Cerpen Oleh: Diko Ahmad Riza Primadi
“Cara terbaik mengecewakan penderitaan dan kesedihan adalah menjalaninya dengan penuh kelapangan.”
“Kami di desain oleh Tuhan untuk menghadapi kemungkinan terburuk dan keadaan paling menyedihkan,” ujar salah seorang bocah penjual kue saat ditanya perihal negerinya yang hancur akibat perang yang tak berkesudahan. Pernyataan tersebut terlontar begitu saja dengan penuh kenyakinan. Sorot matanya menantang siapa dan apa saja yang datang dari masa depan. Nyalinya kuat, menyusun dan merangkai jalan untuk ia tapaki menuju kebijaksanaan dan keadilan Tuhan. Seolah kesedihan yang ada pada dirinya telah menguap habis oleh panasnya jutaan mesin perang abad modern.
Bocah penjual kue di salah satu perempatan lampu merah Kota Kilis itu adalah Adnan, bocah asli Suriah yang dilahirkan dari rasa kehilangan, dibesarkan oleh ketidakadilan, dididik oleh kemiskinan dan kelaparan, serta disayangi oleh jiwa kesederhanaan. Ia merupakan bocah yang hidup sebatang kara. Di usia yang masih sangat belia, jiwa dan pikirannya telah jauh berkelana menyelami samudera kehidupan nan ganas dan kejam. Jika di dunia ini terdapat Universitas yang memiliki Fakultas Kegigihan di Tengah Kegetiran, maka ia adalah satu-satunya orang yang pantas menyandang gelar guru besar di fakultas tersebut.
Bagi sebagian orang yang mengenal dirinya dan mengerti kisahnya, Adnan adalah sebuah oase di tengah bumi yang gersang dan tandus. Ia merupakan sumber kebanggaan yang melahirkan optimisme. Di samping oase, Adnan juga seorang petarung sejati untuk kepentingan kemanusian, perdamaian, dan kebahagiaan demi keberlangsungan hidup keluarga miskin yang ditelantarkan kemewahan.
Sejurus kemudian ia balik bertanya kepada orang dewasa yang menghampiri dirinya karena merasa iba, “Paman, apakah semua orang di dunia ini hidup bahagia?”
Seperti tersambar petir di siang bolong, sang pria muda mencoba menjawab, namun dihantui dengan perasaan ragu dan berkata “Mungkin sebagian orang bahagia dan sebagian yang lain tidak merasakannya.”
Adnan kurang puas dengan jawaban yang diberikan. Ia kembali bertanya dengan pertanyaan yang lebih spesifik, “Darimana paman tahu bahwa seseorang bahagia atau menderita dalam hidupnya?”
Pria muda itu terdiam beberapa saat. Berpikir, mencari jawaban yang tepat. Sesekali membetulkan posisi kaca matanya yang sebetulnya tidak bermasalah, hanya agar terlihat sedikit serius dan berwibawa. Memejamkan mata diiringi dengan tarikan nafas panjang, getaran gelombang merabat dengan cara merangkak sehingga terdengar agak terbata-bata, “Orang yang bahagia adalah mereka yang memiliki segalanya. Sedangkan mereka yang menderita adalah mereka yang tak memiliki apa-apa.”
“Apakah paman, yakin dengan jawaban itu?” tatapan matanya seperti mengintrogasi. Jiwanya membela diri yang seakan tersudutkan oleh waktu dan keadaan. Di akhir perjumpaannya, langit berusaha menampakkan wujud yang sebenarnya, warna merah jingga menghiasi atap semesta. Jalanan mulai sepi seiring dengan meredupnya radiasi elektromagnetik oleh cahaya matahari.
Sore itu, dipandanginya langit yang mengirimkan pesan keteduhan dalam setiap perasaan. Senyumnya merekah. Ditatanya kembali kue jualan yang masih utuh karena tak ada satu pun orang yang membeli.
“Paman, hari ini aku merasa sangat bahagia karena aku dapat kembali menyapa semesta. Berjalan dan berlari kesana kemari menghampiri calon pembeli dengan sepasang sendal yang kumiliki. Terkadang orang kaya lupa bahwa orang miskin mampu bahagia walaupun dengan cara yang sangat sederhana.”
*) Kota Kilis merupakan kota yang ada di Turki dan berbatasan langsung dengan Suriah menjadi tempat yang aman bagi ratusan ribu warga Suriah dan Palestina.