Mengurai Benang Kusut Polemik Kartu Prakerja

Oleh: Fahd Pahdepie

Adamas Belva Syah Devara sudah mundur dari jabatannya sebagai staf khusus Presiden Jokowi (21/04), tetapi polemik kursus daring kartu prakerja belum usai. Publik masih menilai langkah ini belum cukup.

Seandainya Belva mengambil langkah yang lebih heroik sekalipun, misalnya justru mundur dari CEO Ruangguru dan bertahan menjadi stafsus yang terus mendampingi presiden, masalahnya tetap masih belum selesai. Karena problem utama polemik ini bukan pada pribadi Belva.

Namun, pengunduran diri Belva setidaknya menjelaskan dua hal yang kita tetap perlu berterima kasih karenanya. Mundurnya Belva dari jabatan strategis di lingkaran utama presiden membuka mata kita tentang sejumlah hal.

Pertama, bahwa bias konflik kepentingan itu nyata dan tak boleh diberi ruang lagi. Sebab seandainya tidak terjadi penyalahgunaan jabatan sekalipun, ada resiko robek citra yang besar di sana. Sementara persepsi dan asumsi negatif publik tak bisa disalahkan, karena memang tak bisa dielakkan. Stafsus atau pejabat lain yang masih rangkap jabatan perlu segera mengambil sikap.

Kedua, pernyataan Belva bahwa pengunduran dirinya dimaksudkan agar polemik seputar kursus daring Kartu Prakerja yang melibatkan anak perusahaannya, Skill Academy by Ruangguru, tidak mengganggu konsentrasi Presiden dan jajaran pemerintahannya untuk menanggulangi wabah COVID-19 di Indonesia, justru merupakan poin paling penting yang perlu kita garisbawahi bersama. Itu justru masalah utamanya.

Insensitivitas di Tengah Pandemi

Di antara problem utama carut-marut peluncuran kursus daring kartu prakerja di masa pandemi ini adalah ihwal insensitivitas kebijakan. Kebijakan yang sejatinya merupakan bentuk ‘pivot’ dari konsep aslinya, menyusul krisis akibat wabah corona yang mengharuskan setiap orang melakukan ‘physical distancing’, justru tidak terasa tepat sasaran menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi masyarakat.

Hari ini masyarakat tidak membutuhkan kursus ‘online’ yang disediakan pemerintah dengan dana triliunan rupiah. Di tengah masa pandemi dan ancaman krisis ekonomi seperti sekarang ini, masyarakat jauh lebih membutuhkan dukungan pemerintah untuk menjamin kebutuhan hidup dasar mereka yang terancam. Setidaknya untuk bertahan sampai wabah ini berakhir.

Lagipula, kebijakan program kartu prakerja dengan format kursus daring ini sangat bias kelas menengah dan justru cenderung menguntungkan ‘startup’ teknologi yang terlibat di dalamnya saja, mulai dari ‘platform’ penyedia kursus daringnya hingga fintek yang menampung uang saku penerima manfaatnya.

Belum lagi materi-materi atau kelas yang disajikan pun terasa tidak membumi. Sangat bias kelas menengah, mengajarkan para pengangguran untuk bangkit dari kemiskinan tetapi dengan alam pikiran dan cara orang kaya. Apalagi, materi-materi yang disajikan pun sebenarnya bertebaran secara gratis di Internet.

Apakah mereka yang lapar dan harus membiayai aneka kebutuhan dasar untuk besok akan selesai masalahnya ketika diberi kelas bisnis ‘online’ atau ‘digital copywriting’? Tentu tidak relevan.

Sekalipun ada uang saku yang diberikan untuk mereka, jumlahnya Rp2,55 juta yang dibagi selama empat bulan masing-masing Rp600ribu, masalahnya uang saku itu didistribusikan secara elektronik melalui saldo di rekening online seperti OVO, LinkAja, atau GoPay. Bisakah uang elektronik itu dibelanjakan di semua warung atau pasar di seluruh Indonesia?

Saya yakin asumsi bahwa dana Rp5,6 triliun dari total Rp20 triliun itu lari kepada ‘platform’ penyedia kursus daring seperti Skill Academy by Ruangguru, Tokopedia, Bukalapak, Pintaria atau Pijarmahir adalah pemahaman yang keliru. Tidak sesederhana itu cara membacanya. Tetapi saya kira kebijakan ini tetap perlu ditinjau ulang bahkan dibatalkan karena bias kelas menengah dan insensitif tadi.

