim Semi Arab, atau dalam bahasa Inggris, The Arab Springs. Meski tidak semua pihak yang terlibat dalam protes merupakan bangsa Arab.
Yang terjadi adalah gelombang revolusi unjuk rasa dan protes yang terjadi di dunia Arab. Para pengunjuk rasa di dunia Arab mendengungkan slogan Ash-sha`b yurid isqat an-nizam (“Rakyat ingin menumbangkan rezim ini”). Sejak 18 Desember 2010, telah terjadi revolusi di Tunisia dan Mesir; perang saudara di Libya; pemberontakan sipil di Bahrain, Suriah, dan Yaman; protes besar di Aljazair, Irak, Yordania, Maroko, dan Oman, dan protes kecil di Kuwait, Lebanon, Mauritania, Arab Saudi, Sudan, dan Sahara Barat.
Protes ini menggunakan teknik pemberontakan sipil dalam kampanye yang melibatkan serangan, demonstrasi, pawai, dan pemanfaatan media sosial. Rangkaian ini berawal dari protes pertama yang terjadi di Tunisia tanggal 18 Desember 2010 setelah pembakaran diri Mohamed Bouazizi dalam protes atas korupsi polisi dan jaminan kesehatan. Dengan kesuksesan protes di Tunisia, gelombang kerusuhan menjalar ke Aljazair, Yordania, Mesir, dan Yaman, kemudian ke negara-negara lain. Protes ini juga mendorong kerusuhan sejenis di luar kawasan Arab.
Pada Juli 2011, unjuk rasa ini telah mengakibatkan penggulingan dua kepala negara, yaitu Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali yang kabur ke Arab Saudi tanggal 14 Januari setelah protes revolusi Tunisia. Di Mesir, Presiden Hosni Mubarak mengundurkan diri pada 11 Februari 2011, setelah 18 hari protes massal dan mengakhiri masa kepemimpinannya selama 30 tahun. Selama periode kerusuhan regional ini, beberapa pemimpin negara mengumumkan keinginannya untuk tidak mencalonkan diri lagi setelah masa jabatannya berakhir. Presiden Sudan Omar Al-Bashir mengumumkan ia tidak akan mencalonkan diri lagi pada 2015, begitu pula Perdana Menteri Irak Nouri Al-Maliki, yang masa jabatannya berakhir tahun 2014, meski unjuk rasa semakin menjadi-jadi menuntut pengunduran dirinya sesegera mungkin.
Protes di Yordania juga mengakibatkan pengunduran diri pemerintah sehingga mantan Perdana Menteri dan Duta Besar Yordania untuk Israel Marouf Al-Bakhit ditunjuk sebagai Perdana Menteri oleh Raja Abdullah dan ditugaskan membentuk pemerintahan baru. Pemimpin lain, Presiden Ali Abdullah Saleh dari Yaman, mengumumkan pada 23 April bahwa ia akan mengundurkan diri dalam waktu 30 hari dengan imbalan kekebalan hukum, sebuah persetujuan yang diterima oposisi Yaman secara tidak formal pada 26 April; Saleh kemudian mengingkari persetujuan ini dan semakin memperpanjang pemberontakan di Yaman.
Pemimpin Libya Muammar Khaddafi menolak mengundurkan diri dan mengakibatkan perang saudara antara pihak loyalis dan pemberontak yang berbasis di Benghazi. Dampak protes ini secara geopolitik telah menarik perhatian global, termasuk usulan agar sejumlah pengunjuk rasa dicalonkan untuk menerima Hadiah Perdamaian Nobel 2011.
Fenomena di Timur Tengah sejak 2010 tersebut dalam kajian ilmu politik sering dikenal sebagai demokratisasi, yaitu transisi ke rezim politik yang lebih demokratis. Transisi ini bisa terjadi dari rezim otoriter ke demokrasi menyeluruh, dari sistem politik otoriter ke semi-demokrasi, atau dari sistem politik semi-otoriter ke demokrasi. Dalam proses tersebut, salah satu kekuatan yang berperan besar adalah media-massa dimana Aljazaera yang bermarkas di Doha, Qatar adalah media massa terbesar di Timur Tengah. Bahkan, reputasi Aljazeera diakui banyak pihak sudah setara dengan media massa internasional sekelas BBC dan CNN. Melalui media massa itulah para pengunjuk rasa dapat menyuarakan berbagai tuntutan mereka sehingga medapatkan liputan luas dan dukungan internasional.
