Ali Bin Abi Thalib Sang Singa Allah

Ali Bin Abi Thalib Sang Singa Allah

Ali Bin Abi Thalib Ilustrasi Dok Historica

Siapa tak kenal nama Ali Bin Abi Thalib? Dia sepupu Nabi Muhammad, putra dari Abu Thalib, paman Nabi yang sangat menyayangi dan semasa hidupnya menjadi pembela utama Muhammad dari segala ancaman kaum kafir Quraisy. Ali termasuk generasi awal yang masuk Islam, bahkan dalam usia belia, sepuluh tahun.

Dia sosok sahabat yang berilmu luas, cerdas, sekaligus setia kepada Nabi dan pemberani. Ali juga figur yang zuhud hidupnya, sehingga akhlaknya mulia dan utama. Keberislamannya pun dilakukan dengan pilihan sendiri. Waktu itu, anak yang masih remaja ini menyaksikan Muhammad dan istrinya Khadijah sedang shalat, suatu pemandangan yang pertama kali dia saksikan.

“Kepada siapa kalian bersujud?” tanya Ali penuh heran. Muhammad menjawab, “Kami sujud kepada Allah, Yang mengutusku menjadi Nabi dan memerintahkan aku mengajak manusia menyembah Allah”. Nabi pun mengajak Ali untuk menyembah Allah. Ali minta waktu untuk berunding dengan ayahnya, Abu Thalib.

Keesokan harinya Ali mendatangi Nabi dan menyatakan masuk Islam tanpa minta persetujuan ayahnya. Ketika ditanya kenapa dia tak minta izin, Ali menjawab: “Allah menjadikanku tanpa harus berunding dengan ayahku, Abu Thalib. Apa gunanya aku harus berunding dengannya untuk menyembah Allah!”. Inilah anak belum berusia baligh tetapi memiliki karakter dan pilihan hidup yang kuat. Selalu istiqamah.

Ali dikenal pemberani dan setia terhadap Nabi. Tatkala hijrah, Ali tidur di tempat Nabi dengan resiko terbunuh. Saat itu kaum kafir Quraisy melibatkan banyak kabilah untuk mencegah Nabi hijrah ke Yasrib dan mereka bersepakat membunuh Nabi. Dengan melibatkan banyak perwakilan suku Arab, maka terbebaslah kaum kafir dari tuntutan Bani Abdul Muthalib manakala Muhammad terbunuh di tangan mereka. Namun setelah tahu yang tidur di kamar Nabi itu Ali, mereka urung dan tidak berani.

Keberanian Ali sangat tersohor, hingga ketika perang Uhud dalam kondisi pasukan umat Islam terdesak dia diberi Nabi pedang Zulfikar yang tersohor. Sebagai sebuah penanda betapa Nabi pun mempercayai sang pemberani itu. Di perang Ahzab atau Khandaq, Ali dengan pedangnya itu banyak menewaskan tokoh-tokoh pemberani dari kafir Quraisy seperti Amr bin Abdul Wudd yang dikenal pahlawan perang Quraisy.

Di banyak peperangan Ali sering diberi tugas memegang bendera, yang harus berdiri di depan sebagai simbol keberanian. Dalam perang Mu’tah di negeri Syam, setelah Ja’far kakaknya yang memegang bendera gugur, juga Zaid dan Ibn Rawahah gugur juga, maka Ali yang memegang tampuk itu. Karenanya Ali dikenal dengan julukan “Asadullah” (Singa Allah). Saat lahir, ibunya memberi nama “Haidar”, artinya “singa sang pemberani”.

Ali dikenal ahli ilmu dan hikmah. Dalam kisah disebutkan, Nabi pernah melukiskan kecerdasan dan keluasan ilmu dengan kata-kata, “Ana madinat al-’ilmi wa Ali babu-ha”, artinya “Aku adalah kota ilmu dan Ali pintunya”. Suatu penghargaan yang tinggi dari Nabi terhadap keilmuwanan Ali. Kitab Nahzul Balagah (Jalan Menuju Kefasihan) yang dihimpun oleh Asy-Syarif Ar-Radi, sang penyair ternama yang hidup di masa 970-1015 masehi, mengandung ujaran-ujaran Ali yang sarat hikmah filosofis. Meski, konon sebagian kecil isi Kitab ini tercampuri oleh pendapat-pendapat sang penyair.

Umar bin Khattab dan para sahabat Nabi sering bertanya hal-hal pelik yang tak mereka pahami kepada Ali. Sungguh Ali, Abu Bakar, Umar, Usman, dan para sahabat Nabi lainnya memiliki banyak keutamaan. Mereka hidup bersama Nabi dan mengambil keteladanan yang utama dari Rasulullah selaku figur sentral uswah hasanah. Mereka milik seluruh orang Islam dan bukan milik golongan tertentu untuk diteladani. Siapapun yang suka mencela para sahabat Nabi itu, tentu memiliki akhlak yang tidak baik, padahal Nabi sendiri sering menyebut mereka sebagai “sahabat akbar” dan beberapa di antaranya diberi apresiasi Nabi sebagai calon penghuni surga. Para generasi umat sesudah Nabi, termasuk kaum muda Muslim di mana pun berada, patut meniru jejak utama pada sahabat Nabi akhir zaman itu. (A. Nuha)

Sumber: Majalah SM Edisi 16 Tahun 2016

Exit mobile version