Cerpen Oleh: Putri Ambarwati
Saat itu ada seorang lelaki yang berusaha mendekati Ati. Tapi ia tak menghiraukannya, karena tau maksud dari segala tingkah lelaki itu. Ibu Ati dan Bapak Ridwan selalu menjodoh-jodohkan Ati dengan lelaki yang dikenalnya. Lelaki itu bernama Dimas. Mereka tak pernah tau bahwa hati anak gadisnya ini sudah ditawan oleh hati lelaki lain rupanya. Sudah empat tahun lamanya ia menyimpan rasa pada seorang lelaki yang juga dekat dengan Ibunya itu. Namun, apalah daya seorang perempuan, ia tak berani mengatakannya dan hanya bisa menyimpannya dalam diam tanpa suara.
“Dimas itu anak yang baik. Sabar. Gak banyak maunya. Ramah dan mudah bergaul. Dia ingin mengenalmu lebih jauh. Menjadi teman dekatmu.” Ucap Ibu pada Ati sambil membangga-banggakan Dimas di depannya.
“Kami sudah saling mengenal bu, kami pun sudah saling berteman baik. Menurutku belum saatnya untuk mengenal seorang lelaki lebih dekat dari biasanya. Semua masih membutuhkan batasan. Dan juga waktu.” Balas Ati datar pada pernyataan ibu.
“Kamu sudah cukup umur. Sebentar lagi kuliahnya selesai. Sudah saatnya untuk membuka hati dan tidak berdiam diri seperti ini.” Kata ibu pada Ati yang khawatir jika putrinya nanti menikah di umur yang tak lagi muda.
“Aku masih perlu waktu untuk berpikir bu. Beri aku waktu untuk mempertimbangkannya.” Jelas Ati pada Ibunya.
Nyatanya saat itu hatinya sedang berkecamuk. Hati yang sedang berperang dengan pikirannya. Ia berpikir keras bahwa bagaimana mungkin ia menerima dan menjalin hubungan dengan seorang lelaki yang kenyataannya juga disukai oleh teman dekatnya, Ratih. Ia bisa saja membuka hatinya pada Dimas, akan tetapi hal itu merupakan pantangan baginya, ia tak bisa menjatuhkan hati pada seseorang yang telah disukai sahabatnya itu. Teman macam apa namanya yang tega bersenang-senang di atas air mata sahabatnya. Lagi pula, rasa memang tidak bisa dipaksa. Nyatanya ada orang lain yang telah mendiami hati Ati terlampau lama.
—
Iya, dia adalah seorang lelaki yang telah lama ia kagumi dalam diam. Namanya Ridwan. Lebih tepatnya ia memanggil dirinya dengan sebutan Mas Ridwan. Seorang lelaki yang dua tahun lebih dewasa darinya. Ia tinggal dengan bapaknya yang bersebelahan dengan rumah baru Ati. Anggap saja tetangga dan memang begitulah. Ati sudah sangat dekat dengan Ridwan sejak hari pertama ia pindah. Saat itu Ridwan membantu Ibu Ati untuk memasukkan barang-barang ke dalam rumah. Bagi kedua orang tuanya, mereka sudah seperti sepasang kakak adik. Saling menjaga satu sama lain, melindungi, dan berbagi rasa sakit. Padahal ada rasa yang berbeda di hati salah satu antara mereka, Ati. Tapi lagi-lagi tidak ada yang menyadari bahwa rasa itu mulai tumbuh di antara mereka. Rasa yang tak biasa.
Mereka telah banyak menghabiskan waktu bersama. Ati pikir, dia adalah satu-satunya perempuan yang dekat dengan Ridwan dan tau segala hal tentangnya. Kenyataannya tidak. Tanpa Ati ketahui, Ridwan sudah lama menjalin hubungan istimewa dengan perempuan lain (baca: pacar). Ati yang mengetahui hal itu seketika terkejut, tak menyangka bahwa Ridwan yang ia kenal sebagai seorang lelaki religius, akan memilih jalan pacaran untuk menentukan pasangan hidupnya. Selama mengenal Ridwan, Ati tau betul bahwa dia bukan tipekal lelaki yang seperti itu.
