Ramadhan Bersama Kiai Dahlan: Pelajaran Pertama

Oleh: M Husnaini

 “Kita, manusia ini, hidup di dunia hanya sekali untuk bertaruh: sesudah mati, akan mendapat kebahagiaankah atau kesengsaraan?”

Inilah pelajaran pertama dari 7 Falsafah Ajaran KH Ahmad Dahlan yang dicatat KRH Hadjid. Selama enam tahun sejak 1916 berguru kepada KH Ahmad Dahlan, KRH Hadjid dikenal rajin mencatat petuah-petuah kiai berjuluk Sang Pencerah tersebut.

Menurut KRH Hadjid yang telah terpikat dengan sosok KH Ahmad Dahlan dan kemudian masuk Muhammadiyah sejak berumur 19 tahun, kesulitan yang timbul dalam masyarakat umum dan dunia internasional akan teratasi dengan mengamalkan 7 Falsafah Ajaran KH Ahmad yang akan kita ulas secara berseri dalam tulisan ini.

KH Ahmad Dahlan (1868-1923) yang merupakan pendiri Persyarikatan Muhammadiyah, di mata KRH Hadjid, memang istimewa. Selain memiliki kecerdasan untuk memahami kitab-kitab yang sukar dipahami, juga memiliki ketakutan luar biasa terhadap berita besar seputar hari berbangkit sebagaimana disampaikan Al-Qur’an dalam surah An-Naba’/78.

Pelajaran yang kita kutip di awal tulisan, sebagaimana juga sikap dan nasihat-nasihat KH Ahmad Dahlan lainnya, merupakan cerminan ketakutan tersebut. KH Ahmad Dahlan, menurut ilmuwan Jawa Prof Raden Mas Ngabehi Poerbatjaraka, adalah sosok ulama besar yang sifat takabur tidak ada pada dirinya, dan sebab itulah Muhammadiyah menjadi besar (Mulkhan, 2010).

Alimin, aktivis PKI yang berteman sangat dekat dengan KH Ahmad Dahlan, bersaksi bahwa kiai orangnya jujur dan saleh, hidupnya sederhana dan tidak sombong, tidak pula suka mencela orang (Mulkhan, 2010).  

Ya, KH Ahmad Dahlan memang bukan tipe ulama dunia. Kebersihan hati senantiasa dijaga, karena bayangan kematian tidak sejenak jua beranjak dari ruang batinnya. Di dekat meja tulis KH Ahmad Dahlan, terdapat papan tulis tertera peringatan dalam bahasa Arab yang terjemahan bebasnya kira-kira begini: “Wahai Dahlan, sungguh di depanmu ada bahaya besar dan peristiwa-peristiwa yang akan mengejutkanmu, dan pasti harus engkau lewati. Mungkin engkau mampu melewatinya dengan selamat, tetapi mungkin juga engkau akan binasa karenanya. Wahai Dahlan, coba engkau bayangkan seolah-olah engkau berada seorang diri bersama Allah, sedangkan engkau menghadapi kematian, pengadilan, hisab, surga, dan neraka. Dan dari sekalian yang engkau hadapi itu, renungkanlah apa yang terdekat kepadamu, dan tinggalkanlah lainnya.”

Ingat mati bukan saja penting, melainkan titah agama. Bey Arifin menulis buku “Hidup Sesudah Mati” (Zahira, 2014). Dalam buku best seller setebal 652 halaman itu, Bey Arifin mengawali bab dengan menyatakan bahwa tujuan pokok diutusnya para nabi dan rasul serta diturunkannya kitab-kitab suci oleh Allah adalah untuk dua perkara. Pertama, menerangkan kepada manusia tentang keesaan Allah. Kedua, menjelaskan bahwa hidup di dunia ini hanya sementara dan masih ada hidup setelahnya yang kekal dan abadi disertai pembalasan atas segala perbuatan baik dan buruk.

Selanjutnya, Bey Arifin menuturkan bahwa kepercayaan-kepercayaan yang diajarkan Islam ada banyak sekali, tetapi yang paling penting adalah enam kepercayaan yang dikenal dengan rukun iman. Rukun iman, seperti kita tahu, terdiri dari (1) percaya kepada Allah, (2) malaikat, (3) nabi dan rasul, (4) kitab-kitab, (5) hari akhirat, dan (6) qadha dan qadar. Dari enam rukun iman itu, tutur Bey Arifin, perkara yang paling pokok ialah rukun iman yang nomor satu (percaya kepada Allah) dan nomor lima (percaya kepada hari akhirat).

Betapa rugi manusia apabila hidup di dunia yang sebentar ini untuk senang-senang sementara hidup di akhirat yang selamanya justru sengsara dan menderita. Tepat sekali nasihat KH Ahmad Dahlan berbunyi, “Lengah, kalau sampai telanjur terus-menerus lengah, tentu akan sengsara di dunia dan akhirat. Maka dari itu jangan sampai lengah. Kita harus berhati-hati. Sedangkan orang yang mencari kemuliaan di dunia saja, kalau hanya seenaknya, tidak bersungguh-sungguh, tidak akan berhasil. Apalagi mencari keselamatan dan kemuliaan di akhirat. Kalau hanya seenaknya, sungguh tidak akan berhasil.”

Nasihat tersebut, menurut KRH Hadjid, disampaikan KH Ahmad Dahlan ketika teman-temannya sedang berkumpul. Dalam kesempatan lain, KH Ahmad Dahlan pernah pula memberikan fatwa, “Bermacam-macam corak ragamnya mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan soal agama. Tetapi tidak ada satu pun yang mengajukan pertanyaan demikian: Harus bagaimanakah supaya diriku selamat dari api neraka? Harus mengerjakan perintah apa? Beramal apa? Menjauhi dan meninggalkan apa?”

Fatwa KH Ahmad Dahlan barusan sangat penting dan relevan direnungkan hingga hari ini. Ada kecenderungan kuat orang semangat mendalami agama bukan untuk diamalkan. Perkembangan zaman, terutama di era medsos seperti sekarang, membuktikan bahwa orang ingin tahu ini dan itu sering hanya untuk koleksi pengetahuan semata. Akibatnya, antara ilmu dan amal kerap tidak sejalan.

Lebih sedih lagi, orang berburu dalil dan dalih agama hanya untuk menyalahkan pihak lain yang dianggap tidak sepaham. Indikasi-indikasi keburukan yang banyak dalam Al-Qur’an dan hadis, seperti ciri-ciri orang munafik, tanda-tanda orang fasik, dan semisalnya tidak digunakan sebagai bahan introspeksi, melainkan dipakai mengoreksi orang lain untuk kemudian dihantam dengan aneka stigma.

Jangan dikira perilaku demikian hanya milik umat awam. Yang terbilang tokoh dan panutan juga setali tiga uang. Ketika berbicara di depan publik menyampaikan pesan-pesan agama, misalnya, bumbunya adalah gibah dan ujaran kebencian, bahkan tidak jarang fitnah. Padahal, menyerukan kebaikan dengan cara-cara keras, kasar, dan menyakitkan semacam itu bagaikan menggantang asap.

Tidak salah apabila sering dikatakan bahwa tantangan dunia Islam adalah perilaku hidup Islami. Dalam arti, Islam begitu indah dalam ajaran tetapi mengecewakan dalam kenyataan. Wasiat KH Ahmad Dahlan mendorong kita untuk keras dan teliti terhadap kekurangan diri sendiri namun toleran dan memaafkan terhadap kekurangan orang lain. Hidup di dunia sekali untuk bertaruh: sesudah mati, apakah kita masuk surga atau neraka?

Exit mobile version