Orang-Orang Muhammadiyah Yang Bersahaja
Oleh: Hajriyanto Y. Thohari
SEBAGAI orang Muhammadiyah, saya tersenyum sedikit keki ketika dalam suatu kuliah Prof. Harsya W. Bachtiar, guru besar Sosiologi Universitas Indonesia, membuat daftar ciri-ciri dan perilaku orang Muhammadiyah seperti yang dilihat dalam pengamatan dan penelitiannya: sederhana, bersahaja, kerja keras, hemat, suka menabung, filantropis, volunteeris, dan sederet lagi. Saking sederhananya orang Muhammadiyah beliau juga menceritakan wasiyat sang ayah, Prof. Sutan Adam Bachtiar, orang Minangkabau dan warga Muhammadiyah kelahiran Pariaman, Sumatera Barat, yang berwasiat melarang anak-anaknya nanti membangun makamnya bahkan menziarahi kuburnya.
Dalam hal ziarah kubur ini Prof. Harsya mengatakan bahwa dirinya terkadang sampai merasa dilematis antara mendengar pesan almarhum ayahandanya atau mengikuti pandangan khalayak yang biasa mengekspresikan rasa berbakti kepada orang tuanya yang sudah meninggal dengan berziarah kubur secara rutin. Syang beliau memang tidak bercerita akhirnya sering berziarah kubur atau tidak.
Tentu Prof. Harsya tidak sekadar bercerita: beliau sedang memberikan kuliah tentang Max Weber di program Pascasarjana Antropologi Universitas Indonesia (UI), di mana saya salah seorang mahasiswanya (tahun 1990). Prof. Harsya mengajar kami dua semester berturut-turut: semester pertama mengajar Max Weber, semester kedua Talcott Parson. Begitulah memang nama mata kuliahnya waktu itu: Mata kuliah Max Weber dan Mata Kuliah Talcott Parson. Walhasil, satu semester penuh kuliah membahas Max Weber saja, dan semester berikutnya secara penuh pula membahas Talcott Parsons. Kedua sarjana ini memang memperoleh kedudukan yang sangat terhormat di UI (waktu itu).
Etika puritan
Pembaca tentu sudah bisa menebak dengan mudah dalam konteks apa Prof. Harsya bercerita tentang etika orang Muhammadiyah tersebut. Pasti, dalam rangka kuliah tentang Weber. Beliau pada hari itu, tiga puluh tahun yang lalu, sedang menjelaskan salah satu teori Max Weber dan bukunya yang sangat terkenal The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Buku itu semula ditulis dalam bahasa Jerman pada tahun 1904 dan diterjemahkan oleh Talcott Parsons ke bahasa Inggris tahun 1930. Seperti halnya orang-orang Calvinis (sebuah sekte Protestanisme) di Eropa Barat yang puritan, orang Muhammadiyah juga dikenal hidup sangat bersahaja, hemat, sederhana, asketis, suka menabung, kerja keras, dan memandang kerja sebagai panggilan.
Sukidi, anak Muhammadiyah yang baru lulus Ph.D dari Harvard tahun lalu, pernah menulis kesejajaran tersebut dalam “Max Weber’s Remarks on Islam: The Protestant Ethic among Muslim Puritans”, jurnal Islam and Christian-Muslim Relations, vol. 17, No. 2, p. 195-205, April 2005. Tulisan yang sangat menarik itu dikomentari oleh Clifford Geertz, seorang antropolog kondang yang juga seorang Weberian, dan diklaim sebagai mirip dengan rencana disertasi dia yang tidak jadi ditulis, ‘Muslim ethic and the rise of petty capitalism’, tetapi belakangan ditransformasikan menjadi buku The Peddlers and Princess, yang juga terkenal itu. Geertz menulis semacam pengantar pendek bagi tulisan Sukidi tersebut. Hebat sekali anak Muhammadiyah dari Sragen yang satu ini!
Kembali ke kuliah Prof. Harsya tersebut. Dalam kuliah tersebut Prof. Harsya tidak lupa menceritakan kehidupan ayahandanya, Prof. Sutan Adam Bachtiar, yang hidupnya di kota dingin Malang, sebagai sangat mencerminkan ciri-ciri itu: hidupnya bersahaja, sederhana, asketis, kerja keras, filantropis, dan lain-lainnya.
Orang Muhammadiyah yang betul-betul menghayati semangat reformisme Islam yang mengamalkan nilai-nilai puritanisme biasanya dikenal hidup seperti itu. Prof Mitsuo Nakamura, seorang antropolog yang semua orang tahu disertasi doktornya tentang Muhammadiyah, juga menemukannya dalam penelitiannya terhadap tokoh-tokoh Muhammadiyah, dan kemudian ditulis dalam artikelnya yang yang sangat menarik berjudul Sufi Elements in Muhammadiyah?: Notes from Field Observation (1980). Kalau diamati kehidupan orang-orang Muhammadiyah dulu memang seperti itu. hidupnya bersahaja, sederhana, asketis, kerja keras, filantropis, dan lain-lainnya.
