Pada awal abad ke-20, sebelum gerakan pembaruan Islam masuk ke Pekajangan dan sekitarnya, tradisi keagamaan digerakkan oleh para tokoh senior dan junior. Mewakili tokoh-tokoh senior di Pekajangan seperti KH Abdurrahman, KH Dimyati, dan KH Cholil. KH Abdurrahman adalah seorang pedagang yang juga berprofesi sebagai muballigh, menyelenggarakan pengajian agama di rumahnya. KH Dimyati adalah Lurah Pekajangan.
Tokoh inilah yang nantinya menjadi pendukung utama berdirinya Muhammadiyah Pekajangan. Sedangkan KH Cholil adalah muballigh yang juga berprofesi sebagai pedagang. KH Cholil menikah dengan ‘Aisyah binti Masduki, adik kandung KH Dimyati. Selain tokoh-tokoh senior tersebut, gerakan keagamaan di Pekajangan juga dimotori kaum muda seperti Saleh Dasran, Abdul Rauf, Mukijab, dan Mukri. Mereka adalah lulusan pesantren Jamsaren, Solo.
Pada tahun 1903, KH Abdurrahman menunaikan ibadah haji. Sepulang dari naik haji, ia merintis pengajian agama. KH Abdurrahman mengawali gerakan pengajian agama di mushalla. Pada umumnya, proses pembentukan sebuah pesantren salaf berawal dari proses yang sederhana. Seorang santri lulusan pesantren kembali ke kampung halaman membuka pengajian agama di mushalla. Jika masyarakat sekitar menerima dengan baik, maka proses pembentukan sebuah institusi pesantren salaf telah dimulai. Begitulah proses yang telah dilalui oleh KH Abdurrahman sampai para santrinya kian banyak. Sampai akhirnya terbentuk perkumpulan pengajian Ambudi Agama di Pekajangan.
KH Abdurrahman tidak sendirian dalam mengelola pengajian Ambudi Agama. Beberapa tokoh senior di Pekajangan terlibat dalam kepengurusan Ambudi Agama, seperti KH Asmu’i, KH Dimyati, KH Cholil, Chumasi Hardjosubroto, dan lain-lain. Materi pengajian yang disampaikan di perkumpulan Ambudi Agama meliputi ‘aqaid 50 dan sifat 20 bakal weruh gusti Allah (akan melihat Allah).
Ketika perkumpulan Ambudi Agama tumbuh pesat, di Batang juga telah eksis perkumpulan tarekat Rifaiyyah, sedangkan di Pekalongan telah hadir perkumpulan Nurul Islam. Nama tarekat Rifaiyyah diambil dari nama tokoh pendirinya, yakni Ahmad Rifai (lahir 1786 M). Sedangkan perkumpulan Nurul Islam di Pekalongan didirikan oleh seorang perantau asal Minangkabau, Ahmad Rasyid Sutan Mansur. Dialah tokoh yang di kemudian hari menjadi “orang nomor satu” di Muhammadiyah.
Pada tahun 1905, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan Ordonansi Guru (Staatblad 925 Nomor 219) tentang pengajaran agama (Islam). Ordonansi Guru yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial, dengan implementor Inspektorat Pendidikan Pribumi, bertujuan untuk membatasi ruang dan gerak para guru agama Islam di tanah Hindia Belanda. Dalam salah satu pasal Ordonansi Guru, misalnya, disebutkan bahwa setiap orang yang akan memberikan pengajaran agama kepada orang lain selain keluarganya sendiri harus terlebih dahulu memberitahukan rencana tersebut secara tertulis dengan menguraikan pemberian pengajaran tersebut kepada Regent dan Pemerintah Patih di mana pengajaran itu diberikan.
Pada sekitar 1921, kebijakan ketat Ordonansi Guru nyaris membuat perkumpulan-perkumpulan pengajian agama di Pekalongan, Batang, dan Pekajangan lumpuh. Bahkan, Perkumpulan Nurul Islam dan Ambudi Agama nyaris ditutup. Akan tetapi, KH Abdurrahman tidak patah arang. Dia pernah mendengar sepak-terjang dan eksistensi Muhammadiyah di Yogyakarta yang konon mampu mengatasi persoalan Ordonansi Guru. Bersama KH Asmu’i, KH Abdurrahman bermaksud berangkat ke Yogyakarta menemui jajaran Hoofdbestuur Muhammadiyah.
Namun, terdapat kisah yang cukup menarik sebelum keduanya berangkat ke Yogyakarta. Salah seorang pengurus Ambudi Agama bernama Chumasi Hardjosubroto sempat mengingatan kepada KH Abdurrahman dan KH Asmu’i bahwa itu “Perkumpulan Kristen.”
Yakin bahwa Muhammadiyah adalah perkumpulan Islam yang mampu mengatasi persoalan Ordonansi Guru, kedua tokoh pendiri Ambudi Agama itu menyegerakan berangkat ke Yogyakarta. Keduanya langsung menemui jajaran Hoofdbestuur Muhammadiyah yang beralamatkan di Jalan Kauman no. 44. Di kantor Hoofdbestuur Muhammadiyah, keduanya diterima langsung oleh KH Ahmad Dahlan, Haji Mochtar, Haji Abdurrahman Machdun, Haji Wasool Dja’far, dan lain-lain. Dalam kesempatan ini, KH Abdurrahman dan KH Asmu’i langsung tabayyun, meminta penjelasan seputar perkumpulan Muhammadiyah.
Setelah KH Ahmad Dahlan menjelaskan maksud dan tujuan Muhammadiyah, barulah kedua tokoh Pekajangan itu sadar bahwa persepsi tentang Muhammadiyah sebagai “Perkumpulan Kristen” itu keliru. Atas saran KH Ahmad Dahlan, untuk mengatasi masalah Ordonansi Guru, baiknya di Pekajangan dibentuk kepengurusan cabang Muhammadiyah. Karena Muhammadiyah itu adalah organisasi yang secara legalformal telah diakui oleh pemerintah kolonial Belanda sehingga nanti Muhammadiyah Pekajangan dapat melakukan aktivitas pengajaran dengan lancar.
Tidak lama setelah kunjungan kedua tokoh Pekajangan ke kantor Hoofdbestuur Muhammadiyah di Yogyakarta, KH Ahmad Dahlan langsung melakukan kunjungan ke Pekajangan untuk meresmikan cabang Muhammadiyah setempat. Menurut penuturan KH Ishom Cholil, kunjungan KH Ahmad Dahlan ke Pekajangan sempat menginap di rumah KH Cholil (sekarang di gang 20). Resmilah Muhammadiyah cabang Pekajangan berdiri berdasarkan besluit no. 13/Pk. Tanggal 15 November 1922 yang ditandatangani oleh KH Ahmad Dahlan (President) dan Mohammad Husni (Secretaris).
Struktur pertama Muhammadiyah Cabang Pekajangan sebagai berikut: KH Dimyati (Adviseur), KH Cholil (President), KH Abdurrahman (Voorzitter/Tabligh dan Pengajaran), H Mundar (Vice Voorzitter/Pengajaran), KH Sayuthi (Vice Voorzitter/Tabligh), H Masyhuri (Voorzitter/ Wakaf/Persekolahan), Hj Sofiyah (Voorzitter/’Aisyiyah), dan Hj Rauchach (Vice Voorzitter/’Aisyiyah). (Abu Aksa)
Sumber: Majalah SM Edisi 6 Tahun 2017