Frozen Democracy di Timur Tengah
Namun, kini, sampai dimana perjalanan perjuangan demokratisasi di Timur Tengah tersebut? Meminjam penjelasan O’Donnel dan Schmitter (1993), transisi menuju demokrasi selalu penuh ketidakpastian, sama sekali tidak linear dan rasional. Sehingga banyak sekali ketidakpastian soal kemampuan melewati masa ini. Seringkali, transisi demikian tidak berakhir dengan happy ending, tetapi justru sebaliknya. Banyak contoh menunjukkan bahwa saat transisi baru setengah jalan, lalu menjadi abortif dan gagal.
Hal tersebut rupanya juga terjadi di Timur Tengah dimana kisah sukses para demonstran tersebut tidak berlangsung lama. Hanya kurang dari tiga tahun saja, satu-persatu cahaya harapan keterbukaan politik tersebut kemudian meredup. Hal itu antara lain ditandai dengan menguatnya kembali kekuatan-kekuatan otoriter di beberapa negara. Salah satu contoh yang paling nyata adalah Mesir dimana Presiden Mohammad Mursi yang terpilih melalui pemilu yang demokratis, ternyata hanya bertahan kurang dari dua tahun. Akhirnya, Mesir dikuasai kembali oleh kelompok militer di bawah Jendral Asisi.
Demikian halnya dengan Yaman, penguasa yang didukung Saudi Arabia kembali menguat dan terus berusaha untuk melemahkan kekuatan oposisi yang didukung Iran. Hal serupa juga terjadi di Suriah dimana rejim Hafis al Assad akhirnya menemukan kembali momentum kebangkitan kekuatannya untuk melumpuhkan berbagai perlawanan oposisi.
Perjuangan untuk menuju konsolidasi demokrasi di Timur Tengah kenyataannya masih penuh ”ranjau”, bahkan bukan tidak mungkin kita berbalik dan mengarah pada kondisi transisi menuju demokrasi gagal. Berbagai fakta menguatnya kembali berbagai kekuatan otoriter di Timur Tengah tersebut seolah membenarkan apa yang dikatakan oleh George Sorensen, dosen senior dalam bidang politik internasional di Universitas Aarhus, Denmark, yang memperkenalkan frozen democracy (demokrasi beku). Sorensen memperkenalkan konsep demokrasi beku yang menggambarkan kondisi masyarakat dimana sistem politik demokrasi yang sedang bersemi berubah menjadi layu karena berbagai kendala yang ada.
Proses demokrasi mengalami pembusukan dikarenakan ketidakmampuan pemerintah yang berkuasa melakukan perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang mendasar sesuai dengan tuntutan reformasi, terutama yang menyangkut kepentingan dan perbaikan nasib masyarakat miskin. Hal ini juga didukung oleh studi John Markoff dalam bukunya Gelombang Demokrasi Dunia (2002) menyebutkan empat indikator yang mendasari beroperasinya konsep demokrasi beku yaitu: kondisi perekonomian yang tak kunjung membaik, mandeknya pembentukan masyarakat sipil, konsolidasi sosial politik yang tak pernah mencapai soliditas, dan penyelesaian sosial politik hukum masa lalu yang tak kunjung tuntas.
Ada apa dengan Qatar?
Ada beberapa alasan mengapa Qatar jadi sasaran ‘kejengkelan’ beberapa penguasa Timur Tengah di bawah pimpinan Saudi Arabia? Pertama, secara psikologis Saudi sebagai negara ‘kakak’ yang lebih luas wilayah dan lebih besar penduduknya merasa bahwa Qatar adalah ‘adik’ haruslah mentaati semua keinginan dan kepentingannya. Di sisi lain, Qatar yang super makmur berusaha lepas dari bayang-bayang Saudi dengan cara menjalin kerjasama militer dengan Turki dan Iran.
Kedua, Saudi dan Mesir sangat merasa tidak nyaman terhadap peranan media massa Aljazeera yang memberikan liputan luas terhadap tuntutan demokratisasi berbagai negara di Timur Tengah. Apalagi, tatkala Qatar memberikan perlindungan politik kepada beberapa aktivis oposisi Mesir maupun Saudi yang melarikan diri ke negaranya.
Berbagai upaya untuk membungkam peran media massa dalam proses politik dan fakta ‘frozen-democracy’ di berbagai negara Timur Tengah tersebut diatas, seolah kian menegaskan bahwa demokrasi masih merupakan hal yang mewah bagi kebanyakan rakyat di Timur Tengah.
DR Sidik Jatmika, MSi., dosen Politik Timur Tengah Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UMY
Sumber: Majalah SM Edisi 17 Tahun 2017