Pendidikan Profetik Ala Kuntowijoyo
Oleh: Faiz Amanatullah
“Sejatinya yang bisa dan berkontribusi besar dalam membangun peradaban adalah ilmu pengetahuan yang mengakar dan tumbuh, bukan kekuasaan yang dijadikan sebagai modal untuk berserikat”
Maraknya tawuran di kalangan pelajar, pergaulan bebas, narkoba serta perbuatan negatif lainnya. Hal itu merupakan bukti bahwa pendidikan nasional belum mampu untuk menjawab tantangan bangsa. Belum lagi ditambah dengan arus globalisasi yang menyebar melalui media, khsusunya handpone yang sering diakses oleh kalangan pelajar, tidak dapat dipungkiri bahwa hal tersebut dapat mempengaruhi tipologi kaum millenial yang terdampak westernisasi.
Pendidikan yang pada hakikatnya tidak hanya memberikan nilai pengetahuan (transfer of knowledge) tetapi disisi lain pendidikan harus mampu untuk melakukan penanaman nilai (transfer of value), nilai yang menjadi sesuatu dihargai, diinginkan bahkan dihormati, karena hal tersebut dapat menjadikan seseorang bermartabat bagi siapapun yang menghayatinya. Terutama krisis akhlak yang terjadi dewasa ini dikalangan pemuda.
Justru pendidikan Islam yang terjadi di Indonesia belakangan ini masih terfokus pada pengasahan keahlian masing-masing siswa, muaranya pendidikan menjadikan anak hanya menjadi pribadi yang pragmatis. Padahal tujuan dari pendidikan Islam itu sendiri berupaya menciptakan nalar kritis berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah pada siswanya, sejatinya seorang muslim adalah mereka yang tidak hanya mampu membaca keadaan namun mereka juga mampu mengubah keadaan tersebut dengan etos perjuangan Islam.
Penulis yang mengenyam pendidikan di Muhammadiyah, melihat bahwa sebagian besar siswanya memiliki tingkat emansipatoris yang tinggi terhadap kaum menangah ke bawah karena hal tersebut ditanam melalui transofrmasi sosial dalam surat Al-Ma’un dengan fokus pemberdayaan pangan terhadap mereka yang membutuhkan.
Belum lagi ditambah dengan kualitas guru pendidikan Islam yang gagap dalam memberikan materi ajaran, bahkan mereka hanya menyampaikan materi hanya yang tertera di buku saja. Secara tidak sadar, perilaku seperti ini hanya menjadikan siswa mengangguk dengan apa yang dikatakan oleh guru, seorang guru juga jarang sekali yang membuka ruang untuk diskusi ataupun dorongan untuk berani beropini agar mampu untuk meningkatkan kuriositas peserta didik
Perihal gagasan tentang transformasi sosial (termasuk bidang pendidikan), penulis terinspirasi oleh buku -Muslim Tanpa Masjid- karangan Prof Kuntowijoyo. Beliau terkenal dengan gagasannya yaitu Ilmu Sosial Profetik yang mempunyai cita-cita bahwa ummat Islam tidak hanya mampu untuk membaca realitas, namun mereka juga mampu untuk mengubah keadaan. Islam yang dikenal sebagai agama yang konservatif oleh kalangan umum, karena hanya memperdebatkan hal yang halal dan haram, bahkan saling mengkafirkan. Inilah yang menjadi keresahan Kuntowijoyo, sehingga dalam pergerakan Muslim pun beliau menawarkan gerakan objektifikasi Islam.
Jadi seorang Muslim ketika melakukan dakwah terhadap publik, khsusnya yang memiliki banyak penganut agama non-Muslim, ia harus mengobjektifikasi istilah Islam agar mampu merangkul publik dengan narasi Islam yang bersifat umum atau universal.
Beliau juga menginisiasi teori Ilmu Sosial Profetik di Indonesia, yang mempunyai makna ilmu kehidupan sosial yang berdasarkan kehidupan Nabi. Berasal dari surat Al-Imron ayat 110, Kuntowijoyo merumuskan menjadi 3 point, yaitu Amar Ma’ruf (Humanisasi), Nahi Mungkar (Liberasi) dan Tu’minunabillah (Transendensi).
Wacana profetik Prof Kuntowijoyo mencoba hadir ditengah-tengah persoalan sosial kebangsaan. Melalalui pilar humanisasi, liberasi dan transendensinya, wacana profetik diharapkan mampu menjadi solusi kompleksnya persoalan ummat dan bangsa, persis seperti kehadiran Nabi kala membangun peradaban etik di makkah dan madinah, yakni menciptakan keseimbangan sinergis antara jasmaniah dan rohani, keseimbangan antara posisi manusia sebagai khalifah sekaligus sebagai hamba Tuhan di muka bumi.
Pada lembaga pendidikan Islam, nilai pendidikan profetik secara tidak langsung pada dasarnya telah diterapkan, hanya saja metode pendidikan yang dipakai kerap memenjarakan peserta didik pada kualitas kognisi saja, bukan pada pemahaman Islam yang paripurna. Muaranya tentu siswa tidak terbentuk sebagai pribadi muslim yang utuh, parsial dan tidak adaptif dengan perkembangan zaman, tentu efek yang ditimbulkan ialah ketidakmampuan intelektual muslim dalam upaya transformasi sosial atau hanya mampu untuk membaca realitas sosial saja, agama terpenjara di masjid, ia tak bebas di ruang publik mengadakan perbaikan.
