Membaca Abdurrahman bin Auf, Terkenang Pak Nadjikh

Membaca Abdurrahman bin Auf, Terkenang Pak Nadjikh

Oleh: Hatib Rahmawan

Empat belas abad yang lalu hidup seorang saudagar kaya di tanah Arab. Perawakan tinggi, kulit putih, dan berhidung mancung. Dia berada di sisi Rasulullah saw pada saat perang Badar, Uhud, dan yang paling fenomenal pada saat perang Tabuk. 20 sabetan pedang pernah dialami selama perang. Mati syahid mungkin cita-citanya.

Saudagar kaya itu dulunya miskin. Meninggalkan kampung halaman tanpa modal apapun. Dipersaudarakan dengan orang Anshar. Diberi harta ditolak, diberi istri juga ditolak. Ditunjukkan letak pasar, berangkatlah dia.

Dilihat pasar itu tidak menguntungkan umat Islam. Penuh tipu daya, dibawah oligarki Yahudi. “Umat Islam yang mayoritas harus punya pasar sendiri”. Sebuah ide anti mainstream. Berdirilah pasar umat Islam pertama. Dalam waktu singkat untunglah dia. Satu ons emas digunakan untuk melamar perempuan Anshar.

Kehadirannya membawa perubahan ekonomi besar di Madinah. Semua orang pernah menikmati kekayaannya. Sepertiga hartanya digunakan untuk menghidupkan UMKM yang mati. Sepertiga kekayaannya digunakan membebaskan jeratan hutang rentenir. Sepertiganya lagi digunakan untuk membantu orang-orang yang kehilangan lapangan pekerjaan.

Semua orang Madinah mempercayakan dagangan padanya. Butuh 700 ekor unta membawa perniagaan tersebut. Dia tidak pernah meninggalkan kaumnya dalam berbisnis. Inilah bentuk bisnis berbasis potensi lokal pertama di Arab. Tidak ada monopoli maupun oligarki ekonomi. Semua harus hidup. Perusahaan besar menghidupi usaha kecil.

Saudagar kaya tersebut sangat nasionalis. Dia sangat paham keadaan negara ketika terancam. Perang adalah ancaman sangat berbahaya. Dia sumbangkan seluruh hartanya. Untuk mempersiapkan perang. Untuk mempertahankan embrio Negara Madinah. Kalau negara hancur, hancur seluruh umat Islam.

Nasionalisme baginya bukan hanya jihad. Melainkan sokongan modal untuk memperkuat negara juga hal penting. Orang beriman di zaman itu adalah yang nasionalis. Membela negara dengan jiwa dan hartanya.

Tercatat harta yang disumbangkan untuk negara sebesar 200 uqiyah emas. 1 uqiyah setara 31,7475 gram. Berarti sekitar 6.349,5 gram emas. Jika dihitung dengan harga emas Antam saat ini 927.000/gram berarti uang yang disumbangkan 5.8 miliar. Jumlah yang sangat besar untuk ukuran saat itu.

Bahkan dalam riwayat lain dijelaskan, dia menyumbangkan sebanyak 4.000 dirham, 500 kuda perang, dan 1.500 Unta. Saudagar lainnya, seperti Usman bin Affan kalah dalam hal ini. Usman hanya menyumbang 300 unta yang setara dengan 1.7 M harga sekarang.

Saudagar kaya tersebut adalah Abdurrahman bin Auf. Si tangan emas, dermawan, dan rendah hati. Dialah yang menanggung kehidupan Ummul Mukminin sepeninggal Rasulullah saw. Dia termasuk salah satu sahabat yang dijamin masuk surga.

Mengenang Pak Nadjikh

Membaca kisah Abdurrahman bin Auf, selalu mengingatkan saya pada sosok saudagar Muhammadiyah Pak Nadjikh. Kemampuannya melakukan mobilitas vertikal, dari zero to hero, sama persis dengan sahabat Nabi saw tersebut.

Pak Nadjikh bukan anak saudagar dan keturunan raja, tapi berhasil duduk sejajar dengan para konglomerat kelas kakap. Tidak mau menyerah pada nasib, selalu membaca peluang, dan ulet mencari solusi adalah hal yang harus ditiru anak muda zaman sekarang.

Posisi mulia sebagai dosen, tidak membuatnya mapan. Dia ingin mencari yang lebih menantang. Diberi jabatan penting di sebuah perusahan dengan gaji besar, tidak membuatnya jenak. Rupanya yang dipikirkan adalah sejauh mana usaha dapat memberikan manfaat bagi orang banyak.

Ini fikiran anti mainstream, seperti Abdurrahman bin Auf. Ejekan dari rekan bisnis menjadi spirit untuk bangkit. Dia lebih banyak mencari solusi masalah, ketimbang memikirkan rasa sakit hati. Itulah optimisme seorang Nadjikh yang harus diikuti.

Pak Nadjikh lebih bahagia jika usahanya melibatkan orang banyak, ketimbang harus kaya sendiri. Dia memilih lelah menghidupkan nelayan yang mati, ketimbang menikmati kemudahan-kemudahan yang mestinya dapat dilakukan.

Andaikata dia ingin membeli pukat harimau, sangat mudah untuk dilakukan. Namun, hakekat bisnis baginya, bukan untuk membunuh yang lain. Menjadi hebat, tidak dengan melukai yang lain. Sebuah kredo bisnis, yang jauh berbeda dengan konglomerat pada umumnya.

PT. Kelola Mina Laut (KML) merupakan pengejawantahan usaha kerakyatan Abdurrahman bin Auf. Semakin besar orang terlibat, semakin berkah sebuah usaha. Nalar ekonomi dan bisnis yang berlawanan dengan pengikut Cartesian, Mafia Berkeley, dan milenial lulusan Harvard.

Pak Nadjikh selalu melihat proses. Cara instan dalam berbisnis hanya menghasilkan orang yang tamak dan rakus. Tidak pernah menumbuhkan empati, simpati, apalagi peduli.

Kalau nasionalisme tidak perlu ditanyakan pada sosok Nadjikh. Usaha yang melibatkan rakyat kecil, selalu berorientasi pada nasionalisme. Seperti Abdurrahman bin Auf.

PT. Kelola Mina Laut (KML) selalu berusaha menjaga harga ikan tetap stabil. Bahkan pada krisis Covid-19 ini perusahaan selalu berusaha menjaga harga ikan dari nelayan. Meskipun perusahaan harus menanggung rugi karena semua eksport macet.

Perusahaan Pak Nadjikh, bukan hanya sekedar eksport. Sekedar cari untung. Namun, eksport dengan kualitas dunia. Bukan ekspor barang mentah, setelah jadi diimpor kembali ke dalam negeri. Tidak semudah itu dia menjual kekayaan alam bangsa ini. Dia punya harga diri.

Beda dengan eksportir dan importir pengusaha gadungan saat ini. Barang China dimasukan, tidak peduli dengan produk lokal. Mereka tidak peduli kalau hal itu membunuh bangsanya sendiri. Asal gue kaya.

Itulah Pak Nadjikh. Abdurrahman bin Auf yang pernah hadir di Indonesia. Kini perniagaannya menjadi amal jariyah. Saya yakin saat ini dia sedang menikmati hidupnya yang baru. Sementara Muhammadiyah, tidak menemukan penggantinya. Semoga segera lahir Nadjikh yang baru.

Penulis adalah Dosen Prodi Ilmu Hadis Fakultas Agama Islam Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Ketua Majelis Pendidikan Kader PWM DIY. Sekretaris Bidang Pendidikan dan Kaderisasi PP Pemuda Muhammadiyah.

Exit mobile version