Rokhmani
Dalam Persyarikan Muhammadiyah siapa pun yang mendapat amanah memimpin organisasi disebut pimpinan. Pimpinan dipilih melalui proses demokratis yang dilaksanakan secara berjenjang. Pimpinan bersifat kolektif kolegial. Ketua dan sekretaris sebagai simbol pimpinan tertinggi di semua tingkatan ditentukan dalam sidang formatur. Pimpinan yang mendapat suara tertinggi dalam musyawarah belum tentu terpilih sebagai ketua atau sekretaris.
Untuk menjadi pimpinan di kalangan Muhammadiyah tidak ada istilah mencalonkan diri. Pimpinan yang mendapat amanah adalah orang-orang terpilih dan terseleksi di masing-masing tingkatan. Dari musyawarah ranting, musyawarah cabang, musyawarah daerah, musyawarah wilayah, hingga muktamar di tingkat pusat, tidak dikenal dukung mendukung untuk calon pimpinan.
Maka, melalui proses pemilihan yang demokratis itu seharusnya di kalangan Muhammadiyah pimpinan mempunyai legitimasi kuat di kalangan warga. Umat mestinya taat dengan keputusan pimpinan. Baik keputusan itu berupa maklumat, fatwa, instruksi, tuntunan, atau apa pun namanya. Umat mestinya sami’na wa ato’na.
Saat ini dalam menghadapi wabah covid-19, seharusnya semua umat Islam taat pimpinan. Maklumat penundaan Shalat Jumat yang dikeluarkan Muhammadiyah maupun Fatma MUI sudah dikaji secara komprehensif demi kemaslahatan yang lebih besar.
Terkhusus bagi warga Muhammadiyah, PP Muhammadiyah telah menerbitkan Tuntunan Ibadah dalam Kondisi Darurat Covid-19. Dengan tuntunan ini seharusnya umat satu barisan, taat dan disiplin sebagai jamaah atau warga persyarikatan. Tidak ada lagi fatwa individu atau pimpinan tingkat bawah yang menyelisihi kebijakan pusat. Semua harus satu komando demi kemaslahatan bersama.
Namun kenyataannya masih dijumpai cabang / ranting berselisih tentang maklumat pimpinan pusat itu. Misalnya, ada takmir masjid di salah satu cabang / ranting yang bersitegang tentang pelaksanaan shalat jumat dan shalat fardhu berjamaah di masjid. Karena tidak ada titik temu, sampai ada ketua takmir mutung dan mengundurkan diri. Ada juga takmir masjid yang sudah memutuskan tidak menggelar jumatan di masjid, tetapi jamaahnya melaksanakan jumatan di mushala.
Fenomena tersebut terjadi di beberapa cabang dan ranting. Seharusnya peristiwa di atas tidak perlu terjadi jika semua taat pimpinan. Kondisi ini merupakan ujian terberat bagi pimpinan dan kader dakwah khususnya di tingkat cabang dan ranting yang berhadapan langsung dengat umat. Bagamana mereka mampu mengemas dakwah yang mencerahkan sekaligus menggembirakan di tengah wabah.
Seperti disampaikan oleh Ketua Majelis Tablig PP Muhammadiyah Fathurahman Kamal, Dakwah itu Menyelamatkan Jiwa Manusia. “Menjalani hari-hari penuh cobaan ini, sungguh suatu kemulian bagi para da’i mubaligh/aktivis dakwah untuk lebih berempati dan menebarkan kasih sayang kepada umat. Pegang teguh, dan wujudkan secara konkret di tengah-tengah penderitaan umat prinsip; “yassiru wa la tu’assiru (mudahkanlah, jangan mempersulit), basyiru wa la tunaffiru (gembirakanlah, jangan membuat antipati),” tegasnya.
Lebih lanjut Fathurahman Kamal menegaskan, “Kemungkinan adanya kesalahan ijtihad dalam keadaan darurat namun menyelamatkan jiwa manusia sungguh lebih baik dan lebih utama daripada mengaku-ngaku kebenaran tetapi mengorbankan jiwa manusia.”
Maka, ketika kita mempunyai pimpinan namun dalam memutuskan suatu perkara masih bertindak sendiri-sendiri, lantas apa arti berorganisasi? Bermuhammadiyah itu berorganisasi. Kini saatnya membuktikan ketaatan kepada kita kepada pimpinan. Korona harus dilawan dengan kekompakkan, bukan dengan cara sendiri-sendiri. Wallahu’alam.
Rokhmani, S.Pd, Sekretaris Pimpinan Cabang Muhammadiyah Wanayasa, Banjarnegara, Jawa Tengah