Royyan Mahmuda Al’Arisyi Daulay
Tragedi penolakan jenazah petugas medis yang gugur dalam pandemi Covid-19 oleh oknum salah satu wilayah di Jawa Tengah menambah panjang kisah pilu di tahun 2020 ini. Bukan hanya kali ini saja, sebelumnya beberapa daerah pun sempat ada oknum yang melakukan hal demikian. Tentu ini menjadi catatan serius bagi kita umat manusia yang beragama. Jangan sampai akibat wabah ini menghilangkan nilai terpenting dari manusia setelah tauhid, yaitu akhlak.
Saya teringat ada suatu riwayat yang menceritakan bahwa sahabat Nabi yaitu Sahal Bin Hunaif dan Qais Bin Sa’ad sedang bersantai di sebuah daerah bernama Qodisiyah (salah satu wilayah di Iraq). Tiba-tiba lewatlah iring-iringan jenazah di depan mereka. Lalu keduanya berdiri sebagai bentuk penghormatan kepada jenazah tersebut. Lantas orang-orang di sekitar mereka yang melihat adegan tersebut memasang raut wajah bingung dan bertanya-tanya.
Pasalnya jenazah yang akan disemayamkan tersebut merupakan seorang non-muslim (dzimmi), menurut desas desus yang ada. Sehingga orang-orang yang keharanan itu bertanya kepada kedua sahabat Nabi tersebut. Kemudian kedua sahabat Nabi itu menceritakan kisah yang pernah mereka dengar dari sahabat Abdur Rahman bahwa sesungguhnya pernah suatu hari, Rosulullah SAW berdiri dan diam sewaktu lewat di depan iring-iringan orang yang mengantar jenazah.
Para sahabat yang berada di dekat Nabi pun mengikuti perilaku tersebut, tetapi setalah itu mereka menjelaskan kepada Nabi bahwa jenazah yang lewat tadi adalah seorang Yahudi. Nabi Muhammad SAW yang mendengarkan penjelasan itu menjawab, “Aku tahu, tapi tidakkah si fulan (orang Yahudi yang meninggal) juga manusia?”.
Nabi pun pernah bersabda sebagaimana yang diriwayatkan dalam sahih Muslim, “ Idza roaitum al-janazah faquumuu lahaa hatta tukhollafatukhollafakum au tuudho’a, artinya jika kalian melihat jenazah, maka berdirilah sampai hilang dari pandangan atau dimasukan dalam kubur”. Saya bukan dalam rangka membicarakan hukum dari berdiri ketika melihat iringan jenazah, karena ada banyak ikhtilaf diantara para ulama. Namun terlepas dari itu semua, tindakan Nabi Muhammad SAW, seorang manusia yang dicintai Allah, yang menghormati jenazah meskipun bukan bagian dari kaumnya merupakan sikap yang sangat menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Padahal beliau punya otoritas untuk dapat bersikap biasa saja atau bahkan diabaikan, akan tetapi beliau lebih memilih untuk bersikap menghargai dan menghormati.
Maka tidak heran jika ajaran Beliau sangat kental dengan menghadirkan sikap yang baik sebagai seorang muslim dan juga manusia. Beliau pun pernah bersabda, “innama bu’istu li utammima makarimal akhlaq, artinya : Sungguh tidaklah aku diutus melainkan untuk menyempurnakan akhlak”.
Lalu berjarak ribuan tahun semenjak beliau menanamkan akhlak sebagai ruh dalam ajaran Islam, terjadi fenomena yang tidak hanya menciderai namun juga melukai nilai-nilai akhlak islami. Penolakan yang dilakukan oleh oknum terhadap jenazah korban virus corona untuk disemayamkan di beberapa daerah merupakan ironi yang membuat sedih. Terlebih yang menolak dan ditolak merupakan sesama muslim.
Di tengah pagebluk covid-19 yang semakin merajalela ini seharusnya kita sebagai umat beragama bisa mengedepankan akhlak yang lebih baik lagi dalam menghadapi musibah ini. Tidak perlu saling bersikut-sikutan menimbun perbekalan untuk merasa aman sendiri. Karena ibadah zakat serta sedekah mengajarkan kita bahwa yang dapat menenangkan jiwa bukanlah harta, tetapi rasa yang ikhlas untuk berderma kepada sesama. Tidak perlu juga marah ketika diingatkan untuk selalu menjaga kebersihan serta menjaga diri dengan menggunakan masker. Baik oleh orang yang lebih tua maupun yang muda, ketika ada yang mengingatkan bukanlah itu karena rasa peduli sebagai sesama manusia?
Lalu yang tidak kalah penting, janganlah kita saling tolak-menolak terhadap jenazah para korban pagebluk ini? Nabi saja sangat menghargai jenazah manusia meskipun berbeda agama, mengapa kita tidak padahal beragama yang sama? Apalagi sudah ada penelitian-penelitian yang menegaskan bahwa jenazah yang sudah disemayamkan tidak dapat menulari virus ini.
Entahlah, yang sudah terjadi saat ini hanya akan terekam dalam memori dan menjadi sejarah abadi umat manusia di kemudian hari. Namun yang perlu diresapi, nanti sejarah ini akan banyak dikaji. Bukan hanya peristiwa penyebaran penyakitnya saja, tetapi juga perilaku orang-orang yang menjalaninya.. Mudah-mudahan pandemi ini segera berakhir dan kita dapat mengambil banyak hikmah untuk bekal hidup selanjutnya, terutama mengedepankan akhlak kepada sesama manusia
Royyan Mahmuda Al’Arisyi Daulay, alumni Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta