Oleh: Unik Hanifah Salsabila, S.Pd.I., M.Pd.
Menjadi kesadaran bersama, jika era pandemi tidak hanya menggoyah sektor nasional secara parsial pada bidang pembangunan tertentu, melainkan berimplikasi pada nyaris seluruh bidang kehidupan. Masyarakat Indonesia dihadapkan pada problematika kompleks yang tidak tuntas jika penyelesaiannya sekedar bermuara pada tataran konseptual, melainkan harus bermuatan implementatif sehingga menghasilkan pengaruh signifikan terhadap penguatan aspek global nasional. Pendidikan dalam konteks ini merupakan salah satu bidang krusial yang ikut mengalami momen adaptatif berskala massif. Tidak terkecuali segenap lembaga pendidikan swasta yang menjadi bagian dari amal usaha Muhammadiyah. Menjadi payung dari salah satu piranti penting pembangunan nasional terdampak pandemi, menjadikan Muhammadiyah lekas berbenah dan menyesuaikan diri untuk dapat meningkatkan pertahanan diri pada setiap amal usaha yang dinaunginya.
Namun ada fokus perubahan yang berbeda di momen pandemi kali ini, khususnya pada bidang pendidikan, di mana masyarakat Indonesia dituntut secara spontan untuk dapat merealisasikan konsep pendidikan fully daring yang selama ini cenderung masih berada pada tataran teoritis konseptual dan masih jauh dari praksis sistematis untuk sistem pendidikan formal nasional. Alih-alih merealisasikan pembelajaran virtual atau daring secara menyeluruh, bahkan pada ranah diskursus akademis saja, kajian kritis mengenai pembelajaran daring masih harus berjuang mati-matian jika tidak ingin termarginalkan. Seolah sedang mengaminkan gagasan baru menteri pendidikan, Nadiem Makarim, mengenai konsepsi sekolah atau kampus merdeka -yang fleksibel secara administratif, minim keterbatasan akses, serta ramah teknologi, dengan kuantitas masa uji publik masih seumur jagung, maka realitas pandemik hadir untuk menginvasi sistem pendidikan di negeri ini secara komprehensif.
Meski berimplikasi besar terhadap desain pengembangan kurikulum secara holistik, agaknya Muhammadiyah tidak berniat menyerah ataupun mengalah. Secara tersistem, berbagai lapisan elemen masyarakat pendidikan Muhammadiyah justru kembali menunjukkan kontribusi nyata di dalam sektor pembangunan nasional, melalui kepiawaian adaptatifnya mengendalikan konten teknologi pada lingkup pendidikan. Ibarat mata rantai yang terus bergerak demi terwujudnya cita-cita nasional untuk mencerdaskan bangsa, berbagai lembaga pendidikan milik Muhammadiyah secara terstruktur tetap menyelenggarakan aktivitas pembelajaran jarak jauh dengan mengarusutamakan kebutuhan kemanusiaan yang cenderung melemah akibat infeksi Covid-19.
Kemampuan adaptatif organisasi Muhammadiyah beserta segenap amal usahanya tidak mengherankan jika merunut pada landasan filosofis konsepsi modernitas yang menjadi karakteristik khas gerakan dakwahnya. Ironisnya, kemampuan adaptatif penguasaan literasi digital tersebut rupanya belum bisa menjadi representasi dari wajah pendidikan nasional dewasa ini. Jika Muhammadiyah secara harmonis telah mampu mengimbangi laju teknologi pendidikan di tengah musibah, maka lain halnya dengan mayoritas lembaga pendidikan nasional yang selama ini cenderung bergantung pada keterbatasan jarak, ruang, dan waktu. Sistem pendidikan nasional yang masih berkutat pada kajian konflik lintas generasi beserta segenap intervensi teknologi di dalamnya, tiba-tiba dipaksa untuk dapat berlari sejajar atau bahkan mengejar signifikansi laju teknologi yang dikendalikan secara menyeluruh oleh pandemi. Sederhananya, jika selama ini aktivitas pembelajaran diwarnai oleh metode klasik kegiatan belajar mengajar dan juga kekhasan birokrasi rigid dan berbelit di dalam sistem pendidikan nasional, maka secara tiba-tiba dengan tanpa mempertanyakan kesanggupan siapapun yang terlibat, seluruh rutinitas pendidikan tersebut mendadak menjadi go digital dalam hitungan hari.