“Jadi mas sudah resmi menjalin hubungan dengan perempuan itu? Sejak kapan?” tanya Ati penasaran.
“Ah itu sudah lama. Setahun sebelum kamu pindah ke tempat ini.” Jawab Ridwan santai.
“Aku pikir mas beda dengan lelaki lainnya. Mau menjaga diri dan gak mau pacaran sebelum akad.” Balas Ati dengan nada sinis.
“Hehhhh aku gak sepolos itu juga kali. Aku juga normal, aku ini laki-laki. Gapapa dong kalau aku suka sama cewek. Kamu kenapa sih tiba-tiba sensi gitu? Lagi PMS ya Ti?” Jawabnya sambil bertanya balik sekaligus bermaksud menggoda Ati.
“Cinta sih cinta mas. Tapi cara mas mengekspresikan cinta itu sendiri yang salah. Dan Ati gak suka itu.” Balas Ati dengan sedikit nada sinis menandakan ketidaksukaannya.
“Hayoo gak suka atau kamunya aja ya yang cemburu nih? Takut nanti gak punya teman main lagi kalau aku udah punya pasangan? Hahahahaha.” goda Ridwan sambil tertawa memperlihatkan giginya yang berjejer rapi.
“Enggak sih. Biasa aja. Bukan hal itu yang aku permasalahkan mas. Aku kecewa aja sama mas. Mas sudah banyak datang ke berbagai kajian di kota ini kan? Mas tau kan gimana hukumnya pacaran dalam Islam? Zina mas. Zina! Masih ingat makna dalam surat Al-Isra’ ayat 32? Allah gak suka perbuatan itu mas.” Papar Ati dengan raut muka yang tak mengenakkan.
“Aku tau kok. Tapi kamu gak tau kan kalau gaya pacaranku beda dari yang lain? Kita tau batasan dan mas bisa jaga diri.” Balas Ridwan membela diri dengan mengelak nasihat Ati.
“Emang ya kalau nasehatin orang yang lagi menderita penyakit ‘isyq (jatuh cinta) kayak gini. Rasanya seperti menyorot cahaya ke depan cermin. Sekeras apapun kita nyorotin cahaya ke cermin itu, pasti cahayanya mantul lagi dan lagi. Gak akan pernah bisa nembus cermin itu. Ati sayang sama mas. Mas sudah Ati anggap seperti abang Ati sendiri. Seorang adik yang sayang sama abangnya, gak bakalan diem aja disaat ngeliat abangnya di jalan yang salah.” Ungkap Ati dengan hati teriris karena cemburu, kecewa, dan sakit hati.
“Lalu selama ini kemana aja ilmu yang udah mas dapetin dari kajian-kajian yang mas datengin di masjid-masjid itu? Ilang gitu aja? Atau mas timbun di dalam tumpukan buku-buku mas itu? Allah gak menghukum orang yang gak tau mas, tapi Allah gak suka sama orang yang gak mau tau. Apalagi sama orang yang udah tau, tapi dia berpura-pura gak tau. Aku gak mau Allah marah dan menegur mas secara langsung. Lebih baik Ati yang bertindak lebih dulu.” Lanjutnya. Kali ini Ati tenggelam dalam kemarahan dan kekecewaan yang teramat dalam. Sedalam rasa cinta dan sakitnya yang terpendam selama ini.
“Cukup Ati. Aku gak suka kamu yang ngegas kek gini. Aku gak suka kamu sok nasehatin aku kayak gini. Oke aku akui kalau aku emang cowok yang gak baik. Terus kenapa kamu mau bertahan temenan sama cowok yang gak baik kek aku gini?” Bentak Ridwan tak terima dengan cara penyampaian Ati yang seperti itu.
