Teori Konspirasi di Tengah Wabah Corona, Siapa Dalangnya?

Teori Konspirasi di Tengah Wabah Corona, Siapa Dalangnya?

Ilustrasi Dok CNN

Oleh: Fahd Pahdepie

Kita selalu butuh kambing hitam untuk merasa baik-baik saja. Inilah yang menjadi alasan mendasar mengapa di tengah krisis seperti sekarang ini, teori konspirasi dan berita hoaks menjadi laris manis sebagai bahan perbincangan publik. Mekanisme pertahanan diri di otak kita cenderung mencari pihak tertentu yang bisa disalahkan.

Karen Douglas, profesor psikologi sosial dari University of Kent, Inggris, mengatakan bahwa, “Teori konspirasi berkembang pesat di masa krisis seperti saat ini, karena peristiwa besar selalu membutuhkan penjelasan yang besar pula. Penjelasan-penjelasan kecil selalu terasa tidak memuaskan.” Katanya.

Mengapa solusi dari pandemi adalah mencuci tangan? Siapa yang paling diuntungkan jika kita menjaga jarak fisik dan berdiam di rumah? Mengapa Vitamin C dan masker langka di pasaran? Rencana besar apa yang sedang berlangsung?

Pikiran-pikiran semacam itu kerap muncul karena kita gagal memahami rangkaian peristiwa besar yang sedang terjadi. Dalam kasus wabah corona, virus ini bukan hanya mengancam hidup kita tetapi sekaligus meruntuhkan tatanan ekonomi dunia. Pandemi COVID-19 ini menyerang rasa takut kita dan memaksa otak kita menemukan penjelasan-penjelasan yang menenangkan tentangnya.

Teori konspirasi terasa masuk akal karena cenderung menyalahkan pihak-pihak yang memang selama ini menjadi musuh besar dan sumber ketakutan kita, terutama yang berlawanan secara ideologi. Mereka yang miskin akan melihat orang kaya sebagai musuh utama. Begitu juga sebaliknya.

Namun, cara pandang tentang dunia yang saling berlawanan ini bisa lebih kompleks lagi. Jika kita melibatkan politik ke dalamnya, apalagi ideologi dan agama, semua akan menjadi semakin rumit. Tetapi di sanalah teori konspirasi dan berita hoaks menemukan ruang bermainnya. Semakin sesuatu bersifat ambigu dan tampak kompleks, semakin terasa benar karena mungkin ‘ada yang disembunyikan oleh musuh’.

Sialnya, sebagian politisi, pemuka agama, atau siapapun yang memiliki ‘worldview’ semacam ini membuat semuanya seolah valid. Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menyebut corona sebagai ‘Chinese virus’ untuk menyalahkan China sebagai pihak yang paling bersalah. Para pengikutnya percaya bahwa virus ini diproduksi di sebuah lab di Wuhan dan sebarkan ke seluruh dunia, untuk kepentingan China. Gejala rasisme meningkat di mana-mana.

Sebaliknya, Xi Jinping menyebut bahwa militer Amerika Serikat-lah yang paling bertanggung jawab pada penyebaran COVID-19 ini. Bahkan beredar video di media sosial paling populer di China, Weibo, menunjukkan seorang anggota militer AS tampak sengaja menempelkan cairan dari mulutnya ke rail besi di sebuah bus di kota Wuhan.

Joseph Uscinski, seorang ilmuwan politik terkemuka dari University of Miami, Amerika Serikat, yang dikenal sebagai pakar teori konspirasi menyebut bahwa kecenderungan-kecenderungan untuk menyalahkan pihak lain sebagai yang paling bertanggung jawab menjadi penyebab krisis bukanlah hal baru dalam politik global. Hal ini penting untuk memperkuat basis dukungan dan mempertegas posisi berlawanan dengan pihak lain.

Selama berabad-abad politisi menggunakan cara ini dalam melakukan komunikasi politik di tengah krisis. Kita ingat bagaimana ketika wabah pes melanda Eropa dan menewaskan lebih dari 35% penduduknya di abad ke-14. Dalam peristiwa yang dikenal sebagai ‘the Black Death’ itu, orang Yahudi menjadi pihak yang paling disalahkan. Karena secara politik orang Yahudi menjadi musuh terbesar orang Eropa pada saat itu.