Masyarakat pendidikan yang awalnya hanya terheran-heran sembari mengiyakan keputusan pemerintah, tidak lama kemudian didera gejala panik daring. Literasi digital memang semestinya bukan menjadi hal yang asing di lingkup pendidikan, hanya saja selama ini secara formalitas eksistensinya hanya ditemukan sebagai mayoritas konten branding yang terdokumentasikan secara purba di dalam company profile lembaga pendidikan. Idealnya, jika framework mengenai kesadaran digital yang termuat pada sebagian besar visi misi lembaga pendidikan benar-benar menjadi prioritas pengembangan kurikulum sehingga menghasilkan generasi lulusan yang terdidik secara digital, tentunya akan lebih mudah bagi pendidikan Indonesia untuk menyesuaikan diri terhadap spekulasi kondisi apapun yang melibatkan perubahan akses pembelajaran.
Shock culture yang menjelma panik daring tersebut rupanya tidak hanya merefleksikan efek kejut kelembagaan, melainkan juga efek kejut individual yang terlibat langsung di dalam proses pendidikan. Pada konteks ini, rupanya individu yang mengalami panik daring cenderung berasal dari berbagai kalangan pendidikan, baik dari dalam tubuh Muhammadiyah sendiri, maupun dari luar. Panik daring yang diindikasikan dengan kebingungan pemilihan platform belajar, menjamurnya tutorial-tutorial daring dadakan, hingga perasaan denial individu terhadap ketidakpastian waktu berakhirnya pandemi. Kondisi paling krusial diakibatkan oleh keharusan setiap individu untuk terlibat di dalam ruang pendidikan digital dan terpaksa harus ikut merealisasikan pembelajaran virtual yang selama ini hanya sampai pada ruang imagi. Tidak bisa saling mengandalkan, dan semua harus ikut mengembangkan wawasan. Covid benar-benar memaksa masyarakat pendidikan Indonesia untuk sejenak keluar dari zona nyaman.
Realitas tersebut tentu menjadi tantangan tersendiri untuk menunjukkan kepiawaian digital individu di ranah pembelajaran. Jarak yang tidak pernah terbayangkan tiba-tiba terbentang secara bersamaan memisahkan pendidik dan peserta didik dari ruang kelas. Tidak cukup hanya memisahkan sejauh puluhan hingga ribuan mil antar manusia, tetapi bahkan meletakkan individu pada kondisi dilematis yang disebabkan oleh perbedaan akses sinyal internet, kemampuan gawai dan perangkat digital, serta level penguasaan literasi digital. Berbagai aplikasi digital pembelajaran yang selama ini hanya menghiasi gawai dan perangkat digital sebagai konten bawaan ketika membeli seri perangkat tertentu, kini terpaksa menjadi bagian dari media percobaan proses transformasi nilai yang dioptimasi oleh masyarakat pendidikan di Indonesia, bahkan di seluruh dunia.
Stigma negatif berkenaan dengan invasi teknologi digital di ruang pendidikan seakan tidak mendapat kesempatan untuk ikut ambil bagian menyuarakan aspirasi terhadap realitas kebutuhan pembelajaran pada era pandemi. Bagaimana tidak, bahkan pilihan untuk menyerah pun seolah tidak diperkenankan. Pandemi memaksa masyarakat dunia untuk memaknai literasi digital secara bijak. Para pendidik dan orang tua yang selama ini merasa aman dengan mengupayakan jarak sedini dan sejauh mungkin antara putra putri dan peserta didiknya dengan gawai atau perangkat digital tertentu misalnya, kali ini terpaksa harus belajar menerima realitas bahwa keberadaan interaksi digital bukan lagi perkara boleh dan tidak boleh, ingin dan tidak ingin, melainkan takdir jaman yang harus dikendalikan sebijak mungkin oleh semua pihak.