“Maaf mas, Ati tak bermaksud seperti itu.” Ucap Ati dengan suara parau, mencoba menahan air matanya agar tidak jatuh di pipinya.
Pertemuan sore itu adalah pertemuan yang berbeda dari biasanya. Dengan suasana tegang dan tak secerah seperti hari-hari kemarin. Hujan dan bunga mawar putih menjadi saksi bisu perdebatan mereka di teras rumah Ridwan. Hujan yang mendinginkan suasana, lantas tak dapat mendinginkan hati mereka berdua yang kian memanas. Ada dua tatap yang beradu seakan mengedepankan ego masing-masing. Lalu panggilan bapak Ridwan menghentikan lamunan sekaligus menutup pembicaraan di antara mereka yang saat itu tak kunjung dingin.
“Ridwan… Ati… Ayo masuk ke rumah. Bapak buatin salad buah kesukaan kalian. Cepat kesini!” Panggil bapak Ridwan dari dalam rumah.
“Iya pak bentar lagi.” Balas Ridwan untuk mengiyakan panggilan bapaknya.
“Ayo masuk.” Ajak Ridwan kepada Ati.
(mereka berdua pun masuk ke dalam rumah)
“Nah… ini nih salad buah kesukaan kalian. Ayo dimakan. Jangan rebutan seperti biasanya, kayak kucing sama tikus aja, kerjaannya tengkar terus.” Kata Bapak pada mereka berdua.
“Apaan sih pak.” Sanggah Ridwan sambil mengambil mangkok untuk tempat salad.
“Oh iya gimana Ati kelanjutannya kamu sama Dimas?” tanya bapak.
“Biasa aja sih pak.” Jawab Ati datar.
“Sebenarnya kamu kenapa sih nduk kok banyak nolak cowok-cowok yang mau kenalan sama kamu? Kamu loh sebentar lagi lulus, embok yo sambil nyari. Perempuan itu gak baik kalau menunggu terlalu lama. Emmm, jangan bilang kalau kamu sebenarnya takut jatuh cinta terus takut patah hati ya?” tanya bapak Ridwan mencoba menggali informasi agar Ati sedikit terbuka padanya. Namun, Ati hanya bisa tersenyum datar mendengar ucapan itu.
“Saya tau saya berasal dari keluarga yang tidak utuh. Tapi bukan karena itu alasan saya menolak banyak lelaki yang datang mengetuk pintu. Saya ingin menjadikan suami saya sebagai lelaki satu-satunya yang berhak menerima cinta dari saya seutuhnya pak. Saya tidak ingin jatuh cinta sebelum waktunya, jika hari ini saya mencintai seseorang dan menjalin hubungan dengannya. Lalu ternyata kita tak berjodoh. Lantas apa yang akan suami saya dapatkan? Saya tak ingin dia hanya mendapatkan raga saya, namun tidak dengan hati saya. Padahal, ia sudah berani memikul tanggung jawab atas perempuan asing yang baru ia kenal ini. Jadi itulah mengapa saya tak ingin dekat-dekat dengan para kaum adam untuk menetralisasi rasa agar tidak mudah jatuh ke lain hati yang tak pasti. Saya hanya menunggu ia yang benar-benar siap memperjuangkan saya. Bukan hanya dengan kata tapi juga dengan aksi nyata.” Jelas Ati panjang kali lebar kepada bapak. Hal itu seakan tamparan keras yang ia tujukan kepada Ridwan.
“Tapi ingat! Mengenal itu juga penting. Bukan asal pilih saja loh ya.” Balas lelaki separuh baya itu.
“Maksud bapak mengenal seseorang melalui jalan pacaran?” perjelas gadis itu.
Lelaki itu mengangguk sambil memakan buah salad di depannya.
