Pengalaman beragama, termasuk pengalaman beragama di bulan Ramadhan, berbeda-beda antara generasi yang satu dengan generasi sekarang. Perbedaan itu terjadi karena yang memiliki pengalaman beragama dididik pada zaman berbeda, bersama orang berbeda dan suasana kehidupan dan teman sebaya yang berbeda pula.
Anak-anak sekarang yang hidup dengan energi listrik melimpah, kalau malam rumah, tempat ibadah, dan jalan kampung, jalan raya terang benderang tentu berbeda ketika energi listrik sangat terbatas. Kalau malam, rumah, tempat ibadah masih menggunakan lampu sederhana mulai dari lampu senthir, lampu teplok, lampu triom, atau yang berpunya menggunakan lampu petromaks atau stromking.
Waktu itu minyak tanah atau minyak liun atau minyak troli masih murah karena belum diekspor atau digunakan sebagai bahan kimia pembuatan obat nyamuk, bahan pembuatan plastik dan sebagainya. Itulah, paska kemerdekaan sampai akhir Orde Lama boleh dikatakan sebagai zaman kejayaan minyak tanah.
Minyak tanah, selain dipakai untuk menghidupkan lampu, juga dipakai untuk menghidupkan kompor, dicampur minyak kelapa menjadi minyak pelumas mesin jahit. Kalau malam hari sering dipakai untuk menghidupkan obor untuk anak pulang mengaji atau untuk penerang jalan bagi pedagang yang Subuh hari berangkat melintasi bulak dan menyeberang sungai menuju pasar tradisional yang berkilo-kilometer jauhnya ditempuh dengan jalan kaki.
Ya, saat energi listrik terbatas, lampu jalan hanya pelik-pelik, lorong kampung, halaman rumah, pekarangan, serta lingkungan makam gelap gulita.
Demikian juga di waktu Ramadhan. Anak-anak waktu itu setiap malam harus memerangi rasa takutnya untuk hanya datang dan pergi ke tempat taraweh.
Dengan bersenjata obor, lampu ting, atau lampu senter diisi batu baterai anak keluar rumah menuju tempat taraweh. Waktu itu ada tempat tarweh campuran, yang dihadiri bapak-bapak, ibu-ibu, anak perempuan, dan anak laki-laki. Ada pula tempat tarweh yang tersendiri. Khusus bapak-bapak, khusus ibu-ibu, khusus anak laki-laki, dan khusus untuk anak-anak perempuan.
Uniknya, meski tahun-tahun 1963-1965 boleh disebut sebagai zaman kegelapan politik, anak-anak orang Muslim taat dan abangan, bahkan anak orang komunis pun tetap kompak dalam bertarweh. Anak-anak tidak tercemari oleh kegelapan ideologi politik waktu itu.
Kenapa? Karena di Kotagede misalnya, ada dua sekolah besar dan berkualitas yang didirikan Muhammadiyah. SD Muhammadiyah Kleco dan SD Muhammadiyah Bodon, untuk perempuan ada sekolah menengah SKKP Muhammadiyah di dekat Mushalla Aisyiyah.Hanya ada dua SD Negeri. Para orangtua, baik yang santri atau yang abangan lebih memilih menyekolahkan anaknya di sekolah Muhammadiyah.
Nah, karena sama-sama dididik di sekolah Muhammadiyah, sama-sama diajar guru-guru Muhammadiyah, dengan pelajaran agama dan umum yang kurikulumnya sama, maka anak-anak didik ini akrab satu sama lain. Kalau malam hari di bulan Ramadhan sama-sama shalat tarawih.
Memang ada sekelompok anak-anak yang selama Ramadhan ‘setia’ dengan satu tempat tarweh pilihan mereka, tempat tarweh campuran atau tempat tarweh khusus. Ada pula kelompok anak-anak yang berpetualang, kadang bertarweh di tempat tarweh campuran, kadang di tempat tarweh khusus. Malah kadang tarweh di lintas kampung, lintas masjid dan lintas langgar. Mereka ingin mendapatkan pengalaman beragama yang berbeda-beda.
Meski demikian, anak-anak mendapatkan pengalaman yang umum yang sama saat sepuluh hari di bulan Ramadhan awal, pertengahan, sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Yang jelas hari sepuluh akhir Ramadhan, suasana tarwehan berubah dengan makin lezatnya snack jaburan dan suasana kampung berubah meriah.
Mulai tanggal 21 Ramadhan banyak rumah memasang lampu oncor atau ting, tidak hanya satu. Malahan ujung gang atau ujung lorong dipasang oncor dengan bahan bakar minyak tanah. Anak-anak, bapak-bapak, ibu-ibu, kakek-nenek, paman-bibi, pakde-bude yang pulang tarweh dan saat berangkat Subuhan seperti berjalan di tengah cahaya.
Ada rasa bahagia dan rasa haru karena selamat mengarungi waktu Ramadhan. Ini kabarnya merupakan strategi dakwah kultural dengan memasang simbol bahwa kampung-kampung yang warganya selama Ramadhan aktif beribadah merupakan kampung yang tercerahkan oleh ajaran agama.
Juga merupakan simbol harapan semoga Ramadhan ini mendapat anugerah Lailatul qadar. Sehabis jamaah Subuh, sepulang dari, masjid, langgar dan mushalla, orang-orang pun ramai-ramai meniup oncor atau lampu ting itu. Pertanda akan datang hari, hari yang akan disinari dengan terang benderang oleh sang surya.
(Mustofa W Hasyim)