Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Saya seorang ayah yang telah bercerai dan mempunyai tiga anak perempuan yang ikut saya. Saya merasa telah gagal membimbing anak saya ke jalan yang benar, yang pertama hamil di luar nikah dan yang kedua sering keluyuran malam. Dari cara saya mendidik dari yang lemes sampai ke yang agak kasar sudah saya jalani. Yang diminta oleh saya hanya kewajiban anak menjalankan shalat 5 waktu dan belajar. Tapi sekarang dia malah kabur ke mamahnya.
Yang jadi pertanyaan saya,
- Apakah sikap saya salah menuntut seorang anak yang sudah usia 16 tahun untuk belajar mengerti mana yang baik dan buruk?
- Kewajiban saya sebagai ayah harus bagaimana setelah anak saya ikut mamahnya yang sudah bersuami lagi?
- Hukumnya apa kalau saya membiarkan anak saya ini, lantaran saya sudah sangat kesal dengan sikapnya?
Terima kasih.
Wassalamu ‘alaikum wr. wb
(disidangkan pada Jum’at, 5 Rajab 1439 H / 23 Maret 2018 M)
Jawaban:
Wa ‘alaikumus-salam wr. wb.
Terima kasih atas pertanyaannya dan semoga jawaban ini dapat membantu saudara dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Semoga Allah selalu memberikan hidayah-Nya. Amin.
Sebelum menjawab pertanyaan saudara, perlu diketahui bahwa di dalam al-Quran telah dijelaskan tentang beberapa tipologi anak. Pertama, anak sebagai perhiasan dunia, sebagaimana disebut pada QS al-Kahfi (18): 46. Kedua, anak sebagai qurrata a’yun (penenang hati), sebagaimana terdapat dalam QS al-Furqan (25): 74. Ketiga, anak sebagai fitnah (cobaan, ujian), sebagaimana diungkap dalam QS al-Anfal (8): 28. Keempat, anak sebagai musuh, sebagaimana ditunjukkan dalam QS at-Taghabun (64): 14. Keempat tipe tersebut merupakan potensi yang ada pada diri anak, dalam arti bahwa anak bisa menjadi perhiasan, bisa menjadi penenang hati, bisa pula menjadi cobaan bahkan bisa menjadi musuh bagi orang tuanya. Menjadi seperti apa anak nantinya, merupakan tanggung jawab orang tua membimbing, mendidik dan mengarahkannya. Hal ini karena pada dasarnya anak dilahirkan dalam keadaan suci, sebagaimana disebutkan dalam hadis berikut,
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ يُحَدِّثُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ [رواه البخاري].
Dari Abu Hurairah r.a. (diriwayatkan) bahwa Rasulullah saw. bersabda, tidaklah manusia dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah (suci), maka kedua orangtuanya yang menjadikannya Yahudi atau Nasrani atau Majusi [HR al-Bukhari].
Mengenai pertanyaan yang pertama, tentunya saudara tidak salah sebagai orang tua ingin mendidik anaknya untuk mengerti yang baik dan buruk, bahkan itu adalah kewajiban sebagai orang tua. Hal ini sebagaimana firman Allah,
يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَىٰ مَا أَصَابَكَ ۖ إِنَّ ذَٰلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ [لقمان، 31: 17].
Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah) [QS. Luqman (31): 17].
Demikian pula halnya, dalam sebuah hadis Rasulullah saw bersabda,
مُـرُوْا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّـلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ، وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا، وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ، وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ [رواه أحمد وأبو داود، عن عبدالله بن عمرو بن العاص].
Suruhlah anak kalian shalat ketika berumur 7 tahun, dan kalau sudah berusia 10 tahun meninggalkan shalat, maka pukullah ia. Dan pisahkanlah tempat tidurnya (antara anak laki-laki dan anak wanita) [HR. Ahmad dan Abu Dawud dari Abdullah ibn ‘Amr ibn al-‘Ash].
Pada ayat al-Quran dan hadis tersebut jelas dicontohkan tentang salah satu ciri orang tua yang baik (Luqman) adalah orang tua yang mendidik, menasehati dan membimbing anaknya dalam kebaikan dan mencegahnya terjerumus dalam kemungkaran. Kewajiban orang tua untuk mengajarkan shalat kepada anak pun juga terdapat hadis yang jelas mengenai hal itu.
Kaitannya dengan hadis tersebut, Muhammadiyah memaknai kata وَاضْرِبُوْهُمْ sebagai keharusan orang tua untuk memberi ketegasan, bukan memukul sebagaimana zahir makna kata tersebut. Apalagi jika dilihat bahwa anak saudara masih berumur 16 tahun, yang umur tersebut masih masuk ke dalam kategori anak-anak.
Meskipun begitu, ada baiknya orang tua juga introspeksi diri atas cara yang digunakan dalam mendidik atau bahkan atas dosa maupun kesalahan yang pernah dilakukan daripada harus menyalahkan pihak anak. Barangkali cara yang digunakan tidak tepat sehingga justru membuat anak tidak mematuhinya. Dalam kasus seperti tersebut di atas, menyalahkan siapa pun tidak akan memberikan solusi melainkan justru hanya akan menambah masalah. Sebagai contoh, bisa jadi kenakalan sang anak adalah buah dari perceraian orang tuanya yang membuat dia dalam keadaan broken home. Perceraian meskipun halal, tetapi termasuk perkara yang harus dijauhi dan jangan sampai terjadi karena berpotensi memiliki dampak negatif kepada aspek kehidupan anak.
Tentang pertanyaan kedua, secara hukum saudara tetap berkewajiban memberikan perhatian dan kasih sayang sebagai orang tua, termasuk memberikan nafkahnya. Dalam hal kewajiban mengasuh dan memberi nafkah ini, tentunya akan lebih baik jika mengikuti bagaimana putusan Pengadilan Agama tentang hak asuh dan kewajiban orang tua terhadap anak pasca terjadinya perceraian. Namun, pada Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 45 ayat (1) dan (2), telah jelas disebutkan,
(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
Oleh karena itu, meskipun ada istilah ‘bekas istri’, tetapi tidak ada istilah ‘bekas anak’, sehingga kewajiban saudara untuk mendidik dan menafkahi anak tetap melekat, walaupun anak tersebut tidak tinggal bersama saudara. Perlu diketahui juga, bahwa ketika nanti anak-anak perempuan saudara tiba saatnya untuk menikah, saudara lah yang menjadi wali untuk mereka.
Adapun mengenai pertanyaan ketiga, dalam hukum syariat maupun hukum positif yang berlaku di Indonesia, saudara tidak diperbolehkan menyerah dan membiarkan atau bahkan menelantarkan anak. Allah melarang hamba-Nya untuk berputus asa, sebagaimana firman-Nya,
… وَلَا تَيْأَسُوا مِنْ رَوْحِ اللهِ ۖ إِنَّهُ لَا يَيْأَسُ مِنْ رَوْحِ اللهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ [يوسف، 12: 87].
… Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir [QS. Yusuf (12): 87].
Sebagai orang tua, saudara wajib untuk menjamin kesejahteraan anak dan tidak boleh menelantarkannya, sebagaimana firman Allah,
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا [النسآء، 4: 9].
Hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar [QS. an-Nisa (4): 9].
Sementara itu, sesuai peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia, yakni Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak) yang diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, seseorang yang menelantarkan anaknya diancam dengan sanksi pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
Demikian secara ringkas jawaban atas pertanyaan saudara. Sebagai penutup, perlu dipahami bahwa terlepas dari keadaan anak tersebut, masalah yang saudara hadapi adalah ujian dari Allah. Bisa jadi ujian itu adalah penghapus dosa-dosa saudara atau untuk mengangkat derajat saudara di hadapan Allah. Semoga dengan kesabaran dan keteguhan saudara atas cobaan ini, masalah tersebut dapat segera terselesaikan, dan kelak saudara mendapat tempat di surga yang terbaik. Nabi saw bersada,
مَنِ ابْتُلِيَ مِنْ هَذِهِ البَنَاتِ بِشَيْءٍ كُنَّ لَهُ سِتْرًا مِنَ النَّارِ
Siapa yang diuji dengan kehadiran anak perempuan, maka anak itu akan menjadi tameng baginya di neraka [HR. al-Bukhari].
مَنْ عَالَ جَارِيَتَيْنِ حَتَّى تَبْلُغَا، جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنَا وَهُوَ وَضَمَّ أَصَابِعَهُ [رواه مسلم].
Siapa yang menanggung nafkah dua anak perempuan sampai baligh (dewasa), maka pada hari kiamat, antara saya dan dia seperti ini (beliau menggabungkan jari-jarinya) [HR. Muslim].
Wallahu a‘lam bish-shawab
Majalah SM Edisi 8 Tahun 2019