Agama Dan Budaya

Agama Dan Budaya

Saudaraku, kalau kita mengamati sosial media, baik Facebook, Twitter, group WA, goup BBM, dan yang semacamnya, sepertinya agama Islam sedang diancam oleh budaya lain. Budaya lain itu merusak agama Islam. Suasana seperti itu akan sangat mudah kita rasakan setiap menjelang pergantian tahun masehi, atau pun setiap menjelang perayaan bulan Februari, saat menjelang Valentine Day, kadang juga menjelang peryaan Hari Kartini pada bulan April. Kejadian seperti ini terus berulang sepanjang zaman. Seperti memutar kaset lama.

Himbauan untuk membentengi aqidah dari gerogotan budaya sesat dan gempuran agama lain selalu bertebaran. Dari ribuan pernyataan yang ada di sosial media itu, seakan-akan menunjukkan kalau Islam, agama yang kita peluk ini, sedang dan selalu terancam oleh gerusan budaya lain. Secara prinsip, agama dan budaya merupakan dua hal yang sama sekali berbeda. Agama adalah ciptaan Allah SwT untuk memandu hidup manusia agar tidak tersesat. Sedanglkanbudaya merupakan karya manusia untuk mewarnai kehidupannya.

Keduanya tidak layak untuk diperbadingkan, apalagi dipertandingkan. Keduanya selalu bersandingan dalam hidup kemanusiaan. Karena itu, agama seringkali merasuk ke dalam budaya suatu masyarakat yang menciptakannya. Sedangkan budaya walau banyak memperkaya tradisi agama namun tidak sedikit pula yang merusak agama.

Saat ini, bangsa Barat dapat dikatakan sedang menjadi pemenang peradaban manusia modern. Dalam ukuran tertentu budaya bangsa Barat nyaris tidak terpisahkan dengan ruh agama Nasrani yang memang telah menjadi urat nadi kehidupan mereka. Namun, kalau kita cermati, perkembangan budaya Barat itu juga banyak yang merusak jiwa agama Nasrani.

Kebudayan Barat sebenarnya tidak mempunyai akar di Indonesia. Namun karena dianggap sebagai budayanya orang maju, budaya itu banyak ditelan mentah-mentah oleh anak muda kita. Atas dasar biar terlihat modern dan tidak ketinggalan mode atau tren, banyak anak muda kita yang asal meniru saja. Kentang dan kimpul sudah terlanjur menyatu, demikianlah orang Jawa masa dulu sering berkata. Ikut tepuk tangan ketika teman di sebelah tepuk tangan. Padahal walau sang pejabat yang sedang memberi sambutan  berkata “saya prihatin”.

Budaya Barat yang berpijak pada materialisme memang akrab dengan budaya pesta dan pemuasan hasrat. Budaya ini secara asasi sebenarnya berbeda dengan budaya Nusantara yang cenderung membatasi bahkan mengekang nafsu. Namun, saat ini, karena bangsa Barat dapat dikatakan tengah menjadi pemenang, maka seluruh budayanya juga banyak yang digandrungi oleh seluruh manusia. Oleh karena itu, saat ini, terompet (tahun baru masehi), coklat dan warna pink (valentine day), kelabu dan kostum hantu (halloween day) menjadi sesuatu yang diakrabi oleh anak-anak Nusantara yang secara sejarah, sosiologis, apalagi agama, tidak mempuyai kaitan dengan semua perayaan itu.

Saat ini, tidak hanya kaum Muslim yang “resah” dengan arus budaya Barat yang materialistik ini. Orang-orang India dan China juga mulai merasakan keresahan yang nyaris sama. Lebih parah lagi, semua perayaan budaya baru itu sebenarnya sudah menyeleweng dari semua ajaran agama apa pun. Semua sudah ditunggangi dan dikendalikan oleh kekuatan material yang memuja nafsu. Sekedar resah memang tidak menjawab masalah. Anak-anak muda yang termakan kemajuan dan kemodernan semu itu harus diberikan alternatif yanglebih baik.