Kita sepakat bahwa ‘startup’ teknologi anak bangsa harus didukung, meski sebenarnya banyak di antara mereka disokong penyedia modal asing juga. Tetapi daripada negara ikut-ikutan menjadi ‘venture capital’ yang memodali dan menguntungkan startup-startup ini, mengapa negara tidak menjadi pemberi modal usaha langsung bagi warganya saja? Tanpa syarat dan ketentuan yang dibuat seolah menguntungkan pihak-pihak tertentu.

Atau bisakah dana Rp5,6 triliun yang tersedia itu tidak dialirkan untuk kursus daring? Tetapi dibagikan saja kepada Rp5,6 juta pengangguran dan orang miskin sebagai ‘basic income guarantee’ agar mereka bisa bertahan hidup di masa pandemi ini. Dana itu saja cukup untuk menjadi Rp1 juta untuk satu bulan atau Rp500 ribu untuk dua bulan biaya hidup.

Kembali Pada Konsep Awal

Apakah artinya program kartu prakerja adalah konsep yang buruk? Sama sekali tidak. Untuk saat ini, ia hanya disajikan ulang dalam format yang keliru dan di waktu yang salah saja. Jika kita kembali kepada konsep awalnya, program kartu prakerja ini sejatinya merupakan ide brilian yang luar biasa dari presiden.

Awalnya kartu prakerja akan dieksekusi dalam bentuk pelatihan-pelatihan keterampilan dan kewirausahaan dasar untuk warga yang masih menganggur. Harapannya, setelah mereka diberikan pelatihan atau kursus ini, mereka akan memiliki keterampilan yang siap pakai untuk bekerja atau memulai usaha.

Kursus-kursus itu diselenggarakan oleh Balai Latihan Kerja (BLK) milik pemerintah, tersebar di seluruh Indonesia. Para pemegang kartu ini kelak bisa memilih kursus-kursus apapun dari daftar yang disediakan pemerintah, semuanya gratis, berapapun biayanya. Lama waktu kursus itu sekitar satu atau dua bulan. Bahkan kursus-kursus itu mungkin bersertifikat resmi karena pemerintah bisa berkoordinasi dengan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), misalnya.

Selama mengikuti kursus-kursus itu, pemerintah memberi uang saku untuk mendukung biaya konsumsi dan transportasi peserta. Setelah lulus dari kursus, para pemegang kartu ini diberi waktu selama empat bulan untuk mencari kerja atau memulai usaha. Selama empat bulan itu, ada dana dukungan uang tunai yang diberikan pemerintah sebesar Rp600 ribu setiap bulannya.

Program yang disebut menganggarkan dana APBN sebesar Rp20 triliun ini, diharapkan bisa menyelesaikan masalah pengangguran terbuka yang jumlahnya mencapai 6,82 juta orang (data BPS Februari 2019). Apakah pemerintah bisa memodali mereka yang mau berwirausaha? Pemerintah bisa memfasilitasi upaya afirmasi pada program-program permodalan usaha rakyat yang telah berjalan selama ini, di antaranya KUR (Kredit Usaha Rakyat) atau PNPM Mandiri Perdesaan. Istimewa, bukan?

Saya kira, pada saatnya, kelak kalau situasi krisis akibat pandemi ini sudah berakhir, kita bisa kembali pada konsep yang luar biasa itu. Sekarang tak perlu memaksakan diri menjalankan program ini apalagi dengan pendekatan yang bermasalah, cenderung menguntungkan pihak swasta seperti ‘startup-startup’ teknologi ini.

Jika pemerintah perlu melakukan sesuatu saat ini, fokuslah pada pemberian stimulus ekonomi untuk warga miskin–termasuk di dalamnya para pengangguran. Mereka lebih butuh untuk bertahan hidup saat ini. Untuk sekarang, Bantuan Langsung Tunai (BLT) saya kira jauh lebih dibutuhkan masyarakat, tinggal kemasannya saja disesuaikan dengan nomenklatur dan tata cara yang lebih tepat.

Akhirnya, apakah kebijakan kursus daring kartu prakerja ini bisa dibatalkan? Saya kita bisa. Bahkan harus. Masyarakat akan memberi kredit yang luar biasa besar pada presiden dan jajarannya jika kebijakan insensitif ini ditunda dan ditinjau ulang.

Di sini pula, DPR perlu bersuara. Di masa pandemi ini, masyarakat miskin termasuk pengangguran lebih membutuhkan ‘basic income guarantee’ daripada kursus-kursus online. Dana pemerintah sebaiknya dialokasikan ke sana.

Setelah Belva mundur, ia bisa menjadi CEO Ruangguru kembali. Tetapi masyarakat miskin tetap cemas dan khawatir, bahkan kelaparan. Fokus utama perlu kita alihkan ke sana.

Tabik!

Fahd Pahdepie, Penulis

Exit mobile version