TAFSIR IBN ‘ATHIYYAH
Al Muharrar Al Wajiiz fii Tafsiir Al Kitaab Al ‘Aziiz
Ibn ‘Athiyyah Al Andalusy AL Maghriby (481- 541 H)
Oleh: Khairul Amin
Andalusia ditengarai menjadi salah satu pusat peradaban Islam terbaik dalam bentang Sejarah. Maria Rosa Menocal dalam The Ornament of the World: How Muslims, Jews and Christians Created a Culture of Tolerance in Medieval Spain, menyebutkan situasi Andalusia yang sangat damai dan kondusif di masa keemasannya merupakan penunjang utama terjadinya perkembangan keilmuan secara maksimal. Sikap toleransi, banjirnya literatur dan perpustakaan, dan adanya perhatian terhadap seni menjadi sajian yang dikomentari para sejarawan sebagai potongan ‘surga’.
Dalam kondisi demikian muncullah para pakar di berbagai bidang. Wal bil khusus dalam ilmu tafsir, pada masa itu (6 Hijriyah) menurut Majid Makki, terdapat 4 mufassir besar, yaitu Al Zamakhsary (w. 538 H), Al Baghawy (w. 516 H), Ibn Al ‘Arabi (w. 543 H), dan Ibn ‘Athiyyah (w. 541 H). Masing-masing dari mufassir ini memiliki keistimewaan pada tafsir-tafsirnya. Ibn ‘Athiyyah sendiri dilahirkan di Gharnathah dengan nama lengkap Abu Muhammad ‘Abdul Haq ibn Ghaalib ibn ‘Athiyyah Al Andalusy Al Maghriby Al Gharnaaty. Ayah seorang ulama besar pada masanya, yaitu Al Imam Al Hafiz Abu Bakr Ghaalib ibn ‘Athiyyah. Ia merupakan keturunan Arab dari Bani ‘Athiyyah. Kakeknya seorang pejuang yang membebaskan Andalusia bersama Thariq ibn Ziyad.
Ia hidup pada masa Dinasti Murabithun, dimana para ulama dengan berbagai cabang ilmu tersebar di seantero Maghrib dan Andalusia. Ia berguru kepada berbagai ulama, diantaranya Al Hafiz Abu Bakr Ghalib ibn ‘Abdurrahman, Al Hafiz Abu ‘Ali Al Ghassani, Al Hafiz Abu ‘Ali Al Shadafy, Al Faqih Abu Muhammad ‘Attab Al Qurthuby. Secara khusus sedari kecil ia mendapat didikan yang disiplin dari ayahnya yang juga ulama besar. Selepas baligh ia mengelana berbagai kota di maghrib untuk menuntut ilmu.
Secara personal beliau mendapatkan pengakuan dari berbagai ‘ulama. Al Zahabi dalam Siyaar ‘Alaam Al Nubalaa menyebut beliau sebagai Imam Al ‘Allamah, Imam dalam fiqh, tafsir, bahasa ‘Arab, Syaikh mufassirin, kuat relasi, pintar, cerdas. Hal ini juga ditegaskan oleh Ibn Furhun dalam Al Dibaaj Al Mudzhib dan Ibn Basykuwaal dalam Al Shilah. Beliau juga mendapat julukan mutafannin fii al ‘uluum (pakar dalam berbagai ilmu) dan waasi’ al ma’rifah (luas cakrawala pandang). Beliau juga seorang Qadhi di Al Gharnaath.
Mengenai tafsirnya, Al Muharrar Al Wajiiz penulisannya dimulai sejak ia belia. Ia diseringkali dibangunkan oleh Ayahnya 2 kali dalam semalam untuk menulis. Pasca ayahnya wafat pada 518 H, ia tetap melanjutkan penulisan tafsirnya hingga selesai. Dalam muqaddimah tafsirnya, beliau menjelaskan mengenai beberapa poin pembahasn mengenai ilmu tafsir, sebelum masuk kepada tafsirnya. Diantarnya beliau membahas riwayat-riwayat yang membahas tentang keuatamaan memahami al Qur’an, pembahasan qira’at, bahasa, I’rab, maknanya, dan kemukjizatannya.
Ibn ‘Athiyyah termasuk ulama yang menggabungkan ilmu riwayat dan dirayat dalam tafsirnya. Diantaranya menjadi sumber penafsiran beliau ialah khazanah keilmuan yang beragam, diantaranya tafsir yang ada sebelum beliau, qira’at, hadis, dan bahasa serta nahwu. Diantara kitab tafsir utama yang beliau rujuk ialah Tafsir Al Thabari. Sedangkan dalam qira’at beliau merujuk Ahmad Al Farisy. Dalam hadis beliau merujuk kepada kuttub al sittah. Dalam bahasa dan nahwu beliau merujuk nama besar, termasuk Al Farra penulis Ma’ani Al Qur’an, tafsir dengan analisa bahasa terbaik.
Mengenai metode penafsirannya, beliau menempuh beberapa langkah, diantaranya (1) menggabungkan atsar/naql/riwayat dengan ra’yu/’aql/akal , (2) Tidak menyebutkan kisah Israiliyyat, kecuali sangat penting dalam bahasan ayat terkait, (3) memberikan analisa bahasa dan nahwu, (4) tidak terlalu banyak membahas aspek balaghah, (5) memberikan penjelasan mengenai qira’at yang bisa diterima/diamalkan dan syadz, (6) menjelaskan hukum-hukum fiqh yang terkandung.