Saya ingat betul Prof. Malik Fadjar sangat dikenal dengan mobil-nya Suzuki Carry atau Daihatsu minibus (saya lupa) yang sangat sederhana itu ketika menjabat rektor Universitas Muhammadiyah Malang yang begitu besar itu. Padahal beliau menjabat rektor universitas swasta terbesar di Jatim itu. Mobil tua warna merah itu keberadaannya sekaligus menjadi penanda beliau sedang ada di kantor ataukah tidak. Pasalnya, mobil “dinas” Suzuki Carry atau Daihatsu jenis minibus 1200 Cc yang sangat sederhana itu selalu terparkir dengan gagahnya di halaman rektorat sampai malam hari. Apabila mobil itu ada terparkir di sana dengan anggunnya berarti beliau masih berada di kantornya.
Pada masa Buya Prof. Syafii Maarif menjadi ketua PP Muhammadiyah, kendaraan “dinas”-nya di Jakarta adalah kijang Inova tua yang di pintu depan kanan dan kiri ada branding lambang Muhammadiyah lengkap dengan tulisan PP Muhammadiyah yang sangat menyolok. Buya lebih sering setir sendiri mobil yang sangat “mewah” itu manakala menghadiri beberapa acara di Jakarta. Apalagi kalau beliau makan nasi Kapau di trotoar pinggiran jalan di bilangan wilayah Senin, Jakarta Pusat, yang tidak terlalu jauh dari kantor PP Muhammadiyah, tempat beliau tinggal ketika di Jakarta itu.
Suatu ketika Prof. Malik sedang berbincang ringan dengan saya di teras gedung PP Muhammadiyah, tiba-tiba Buya dengan mobil “dinas”-nya itu masuk ke halaman. Ketika pintu terbuka Buya Syafii keluar dari mobil, menguncinya, dan berjalan menuju teras gedung sambil menenteng satu bungkusan nasi kapau. Rupanya Buya habis makan malam di warung Nasi Kapau. Setelah dekat dengan kami, seakan mau memberi tahu apa yang dibawanya, buya mengatakan “Habis makan nasi Kapau, dan sekalian bawa satu bungkus untuk sahur nanti”. Melihat kesederhanaan yang luar biasa seperti itu, Prof. Malik mengatakan “Ketua PP kok kayak gitu…”. Maksudnya, betapa sederhananya. Dus, orang sederhana mengomentari orang yang lebih sederhana lagi!
Pak AR Fachruddin, Ketua PP Muhammadiyah selama puluhan tahun sampai tahun 1990, sepertinya malah tidak punya mobil dinas. Kemana-mana beliau lebih sering mengendarai sepeda motor Bebek warna merah. Pak AR, demikian beliau sering dipanggil, juga tinggal di rumah dinas tua yang sedehana di Jalan Cik Di Tiro, Yogyakarta. Saking sederhananya beliau membolehkan orang jualan bensin eceran di halaman rumahnya tanpa kekhawatiran sama sekali kalau sampai ada yang nanti mengatakan beliau sendiri yang jualan bensin eceran itu.
Apakah sekarang masih?
Melihat kesederhanaan atau asketisme orang-orang Muhammadiyah seperti itu Mitsuo Nakamura sampai menyebutnya sebagai elemen-elemen sufi dalam Muhammadiyah (Sufi Elements in Muhammadiyah Movement). Padahal itu semua bukan elemen sufi, melainkan etika kesederhanaan dan kebersahajaan orang Muhammadiyah yang biasa-biasa saja. Sama sekali bukan diambil dari ajaran sufi. Pasalnya, Muhammadiyah tidak akrab dengan tasawuf, apalagi Tharikat. Muhammadiyah mengajarkan berjuang, bekerja keras agar kaya dan dengan kaya maka bisa berzakat, berinfak dan bersedekah dalam semangat asketisme dan filantropisme. Mencari kekayaan yang banyak tidak pernah diajarkan oleh tasawuf yang asli madzhab apapun!
Berbeda dengan organisai lain, Pemimpin-pemimpin Muhammadiyah juga bersahaja dalam berpakaian. Jarang sekali yang pakai gamis, sorban, jobah, pegang tasbih, atau aksesori-akasesori keagamaan yang lainnya yang kearab-araban. Bahkan yang sekadar pakai kopiyah saja, sependek pengetahuan saya, termasuk jarang. Kecuali dalam pertemuan-pertemuan resmi, atau ketika berkhutbah. Kecenderungan puritanisme telah membuat Muhammadiyah menjadi semacam gerakan etik: minum tangan kiri dicela, minum tidak baca bismillah dicela, salaman dengan perempuan yang bukan muhrim dicela, tidak puasa sunat hari Arafah diam-diam dicela juga. Itulah orang-orang Muhammadiyah.
Pertanyaannya adalah pakah orang Muhammadiyah sekarang masih bersahaja seperti itu? Silahkan para pakar menelitinya secara ilmiah. Dan karena saya belum menelitinya, maka mana saya berani mengatakannya di ruang publik seperti ini? Kalau di ruang tertutup dan agak privat tentu saya akan berani menjawabnya pelan-pelan: kayaknya sih sudah sedikit berubah…hehehe…*
Hajriyanto Y. Thohari, Dubes RI untuk Lebanon