Wabah Covid-19, Ketahanan Keluarga, dan PHK

Wabah Covid-19, Ketahanan Keluarga, dan PHK

Muhammadiyah Covid-19 Comand Center MCCC

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Tim Muhammadiyah Covid-19 Comand Centre (MCCC) kembali menyelenggarakan Diskusi Mingguan Online untuk membahas hal-hal yang berkaitan dengan Covid-19 pada Senin, (20/04). Diskusi ini secara khusus membahas tentang Kiat Sehat Mental Menghadapi Isu PHK dan Kecemasan akibat Covid-19.

Mengundang Festa Yumpi Rahmanawati, MSi. Psikolog, seorang dosen Psikologi dari Universitas Muhammadiyah Jember, dan Widyastuti, M.Psi, Kaprodi Psikologi Universitas Muhammadiyah Sidoarjo. Keduanya, merupakan anggota dari Tim Layanan Dukungan Psikologi (LDP) MCCC.

Langkah Peningkatan Ketahanan Keluarga dalam Krisis

Dalam pemaparannya, Festa mengungkapkan bahwa wabah Covid-19 ini bisa saja punya dampak terhadap ketahanan keluarga. Hal ini tergantung dengan bagaimana seseorang dalam keluarga bereaksi terhadap adanya wabah ini.

Setidaknya, menurut Festa, ada tiga jenis reaksi orang-orang terkait adanya wabah Covid-19 ini. Mulai dari yang tidak peduli, memiliki ketahanan dengan ketenangan, dan cemas yang tinggi. Reaksi yang terakhir ini disebutkan mampu berdampak pada ketahanan keluarga. Festa mengungkapkan bahwa ketika seseorang cemas berlebihan maka akan mudah amarah dan hal ini akan memudahkan munculnya konflik dalam keluarga.

Ia menyarankan, ketika hal ini terjadi maka penting untuk mengenali diri sendiri dan mengintegralkan aspek ruhiyah (spiritualitas), aspek nafsiah (mental psychological), dan jismiah (fisik).

Festa dalam hal ini memandang bahwa wabah Covid-19 ini menyebabkan kondisi-kondisi yang tidak normal serta memunculkan adanya kesenjangan antara tuntutan dalam keluarga dan kapasitas keluarga. Hal ini disebut dengan krisis dalam keluarga.

Untuk menghadapi krisis yang terjadi, penting untuk membuat family belief system atau sistem keyakinan keluarga yang mana ini dikaitkan dengan penguatan relasi yang baik kepada Allah SwT. 

Selanjutnya demi menghadapi krisis, keluarga juga perlu untuk dapat memobilisasi sumber daya keluarga yang ada untuk menyesuaikan dengan perubahan keluarga yang terjadi. Maksudnya, papar Festa, wabah Covid-19 ini memaksa tiap anggota keluarga untuk terus-terusan berada di rumah, maka “Dalam mobilitas sumber daya keluarga ini baiknya fokus pada apa yang dimiliki keluarga, bukan mencari-cari yang tidak ada” uarnya. Dalam hal ini sumber daya tidak terus berarti aset yang terlihat, bisa juga potensi tiap keluarga yang kemudian bisa dieksplorasi sehingga keluarga bisa tetap produktif.

Melakukan aktivitas-aktivitas bersama dalam keluarga juga bisa menjadi kunci untuk bisa menghadapi krisis dalam keluarga.

Festa juga menekankan pentingnya menjalin komunikasi yang baik untuk menghadapi krisis yang terjadi dalam keluarga. Terlebih komunikasi terkait memecahkan masalah bersama, mengekspresikan perasaan cemas tiap anggota keluarga, hingga mengedukasi keluarga untuk menjalankan tahap-tahap pencegahan Covid-19.

Isu PHK dan Kesehatan Mental

Widyastuti dalam kesempatannya menyampaikan bahwa tingkat orang yang menjadi korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan kemudian menganggur tiap tahun menurun dimulai dari tahun 2008. Jika dilihat kondisi sekarang saat Indonesia dilanda wabah Covid-19, ini masih lebih baik ketimbang ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi pada tahun 1997-1998 yang mana lebih banyak korban PHK.

Secara psikologis, menurut Widyastuti, orang-orang yang bekerja secara tidak sadar menjadi lebih sehat secara mental.  Hal ini dikarenakan “ketika kita bekerja dengan posisi tertentu, dengan peran tertentu, kita jadi memiliki kendali atas sesuatu. Kemudian kita memiliki jaringan sosial yang luas, itu juga baik untuk kesehatan mental kita. Ketika kita punya target tertentu yang ingin kita capai, itu juga jaringannya kita dapatkan saat bekerja. Dengan bekerja secara teratur jelas kapan kita harus berangkat itu berpengaruh terhadap Kesehatan mental kita. WFH memang enak berada di rumah, tetapi waktunya menjadi tidak teratur. Itu juga kemudian menjadi sumber stress tersendiri” jelasnya.

Widyastuti melanjutkan, bekerja juga menjadi sarana manusia untuk menyalurkan potensi mereka, sehingga ketika pekerjaan seseorang terputus maka bukan hanya sumber pendapatan saja yang berkurang atau bahkan hilang, tetapi juga sumber daya psikologisnya juga.

Widyastuti memaparkan data bahwa akibat dari wabah Covid-19 ini setidaknya ada 749,4 ribu orang yang menjadi korban PHK. Sedangkan ada 1.7 juta orang yang “dirumahkan”. Mereka yang dirumahkan memang belum di-PHK namun ada kegelisahan dan ketakutan tersendiri merasa mereka akan segera di-PHK. Sehingga hal ini sangat berpengaruh terhadap psikologis seseorang.

Dalam kondisi seperti ini, tiap-tiap individu perlu untuk belajar menerima kondisi yang ada meskipun buruk, tetapi tetap meyakini bahwa aka nada perubahan kea rah yang lebih baik. Sebagaimana yang disampaikan Widyastuti, hal ini juga berkaitan dengan penguatan keyakinan kepada Allah SwT. Menyusun prioritas dalam kondisi finansial, mengembangkan peluang untuk bertahan dalam kondisi krisis, mencari bantuan, dan terlibat dalam kegiatan yang membantu orang lain ialah beberapa strategi sehat mental yang ditawarkan oleh Widyastuti. (ran)

Exit mobile version