Sebagaian kalangan menuduh Ibn ‘Athiyyah dengan tafsirnya, Al Muharrar Al Wajiz, sebagai mu’tazilah. Namun kemudian, banyak ulama yang membantahnya, diantaranya Ibn Taimiyah dalam Muqaddimah fii Ushul Al Tafsir dan Majmu’Al Fataawa. Beliau menyebutkan bahwa Tafsir Ibn ‘Athiyyah mengikuti Ahlus Sunnah wal Jama’ah, selamat dari bid’ah, melakukan penukilan yang shahih, dan lebih baik tafsir Zamakhsary. Hal ini juga dikuatkan oleh Ibn Hajar Al Haitamy dalam Al Fataawa Al Haditsiyyah.
Tafsir Ibn ‘Athiyyah memiliki pengaruh cukup besar terhadap tafsir setelahnya, diantaranya (1) Al Jaami’ li Ahkaam Al Qur’an li Al Qurthuby, (2) Al Tashiil li ‘Uluum Al Tanziil li Abi Al Qasiim Al Gharnaathy, (3) Bahr Al Muhiith li Abi Hayyan Al Gharnaathy, dan (4) Jawahiir Al Hasan fii Tafsiir Al Qur’an li Al Tsa’laby Al Jazaairy. Maka, tidak mengherankan beliau dengan karyanya mendapatkan pujian dari berbagai ulama, seperti Ibn Al ‘Abaar (w. 658 H) , Abu Al Hasan Al Nabaahy (w. 800), Ibn Khaldun, Imam Jalaluddin Al Suyuthi, dan ‘Allamah Thahir ibn ‘Asyur.
Manuskrip tafsir ini disandarkan pada naskah yang terdapat di Qarawiyyin, Maroko. Kemudian, mengalami beberapa kali penerbitan, antara lain di Maroko (6 jilid), Qatar (13 jilid), Beirut (1 jilid). Sedangkan, kitab yang kami pegang ialah cetakan Daar ibn Hazm (Beirut-Lebanon) dalam 1 jilid besar yang ditahqiq oleh Syaikh Majid Makky. Tafsir ini belum ada terjemaha Indonesianya (sejauh kami dapati), seperti tafsir Al Tsa’laby dan Al Baghawy.
Terkait contoh penafsiran beliau, kami kutip sedikit (poin-poin penting) pada pembahasan Q.S Al Baqarah : 183 tentang puasa, sebagai berikut:
*(1)* penjelasan mufradat, termasuk dengan mengutip syair
“Dan (kataba) maknanya ialah diwajibkan (furidha). Dan yang dimaksud dengan Shiyam secara etimologis, yaitu menahan (al imsak) dan meninggalkan pemindahanan dari keadaan satu ke keadaan lainnya (tark al tanqul min haalin ilaa haalin). Mengenai ini Al Naabighah mengatakan dalam Al Basiith:
#Adapun Kuda-kuda puasa dan kuda-kuda tidak puasa……. #Di bawah suara jeritan-jeritan kuda, Anda mengenakan tali kekang.
Yaitu kuda yang tetap bertahan/menahan. Maka Allah SWT berfirman Q.S Maryam: 26, yaitu menahan dari berbicara (imsaakan ‘an Al Kalaam).
*(2)* penjelasan riwayat mengenai puasa sebelum Islam
“Dan para mutaawwiluun (penafsir) berbeda pendapat dalam bentuk keserupaan. Berkata Al Sya’by: Makna diwajibkan atas kamu sekalian berpuasa Ramadhan sebagaimana diwajibkan atas orang Nasrani. Berkata Al Siddiy dan Al Rabii’ : Keserupaanya yaitu bahwasanya tiada makan maupun minum ketika berbuka (puasa wishal/tanpa berbuka). Maka awal permulaan Islam juga begitu, kemudian Allah SWT menaskhnya dengan ayat ini (Q.S 2: 183) berkaitan kejadian ‘Amru Qays ibn Sharimah.
Atha berkata: “Keserupaan yang dimaksud ialah puasa selama tiga hari dari tiap-tiap bulan. Al Qadhi Muhammad ‘Abdul Haq mengatakan: 3 hari tiap bulan plus hari ‘Asyuraa, kemudian dinaskh untuk ummat ini dengan Bulan Ramadhan”.
(3) menjelaskan apa yang dimaksud akhir ayat: “Agar kamu sekalian bertaqwa”.
Al Siddy mengatakan: Maknanya menghindari makan, minum, muntah, pasca tidur (hal yang membatalkan). Dan dikatakan: berhati-hati/menghindari secara umum, sebab shiyam sebagaimana disebutkan oleh nabi sebagai junnah (perisai), dan menjadi banteng (penahan dari syahwat) dan sebab taqwa, karena puasa mematikan syahwat-syahwat (keingin-keinginan negatif).
Wal akhir, semoga Allah SWT berikan limpahan rahmat dan berkahnya selalu pada kaum muslimin. Wa bil khusus, para ulama pewaris para nabi (waratsatul ‘anbiyaa) yang dengan ilmunya mencerahkan ummat, baik melalui teladan, lisan, dan tulisan, termasuk Ibn ‘Athiyyah. Aamiin.
Khairul Amin, Alumni Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta