Liburan puasa, di zaman dulu berlangsung empat puluh hari. Anak-anak dan orangtua tidak bingung mengisi liburan panjang ini.
Sudah tersedia paket pendidikan karakter yang efektif. Misalnya, di keluarga diminta membantu orangtua, menjaga kebersihan rumah, halaman dan dapur.
Juga, mengantarkan gawean atau pekerjaan menjahit yang sudah jadi ke juragan dan pulangnya diberi uang beceran, uang kasbon harian. Sekaligus belajar berbelanja bahan makanan untuk berbuka. Biasanya, ini dikerjakan bergantian oleh keluarga yang anaknya banyak.
Waktu luang karena tidak piket di rumah, dipergunakan untuk ikut mempersiapkan tarwehan anak anak. Ini dikerjakan dengan cara beregu. Kerjanya mirip EO kecil-kecilan.
Menyapu pendapa yang akan dipakai untuk tarwehan, menata tikar dan sajadah di pengimaman. Mengecek cangkir kaleng yang untuk diisi minuman jaburan selepas taraweh, mengisi bak untuk berwudlu, mengecek kayu bakar, cerek besar, gula, cengkih, jambu, sereh untuk dimasak jadi setup, juga berbelanja makanan untuk mengisi kafetaria di pojok tarwehan.Ditambah membeli kolang-kaling dan pisang kepok untuk kolak dan sebagainya.
Setelah Asar regu ini bergerak, ada yang ke pasar, ada yang sibuk di dapur hampir umum ini. Kalau hari itu tidak kebagian tugas di rumah atau di tarwehan anak-anak, teman bebas bergembira.
Mengisi waktu dengan mengembara di jalan-jalan kota, atau mengembara di desa, menyusuri pematang, pinggir selokan, dan menyusuri sungai. Kegiatan tadabbur alam ini menjadi wahana mendidik diri sendiri. Paling tidak mendidik untuk berbuat jujur.
Sebab sepanjang jalan mulai dari keluar kampung, menyusuri jalan sempit di antara persawahan dan kebun sungguh banyak barang yang menggoda anak-anak yang tentunya berpuasa ini. Bagaimana tidak, di sepanjang perjalanan ada saja buah-buah bergelantungan, ada jambu, pisang, lalu di bawah ada mentimun, tomat matang, tanaman kacang tanah siap panen.
Dalam keadaan biasa, maksudnya tidak bulan puasa, benda penggoda itu hampir dipastikan diserbu, paling tidak dicicipi. Tetapi, anak pengajian ini teruji sebagai pemeluk teguh ajaran agama. Mereka hanya melirik benda-benda yang menggoda itu, tapi tidak ada yang menyentuhnya. Dan waktu itu lokasi tadabbur alam yang favorit adalah sepanjang Kali Gajah Uwong. Di selatan, sekarang timur terminal Giwangan arahnya, kali Gajah Uwong kalau kemarau banyak ikannya.
Anak-anak ini dari rumah sudah berbekal kain sarung untuk shalat, pancing dan umpan. Anak-anak ini sudah ahli menebak mana tempat yang banyak ikannya dan mana yang tidak. Dari arus dan kedalaman air, kerimbunan pohon sekitar dan gelagat ikan berseliweran akan ketahuan kalau di situ ada ikan kutuk, sepat, lele, sili, bader, tawes, atau malah uceng.
Saat itu terdengar suara kentongan berbunyi. Anak-anak memasang pancing, lalu mencari air jernih berarus deras untuk berwudlu. Banyak padas, seperti berbaris di pinggir sungai. Setelah mengenakan sarung, anak-anak mencari hamparan barisan padas yang bisa untuk shalat Dhuhur. Ada lima potongan padas besar-besar yang bagian atasnya lebar. Kebetulan kami juga berlima.
Salah seorang melantunkan adzan dan Iqamah dan anak paling besar jadi imam. “Karena sekarang kita jadi Sunan Kalijaga semua, saya harap shalatnya yang khusyuk tidak boleh gojek (bersenda gurau) seperti kalau di tarwehan. Sunan Kalijaga tidak boleh gojek dalam shalat, ngerti?”
“Ngerti Kang.” Setelah shalat para Sunan Kalijaga ini meneruskan mancingnya. Tapi hari itu para Sunan Kalijaga ini kurang beruntung. Hanya dapat ikan sedikit, itu saja sebagian besar ikan kecil-kecil.
Kami berjalan pulang sambil bersedih dan malu. Sudah jauh-jauh memancing dengan perut lapar dan menahan haus pula.
Sebelum masuk kampung, sehabis lewat kawasan persawahan, kami lewat kawasan blumbang atau kolam. Totok mengajak berhenti di bawah pohon dan berbisik-bisik, “Bagaimana kalau kita mancing di kolamnya pakde Giyanto ini, mujahirnya besar-besar lho.”
“Wah, menarik ini, kita pulang dapat ikan banyak, tidak malu,” sahut Marno. Seperti gerilyawan, para Sunan Kalijaga mendekati kolam sambil menyiapkan pancing dan umpan.
Tiga orang sudah melempar umpan, termasuk saya, ketika Kang Budi yang tadi jadi imam shalat di atas padas berkata agak keras. “Stop. Kita ini kan Sunan Kalijaga dan ini bulan puasa. Malu dong kalau mencuri ikan.” Pancing Totok dan Marno terlanjur disambar ikan. Untung pancingku belum dilirik ikan.
Kang Budi memerintahkan Totok dan Marno melepaskan ikan itu dan melempar kembali ke kolam. “Sudah gini aja, ini saya ada uang sedikit, lainnya patungan. Kita kumpulkan uang dan menemui Pakde Giyanto. Kita beli ikan dengan uang seadanya ini. Kita bilang, kita perlu ikan agar sebagai Sunan Kalijaga mancing pulang membawa ikan. Gimana?”
“Setuju.” Jadilah para Sunan Kalijaga kecil ini pulang membawa ikan mujahir segar. Pulang tidak membawa malu.
(Mustofa W Hasyim).