Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tha’un (wabah penyakit menular) adalah suatu peringatan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk menguji hamba-hamba-Nya dari kalangan manusia. Maka apabila kamu mendengar penyakit itu berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu masuk ke negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, jangan pula kamu lari daripadanya.” (HR Bukhari dan Muslim dari Usamah bin Zaid).
Bagi seorang mukmin, tentu akan mentaati apa yang disampaikan Rasulullah saw, ia tidak akan mendatangi wilayah yang terserang wabah dan tidak akan keluar dari wilayah tersebut jjika ada di dalamnya. Dalam sejarah, ini sudah dipraktikkan oleh para sahabat Nabi. Paling tidak ketika terjadi wabah di negeri Syam.
Pada suatu ketika ‘Umar bin Khaththab pergi ke Syam. Setelah sampai di Saragh, pimpinan tentaranya di Syam datang menyambutnya. Antara lain terdapat Abu “Ubaidah bin Jarrah dan para sahabat yang lain. Mereka mengabarkan kepada ‘Umar bahwa wabah penyakit sedang berjangkit di Syam. Umar kemudian bermusyawarah dengan para tokoh Muhajirin, Anshor dan pemimpin Quraish.
Lalu ‘Umar menyerukan kepada rombongannya; ‘Besok pagi-pagi aku akan kembali pulang. Karena itu bersiap-siaplah kalian! ‘ Abu ‘Ubaidah bin Jarrah bertanya; ‘Apakah kita hendak lari dari takdir Allah? ‘ Jawab ‘Umar; ‘Mengapa kamu bertanya demikian hai Abu ‘Ubaidah? Agaknya ‘Umar tidak mau berdebat dengannya. Dia menjawab; Ya, kita lari dari takdir Allah kepada takdir Allah. Bagaimana pendapatmu, seandainya engkau mempunyai seekor unta, lalu engkau turun ke lembah yang mempunyai dua sisi. Yang satu subur dan yang lain tandus. Bukanlah jika engkau menggembalakannya di tempat yang subur, engkau menggembala dengan takdir Allah juga, dan jika engkau menggembala di tempat tandus engkau menggembala dengan takdir Allah?’
Tiba-tiba datang ‘Abdurrahman bin ‘Auf yang sejak tadi belum hadir karena suatu urusan. Lalu dia berkata; ‘Aku mengerti masalah ini. Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Apabila kamu mendengar wabah berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu datangi negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, maka janganlah keluar dari negeri itu karena hendak melarikan diri.’ Ibnu ‘Abbas berkata; ‘Umar bin Khaththab lalu mengucapkan puji syukur kepada Allah, setelah itu dia pergi.’ (HR Bukhari dan Muslim).
Umar pun kemudian kembali ke Madinah dan Abu ‘Ubaidah cs kembali ke Syam. Dan akhirnya Abu ‘Ubaidah harus syahid karena wabah tersebut. Wabah berhasil dituntaskan oleh Amr bin Ash dengan Pembatasan sosial (Social distancing) atau physical distancing (menjaga jarak) ala Amr bin Ash. Karena bagi Amr bin Ash wabah ibarat api yang membakar karenanya harus menjauh satu sama yang lain.
Pada era masyarakat yang majemuk ini tentu tidak bisa hanya mengandalkan keimanan untuk melakukan hal ini, harus ada aturan yang jelas dari pemerintah setempat. Hal ini telah dilakukan oleh China dengan melockdown provinsi Hube yang beribukota di Wuhan dan juga dilakukan Italia dengan melockdown Italia Utara. China berhasil sehingga tidak menjalar ke Beijing dan provinsi lainnya, tetapi Italia gagal karena sudah ada warganya yang lari ke Selatan sebelum Lockdown diberlakukan di Utara.
Bagaimana dengan Indonesia, Indonesia mempunyai UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. PP Muhammadiyah pada akhir Maret telah mengimbau pemerintah untuk memberlakukan hal ini agar penyebaran Covid 19 tidak semakin meluas. Sejumlah Pemda juga telah meminta hal ini dan bahkan sejumlah pihak meminta untuk Lockdown. Tetapi jawaban pemerintah adalah untuk melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang masih memungkinkan masyarakat keluar masuk di daerah wabah yang bisa memicu penyebaran di daerah yang lain.
Ini bisa dilihat dari 69 kasus positif Covid 19 yang ada di DIY mempunyai jejak rekam perjalanan dari luar kota, dari kasus pertama yang mempunyai riwayat perjalanan di Depok Jawa Barat dan kasus 69 yang mempunyai riwayat perjalanan di Bali. Dalam skala yang lebih kecil, misalnya Kabupaten Klaten Jawa Tengah yang hanya mempunyai 2 pasien positif Covid-19. Satu orang mempunyai riwayat perjalanan ke Surabaya dan yang seorang lagi mempunyai riwayat perjalanan ke Semarang. Bahkan Covid-19 sudah sampai Kabupaten Morowali Utara Sulawesi Tengah, tidak tanggung-tanggung yang membawa Bupatinya sendiri yang usai melakukan perjalanan ke Jakarta dan harus menjadi korban meninggal karena Covid-19.
Untuk melindungi rasa aman warganya, sejumlah RT, sejumlah RW, sejumlah Dusun melakukan lockdown untuk diri mereka sendiri agar tak kemasukan orang yang kemungkinan bisa menularkan Covid-19 di wilayahnya. Ini merupakan lockdown terbalik, yang mestinya yang dilockdown adalah wilayah wabah tetapi mereka melockdown wilayah yang belum ada sama sekali wabah. Melockdown diri sendiri di rumah, melockdown RT, RW, Dusun yang memberlakukan satu pintu dengan harus menerima semprotan disinfektan ketika memasuki wilayah tersebut. Bahkan di sejumlah Dusun dan Desa menyediakan rumah karantina untuk warganya yang baru pulang dari wilayah wabah. Mereka butuh rasa aman, tetapi sampai kapan jika orang masih bebas keluar masuk di wilayah wabah. (Lutfi).