Saudaraku, mengapa kita tidak mencoba memberi warna Islam di setiap budaya yang sekarang berkembang? Seperti yang telah dilakukan oleh orang-orang Jawa ketika mereka melawan kebijakan Sultan Agung. Pada Saat itu, Sultan Agung mengintegrasikan penanggalan Jawa (syamsiah) dengan penanggalan Islam (qamariyah). Dengan kebijakan itu, Sultan Agung dianggap telah “mengislamkan” Jawa. Kepercayaan Jawa telah kalah dan tunduk pada agama Islam yang menggunakan kalender berbasis peredaran bulan.

Namun, dengan cerdik orang Jawa menerapkan strategi membelokkan arus itu secara halus. Sultan Agung yang Islam boleh mengubah kalender Jawa dari Syamsiyah ke Qomariah yang sesuai dengan ajaran Islam. Namun, orang Jawa yang belum Islam tidak asal menolak dan melawan. Mereka tetap menyisipkan ritual Jawa dalam tatanan yang baru. Sistem Kalender boleh berganti berbasis peredaran bulan, namun ritual penyambutannya masih sama. Tapa bisu dan tirakatan ala Jawa masih dipertahankan. Demikian pula tradisi-tradisi yang lain, semisal memberi makan leluhur yang di-pas-kan penyelenggaraannya pada menjelang bulan puasa (ruwahan) tetap dipertahankan, juga ritual-ritual lain yang terkait dengan hari besar agama Islam yang lain.

Bagi orang Jawa, yang belum mau menerima ajaran Islam, Sultan Agung boleh membuat wadahnya menjadi Islam, namun isinya tetap kepercayaan Jawa. Termasuk dalam bulan Ramadhan ini, misalnya. Boleh saja nama bulannya adalah bulan Ramadhan atau pasa. Di tiap tanggal ganjilnya, boleh saja umat Islam percaya ada lailatul qodar yang akan turun membawa rahmat. Namun, bagi orang Jawa, tanggal-tangal ganjil di akhir bulan puasa itu dianggap sebagai tanggal yang tepat untuk memberi sesaji kepada para arwah leluhur.

Saudaraku, bahkan kita juga perlu berpikir, apakah cara kita melepas bulan Ramadhan masih dengan cara dan isi agama Islam. Ataukah hanya wadahnya saja yang Islam (shalat idhul fitri dan silaturahim), namun isinya adalah produk kapitalis. Misalnya, yang sukses di perantauan, ketika mudik hanya untuk memamerkan kesukesannya.

Saat ini, budaya Barat yang diproduk oleh kaum kapitalis sudah sedemikian kuat, bahkan nyaris mustahil kita bendung. Salah satunya adalah kalender masehi. Siapakah yang saat ini bisa membuang kalender masehi dari rutinitas hidup kita? Apakah kita tidak bisa mengisi wadah budaya Barat itu dengan isi Islam.

Tradisi mengisi malam pergantian tahun dengan nuansa berisi budaya Islam (tabligh akbar), yang selama ini telah terjadi, tanmpaknya perlu ditambah lagi. Misalnya, kita membuat acara di hari valentine dengan nuansa menyayangi orang tua. Kalau kita tidak menganggap hal itu sebagai ibadah, maka kita tidak perlu terperangkap dalam perdebatan tentang bid’ah.

Saudaraku, Islam memang harus bisa memberi warna pada budaya. Dan itu adalah tugas kita semua. Kaum kapitalis tidak pernah resah dengan maraknya fenomena artis yang membuat acara buka bersama. Namun, mereka malah bisa memanfaatkan gaya hidup itu untuk kepentingan mereka. Bisakah semua budaya yang digandrungi anak muda sekarang kita islamkan isinya? Tentu saja, peluang itu tetap ada.

Isngadi Marwah Atmadja, Catatan Bulan Suci, Kumpulan Bahan Kultum Ramadhan

Exit mobile version