Berbagi (Jangan) Sampai Menyakiti Hati

Berbagi (Jangan) Sampai Menyakiti Hati

Royyan Mahmuda Al’Arisyi Daulay

Bulan Ramadhan telah tiba di tengah suasana pandemi corona. Umat muslim seluruh dunia gegap gempita menyambutnya. Meski suasana tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, ramadhan tetap memiliki tempat istimewa bagi mereka yang menantikannya. Biasanya saat akan ramadhan seperti ini, kaum muslimin akan sangat semangat dalam melaksanakan ibadah. Saat sebelum ramadhan tidak giat sholat, kurang lancar bersedekah hingga jarang memegang al-Qur’an, namun saat memasuki bulan suci ini semuanya berbanding terbalik

Orang-orang akan lebih giat untuk sembahyang, mengaji menjadi rutinitas tiap hari serta membayar zakat di waktu yang tepat. Tidak ketinggalan juga dengan sedekah kepada mereka yang membutuhkan. Biasanya akan ada aksi membagikan nasi untuk sahur ataupun berbuka. Dan tidak ketinggalan berfoto bersama dalam rangka mengabadikan momen-momen baik tersebut. Namun kadang memotret momen indahnya berbagi itu tidak selalu menjadi hal baik

Saya teringat dengan pengalaman saat berbagi terhadap sesama di waktu ramadhan. Saat itu instansi saya rutin mengadakan kegiatan berbagi nasi kepada orang-orang saat berbuka puasa. Kebetulan pada kegiatan berbagi nasi ini saya berkesempatan untuk bergabung. Kami memanggil siapapun yang layak dan lewat di depan kantor. Entah pesepeda, tukang becak, maupun orang yang sedang berjalan akan kami hampiri untuk kami beri.

Saat giliran saya untuk membagi nasi kepada mereka yang layak, secara kebetulan ada bapak-bapak lewat menggunakan becak. Kemungkinan dia habis mengantarkan penumpangnya. Saya taksir usianya sudah lima puluhan, tampak dari kondisi fisik yang terlihat.

Lalu saya berhentikan beliau untuk memberi nasi, kemudian mempersilahkan kembali untuk melanjutkan perjalanan. Tetapi bapak tukang becak tadi tidak kunjung beranjak, malah bertanya ” Loh ini tidak diambil foto dulu mas? “.

” Oh mboten pak, sudah ada bahan untuk dokumentasi tadi” Jawabku pada beliau.

“Oh begitu, saya sudah biasa diberi nasi seperti ini, biasanya malah difoto-foto dulu, emang kami yang dianggap miskin ini paling enak kalau dijadikan ladang beramal dan berfoto mas”. Ucapnya lalu meninggalkan saya.

Jujur di satu sisi saya merasa senang ketika berbagi nasi kepada sesama. Saya merasa telah memberi manfaat kepada seseorang, meskipun hanya sebungkus nasi. Namun itu bukan masalah karena berbagi itu bukan perkara berapa banyak barang yang diberikan, tetapi lebih pada niat dan rasa kecintaan terhadap sesama.

Namun disisi yang lain saya juga merasa nyesek mendengar pernyataan bapak tukang becak tadi. Bukan karena merasa tidak dihargai, tetapi lebih pada perasaan sedih. Saya jadi berfikir ternyata tidak selalu perbuatan yang kita anggap baik itu dapat diterima baik pula oleh orang lain. Tanpa saya sadari, ternyata kegiatan berbagi nasi dengan memotret momen-momen berbaginya itu cukup menyinggung perasaan si penerima.

Mungkin bagi saya mengambil foto saat prosesi pemberian itu hanya sebatas dokumentasi kegiatan atau bahkan hanya untuk file update di instagram. Namun ternyata bagi si penerima itu bermakna lain. Bisa jadi tindakan pengambilan foto tersebut dapat menyayat atau bahkan melukai harga dirinya. Tidak menutup kemungkinan pada akhirnya mereka merasa kemiskinan yang dialami itu hanya digunakan untuk sekadar mencari reputasi oleh sebagian orang. Karena berbaginya bukan murni karena empati, tetapi hanya sebagai eksistensi diri agar dianggap menjadi manusia yang punya nurani.

Imam Ghazali pun pernah berkata bahwa di dalam ibadah terdapat keangkuhan, sebagaimana keangkuhan yang terdapat pada uang. Tentu ini menjadi peringatan keras bagi kita kaum muslimin dan muslimat. Terkadang kita merasa jumawa atas segala perbuatan baik yang telah dilakukan. Sehingga menyebabkan perasaan angkuh dan berakibat pada rahmat Allah yang semakin jauh.

Allah SWT pernah berfirman dalam surat al-Baqarah (2) : 264, yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”.

Menurut Prof. M. Quraish Shihab,  tafsir ayat tersebut lebih tepat dikatakan sebagai peringatan kepada orang yang bersedekah agar tidak jumawa sehingga menyebabkan riya’ di dada. Karena akibatnya si penerima akan merasa terhina dan tidak ikhlas untuk menerima apa yang kita berikan. Artinya sesuatu yang baik harus dilakukan dengan cara yang baik pula. Mungkin memotret kegiatan sedekah kita tidak ada unsur riya’ ataupun sombong. Dan belum tentu juga si penerima merasa terhina.

Namun yang namanya perasaan hati tidak mungkin pasti. Bisa saja sekarang tidak terbesit perasaan ujub, tetapi tidak menutup kemungkinan beberapa saat kemudian akan mekar perasaan berbangga diri di hati. Maka tidak ada salahnya agar kita berhati-hati terhadap perasaan ketika beribadah, baik sedekah maupun ibadah lainnya. Semoga ramadhan tahun ibadah kita semakin berkah dan diterima, sehingga virus corona akan hilang dari tanah air tercinta. Amin.

Royyan Mahmuda Al’Arisyi Daulay, alumni Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Exit mobile version