Kebebasan akses terhadap berbagai jenis konten, keragaman fitur teknologi, dan euphoria kecanggihan teknologi semestinya tidak menjadi sesuatu yang mencengangkan bagi generasi yang masih hidup saat ini. Mengakrabi teknologi digital dalam pembelajaran dan juga aktivitas keseharian semestinya menjadi sebuah kewajaran yang dapat mengaktifkan bounding alami secara otomatis berbentuk kompetensi literasi digital di dalam diri setiap individu. Sayangnya hingga pandemi terjadi, rupanya penguasaan literasi digital masih sekedar menjadi wacanda di dalam sistem pendidikan nasional. Terbukti dengan signifikansi peningkatan panik daring, euphoria kecanggihan teknologi yang berakhir pada kejenuhan interaksi, dan munculnya protes-protes keluhan yang menghakimi jalannnya proses pendidikan virtual. Siapa yang mau disalahkan kalau sudah begini?
Mari sejenak menoleh pada segelintir masyarakat pendidikan yang tampak santuy beradaptasi di tengah polemik teknologi pembelajaran. Mereka adalah sebagian kecil insan pendidikan yang tidak menunda-nunda untuk berkenalan dan berkawan dengan teknologi tanpa harus menunggu dipaksa oleh pandemi. Barangkali musibah ini menghantarkan kita pada sebuah kesadaran baru terhadap realitas prokrastinasi. Sebuah permasalahan kepribadian, yang jika dilihat dari perspektif psikologi akan membawa individu pada kecenderungan dominasi keinginan untuk terbiasa melakukan penunda-nundaan dalam menyelesaikan suatu pekerjaan tertentu yang menjadi keharusan. Jika dikembalikan pada konten pendidikan di era pandemi, maka masyarakat pendidikan, utamanya figur pendidik, semestinya mampu bersikap professional. Unsur profesionalitas tersebut salah satunya diindikasikan dengan penguasaan kompetensi pedagogi dan andragogi, di mana keterlibatan media teknologi merupakan irisan penting tak terpisahkan di dalamnya.
Lalu mengapa seakan kebutuhan literasi digital justru menimbulkan kekacauan di dalam proses pendidikan jika pada tataran ideal semestinya sudah dikuasai oleh pendidik maupun peserta didik jauh sebelum masa pandemi? Jawaban diplomatisnya adalah, barangkali ruang pendidikan sempat mengalami bias dalam memahami filosofi pendidikan seumur hidup, sehingga lantas menunda-nunda untuk menguasai literasi digital sejak dini dengan asumsi, “masih akan ada banyak waktu untuk mempelajari, toh laju teknologi tidak akan terhenti di sini,” atau menunda-nunda dengan alibi klasik semacam, “ala bisa karena biasa, nanti pada waktunya kalau digunakan secara intens juga akan terbiasa dan juga terampil mengoptimasi,” Jika saja penundaan tersebut dilatarbelakangi oleh aktivitas pemenuhan kebutuhan pendidikan yang jauh lebih penting lagi mendesak, tentu penyematan kata prokrastinasi menjadi kurang relevan.
Tetapi jika mayoritas penundaan tersebut memang berasal dari asumsi individu yang gagal meregulasikan prioritas kompetensi di dalam pendidikan, maka istilah prokrastinasi agaknya memang perlu dijadikan sebuah kesadaran. Karena di balik sekian asumsi penundaan, manusia seringkali terlupa, bahwa keterampilan munkin saja dibentuk oleh kebiasaan, keterpaksaan, maupun intensitas pertemuan. Tetapi, keterdidikan yang bermuara pada tumbuhnya kebijaksanaan tidak pernah terlahir dengan cara yang instan. Tabik.
Unik Hanifah Salsabila, S.Pd.I., M.Pd.
Dosen Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta