Memaknai Fardlu Kifayah
Ada keluarga Muslim yang cukup taat, namun miskin. Pada suatu hari, salah seorang anggota keluarga itu sakit keras dan harus dirawat di rumah sakit. Keluarga ini memerlukan dana cepat dalam jumlah yang sangat besar. Apabila dana itu tidak ada, keselamatan jiwa si sakit akan sangat terancam.
Keluarga Muslim ini pun mencari bantuan kepada saudara-saudara seiman. Namun, bantuan itu tidak berhasil diperoleh. Setelah pusing mencari bantuan ke saudara-saudaranya sesama Muslim yang tidak kunjung diperoleh, justru bantuan itu datang dari lembaga gereja. Bantuan ini datang dengan menyertakan satu syarat: apabila si sakit sembuh, keluarga tersebut harus bersedia dibaptis (masuk agama Nasrani).
Saudaraku, kisah di atas sering terjadi. Yang menjadi masalah adalah apabila syarat ini mereka terima, dan mereka sekeluaraga jadi murtad, siapakah yang berdosa? Kita mungkin bisa mengatakan, mereka sudah pasti berdosa karena tidak kuat menahan cobaan dari Allah SwT. Tetapi, benarkah kita juga tidak akan dituntut tangungjawab yang sama atas peristiwa ini?
Kalau memakai kacamata fardlu kifayah, mungkin kita semua (seluruh umat Islam) harus menanggung dosa yang sama apabila peristiwa seperti itu harus terjadi. Bukankah semua orang juga berdosa manakala ada jenazah saudaranya dibiarkan terlantar tanpa diurus?
Sebagai agama, Islam banyak mengajarakan kepada penganutnya untuk peduli pada sesama. Memang sangat tepat kalau Islam dikatakan sebagai agama yang diturunkan oleh Allah untuk menjawab budaya jahiliyyah. Peradaban jahiliyyah yang menyandarkan dirinya kepada hukum rimba yang serba mengandalkkan kekuatan dan kekuasaan fisik yang serba kasar dan buas mendapat imbangan dari ajaran Islam yang menyandarkan diri pada kekuatan iman yang yang harus diwujudkan dalam alam kehidupan. Di dalam Al-Qur’an hampir tidak ada perintah shalat yang tidak diikuti dengan perintah zakat. Dan juga sangat jarang adanya penyebutan iman yang tidak diikuti dengan kata amal al- shalihah.
Dari fakta ini, banyak ahli agama yang menyimpulkan bahwa shalat, yang merupakan tiang agama dan amal yang paling dahulu dihisab, memang harus disempurnakan dengan zakat. Shalat seseorang akan dinilai tidak sempurna apabila tidak diikuti dengan kewajuban membayar zakat. Demikian juga keimanan. Iman kepada Allah tidak akan dianggap sempurna, bahkan mungkin tidak akan dianggap, apabila tidak diikuti dengan perbuatan mulia (amal shalih).
Shalat sebagai ibadah yang berdimensi vertikal harus diikuti dengan ibadah zakat yang berdimensi soaial. Iman yang bersifat sangat personal dan rahasia harus diwujudkan secara nyata dengan perbuatan baik (amal shalih).
Selain itu, di dalam fiqih Islam juga dikenal istilah fardlu kifayah, yang diterjemahkan sebagai suatu kewajiban yang dibebankan kepada seluruh warga masyarakat yang apabila sudah dilakukan oleh salah seorang warganya, kewajiban itu dianggap gugur dan semua umat Islam tidak lagi dinilai berdosa. Namun, apabila tidak ada yang melakukan kewajiban itu, maka semua umat Islam dikenakan dosa yang sama.
Adanya pranata Fardlu yang disebut sebagai fardlu kifayah ini, pada dasarnya, adalah untuk memupuk jiwa solidaritas umat Islam agar lebih peka pada lingkungan sosialnya. Misalnya, dalam soal pengurusan jenazah orang yang beragama Islam. Namun, sebenarnya tidak hanya pengurusan jenasah yang dihukumi sebagai fardlu kifayah. Misalnya, sebagaimana yang dicontohkan di atas atau peristiwa yang lebih ringan seperti ini. Ada seorang anak cerdas dan giat belajar, namun harus keluar dari sekolah atau tidak dapat melanjutkan pendidikannya karena kemiskinan orang-tuanya. Namun, dia tidak mendapati satu orang pun dari umat Islam yang bersedia membantunya agar si anak tidak dikeluarkan dari sekolahnya. Padahal, orangtuanya sudah pusing mencari bantuan dan pinjaman. Maka, sangat dimungkinkan semua umat Islam di seluruh dunia harus menanggung dosa dari pengabaian ini.
Isngadi Marwah Atmadja, Catatan Bulan Suci, Kumpulan Bahan Kultum Ramadhan