Atau yang terbaru, peristiwa 9/11 yang menewaskan lebih dari 2.900 orang dan meruntuhkan gedung kembar WTC di Manhattan, New York, Amerika Serikat. Terlepas dari pelaku bom pesawat itu, sentimen ‘Islam sebagai musuh’ yang dibawa George W. Bush melalui kebijakan ‘war on terror’ telah menjadikan Islam sebagai musuh utama dan kambing hitam dalam hampir seluruh aksi terorisme di seluruh dunia pasca kejadian itu. Bahkan melegitimasi invasi ke Irak dan Afghanistan.

Ini pulalah yang menjelaskan mengapa sebagian politisi dan pemuka agama Islam di Indonesia pada saat itu menempatkan Amerika Serikat sebagai musuh utama. Tetapi, seiring pendulum politik global berpindah, diikuti sejumlah propaganda dan konstelasi politik lokal yang ada, China kemudian menjadi musuh utama di Indonesia.

Dalam kasus teori konspirasi di seputar virus corona yang beredar di Indonesia, kisahnya menjadi lebih berantakan. Sebagian menunjuk hidung China sebagai biang keladi, sebagian lain merasa bahwa ini ulah Amerika Serikat dan PBB yang berusaha membesarkan bisnis farmasi. Mirip narasi teori konspirasi ketika terjadi wabah flu babi H1N1 tahun 2009 lalu. Ada juga yang menganggap ini azab Tuhan untuk pemerintahan yang sedang berkuasa.

Menurut Uscinski, teori konspirasi seperti ini terus berkembang setidaknya karena dua hal. Pertama, karena tokoh-tokoh besar seperti politisi dan pemuka agama dengan banyak pengikut menggunakan narasi-narasi berbau teori konspirasi semacam ini. Kedua, karena kepercayaan publik yang sangat rendah pada institusi resmi pemerintahan dan media.

Akibatnya, teori konspirasi terasa lebih masuk akal dan bisa diterima oleh publik. Ditambah dengan kecenderungan psikologis kita tadi, bahwa kita cenderung merasa nyaman jika ada pihak-pihak yang bisa disalahkan di tengah situasi yang tidak menguntungkan seperti krisis. Dan jauh lebih menenangkan jika pihak yang bisa disalahkan itu adalah pihak-pihak yang tidak kita sukai, bukan?

Lantas, apakah teori konspirasi itu benar dan bisa diterima? Yang jelas, teori konspirasi tidak pernah bisa diterima di tengah dunia akademik, karena mengandung bias dan subjektivitas yang terlalu banyak. Singkatnya, teori konspirasi hanya menyenangkan pihak tertentu yang mempercayainya saja.

Pernah dengar ustadz yang mengatakan bahwa virus corona ini adalah azab Tuhan untuk mereka yang berdosa? Di mana narasi ini di sampaikan? Di tengah komunitas orang-orang yang tidak menyukai para pendosa. Pernah dengar orang yang mengatakan bahwa virus ini rencana jahat Freemason dan Illuminati? Tentu yang percaya pada teori itu adalah mereka yang sejak lama menganggap bahwa kelompok ini musuh dunia.

Kenyataannya, AS menarik 400 juta dollar dana dukungannya pada WHO dan PBB. China mengalami kerugian miliaran dolar akibat virus ini. Perusahaan-perusahaan farmasi belum berhasil menemukan vaksin dan menjualnya ke seluruh dunia. Dan virus ini menjangkiti orang apapun agama dan etnisnya.

Krisis ini memang berat. Belum bisa kita jelaskan dengan penjelasan-penjelasan besar yang memuaskan. Tetapi kita tidak perlu memaksakannya. Apalagi mengarang teori konspirasi. Siapa dalangnya? Kita tidak tahu. Mungkin tidak ada. Kita hanya perlu mulai bertindak, sekecil apapun tindakan itu: Termasuk mencuci tangan dan menjaga jarak.

Tabik!

Fahd Pahdepie, Penulis

Exit mobile version