Persoalan ini ditambah dengan kualitas para guru yang tidak mampu “memahamkan” siswa mengenai agama secara koheren. Tentu kritik Prof Kuntowijoyo ini mesti diberikan pada lembaga pendidikan Islam, khususnya pesantren, harusnya pesantren mampu menghasilkan produk manusia muslim yang sadar akan perannya sebagai pelaku perubahan sosial /transformasi sosial (khalifah).
Pilar Profetik Prof Kuntowijoyo
Tiga pilar profetik yang dirumuskan oleh Prof Kuntowijoyo dari surat Al-Imron ayat 110, ada 3 pilar utama, yakni:
Pertama, Amar ma’ruf (humanisasi). Dalam konsep ini, amar ma’ruf dihadirkan agar manusia dapat perlakukan sebagaimana dirinya sebagai manusia, manusia yang berakal dan berperasaan. Dalam dialog sejarah kita bisa melihat kembali betapa Nabi mendakwahkan Islam dengan kalimat yang santun, komunikatif dan tidak intimidatif, beliau benar-benar memandang orang lain sebagai manusia dan memperlakukannnya jua sebagai manusia. Perilaku-perilaku yang tidak manusiawi (dehumanisasi) menjadi tugas Nabi untuk mengentaskannya secara perlahan tanpa melukai nilai kemanusiaan itu sendiri.
Kedua, nahi munkar (Liberasi). Liberasi adalah proses pembebasan dari kebodohan, kemiskinan, ataupun penindasan. Pembebasan disini menurut Prof Kuntowijoyo tentu memiliki keluasan makna, seorang pendidik bertugas membebaskan peserta didik dalam “ketidaktahuannya”, kamandegan dan kehidupannya yang statis melalui metode pendidikan yang tidak memaksakan.
Saya sendiri berpendapat bahwa tugas pendidikan jua adalah membebaskan peserta didik dalam pandangan agama yang teramat tekstual. Tentu upaya yang harus dilakukan adalah bagaimana merelevansikan teks-teks Al-Quran dalam realitas kehidupan peserta didik. Artinya, menurut penulis “memenjara” peserta didik dalam pemahaman tekstual akan menjadikannya beku dalam menelaah keadaan sosial.
Ketiga adalah tu’minuna billah (Transendensi). Dalam Q.S Al-Imran : 103, Allah menegaskan kepada manusia untuk berpegang teguh pada (agama) Allah serta tidak bercerai berai. Dalam hal ini, seorang muslim harus mampu menyelami kedalaman Tauhid, mendekatkan diri dengan Tuhan sebagai proses transendensi, ikatan bersama Tuhan inilah yang memberikan motivasi dan energi pada manusia untuk mengarungi proses sejarah.
Iman yang mendasar dalam dirinya seorang manusia akan menjadikannya sadar akan esensi keberadaan dirinya. Dalam praksis pembelajaran, pendidik dalam hal ini diharapkan mampu meningkatkan nilai tauhid peserta didik.
Melalui bidang pendidikan yang masif, akan terbentuk manusia yang sadar betul akan kehadirannya di muka bumi. Kalau kata Buya HAMKA “Kalau hidup sekedar hidup, babi di hutan juga hidup. Kalau bekerja sekedar bekerja, kera juga bekerja”. Tinggal anda pilih mau jadi manusia atau anu.
Kualitas Pendidikan dan ilmu pengetahuan yang ada di suatu negara, akan memperngaruhi kapasitas otak masyarakatnya. Namun sayangnya, jahatnya pendidikan di Indonesia adalah ketika setiap siswa tidak bisa yakin bahwa dia mempunyai kemampuan berbeda dengan siswa yang lainnya, dan hal ini tidak lain dan tidak bukan dikarenakan oleh sistem pendidikan Indonesia yang memaksakan peserta didika agar mempunyai kecerdasan yang kolektik dan terkesan memaksakan peserta didik untuk melahap segala macam pelajaran.
Ada sebuah cerita yang mungkin ini bisa menggambarkan keadaan sistem pendidikan di Indonesia.
“Dahulu ada seorang raja si sebuah negara. Di setiap malamnya dia memberi kesempatan kepada rakyatnya untuk tidur di kasur atau tempat tidur raja tersebut, ketika seseorang yang tidur di kasurnya dan tinggi badannya melebih panjang kasur tersebut, maka kaki orang tersebut di potong, agar badannya sejajar dengan kasur si raja itu. Kemudian, apabila terdapat orang yang tidur di kasur tersebut, namun badannya lebih pendek dari kasur itu, maka raja itu akan menarik badan orang itu hingga badannya sejajar dengan kasur”. Begitulah kiranya pendidikan di Indonesia, ingin mencerdaskan anak bangsa, namun dengan ukurannya sendiri.
Faiz Amanatullah, Kepala Divisi Keilmuan & Keagamaan BEM FAI UMY