“Subhanallah. Tidak pak. Selamanya saya tidak mau menggunakan cara yang namanya pacaran itu.” Tegas Ati
“Hush… jangan ngomong seperti itu. Pacaran itu penting untuk mengenal seseorang. Asal ya tau batasannya, jangan sampek kebablas. Biasa aja.” Bantah lelaki itu.
“Perkenalan tidak harus dengan cara seperti itu. Islam tidak mengajarkan hal itu. Masih ada cara lain yang lebih baik dari itu, taaruh misalnya. Ini masalah prinsip yang sudah lama saya pegang sejak tau bagaimana hukumnya dalam Islam. Saya yakin aja pak. Kuncinya percaya dan yakin sama Allah. Perempuan baik akan dijemput dengan cara yang baik. Dan laki-laki baik akan menjemput perempuannya dengan cara yang baik. Saya hanya ingin menjadi salah satu dari perempuan baik itu dan saya juga ingin suami saya termasuk salah satu dari lelaki baik itu. Kita tidak bisa memilih akan dicintai oleh siapa. Tapi kita bisa memilih ingin dijemput dengan cara yang bagaimana, cara yang Allah ridhoi kah atau yang Allah murkai? ” Tegas gadis itu dengan sorot mata yang berbinar-binar.
“Baiklah kalau maumu seperti itu. Berarti bapak sudah mendapat kepastian ya kalau kamu sudah menolak Dimas?” tanya bapak ingin memastikan jawaban Ati.
“Bukan karena saya tidak suka pada Dimas pak. Saya hanya merasa kalau saya dan Dimas memang tidak memiliki visi misi yang sama. Saya tidak menemukan kecocokan saat bersamanya. Sampaikan permintaan maaf Ati padanya pak. Ati hanya ingin berteman baik dengannya, tidak lebih dari itu.” Pesan Ati kepada bapak Ridwan.
“Baiklah nak.” Kata lelaki itu singkat.
“Kok…….???” potong Ridwan tak melanjutkan kalimatnya.
“Kok apa mas? Kebiasaan kalau ngomong pasti setengah-setengah.” tanya Ati penasaran sekaligus jengkel dengan tingkah Ridwan yang selalu seperti itu.
“Kok jadi ingat kata-kata Kahlil Gibran, ‘Jangan kau kira cinta datang dari keakraban yang lama dan pendekatan yang tekun. Cinta adalah anak kecocokan jiwa. Dan jika itu tidak ada, cinta tidak akan pernah tercipta dalam hitungan tahun, bahkan milenia’. Kahlil Gibran said like that. Begitulah katanya pak. Saya setuju dengan Ati kali ini.” Papar Ridwan, memperjelas kata yang terpotong tadi.
“Hahahahahhaha bisa aja kau wan… wan… tumben keluar tuh sastranya.” Ejek Bapak sambil tertawa mencairkan suasana.
Ati hanya bisa tersenyum. Seolah Ridwan tahu tentang isi hatinya dengan mendukung keputusan yang dia ambil. Saat itu ia memang sengaja memberitau tentang prinsipnya, agar ia selalu mengingat apa yang dikatakannya. Jika suatu saat ia memiliki niatan untuk melanggar, setidaknya ia akan merasa malu untuk menjilat ludahnya sendiri. Untuk jaga-jaga saja, tidak hanya malu pada manusia tapi juga merasa malu pada Tuhannya. Menurut Ati pacaran tetap saja pacaran walau orang-orang mengatakan pacaran gak ngapa-ngapain. Walau pacaran gak mengikat. Walau pacaran gak ngurusin kehidupan pasangannya masing-masing. Dan lebih mirisnya lagi banyak orang mengatasnamakan komitmen atas dasar kata lain dari pacaran.
(Lalu, kalau begitu mengapa kita harus pacaran?) Menurutnya, justru dengan ada kata embel-embel seperti itulah (sebut saja: pacaran). Maka secara tak langsung mereka itu mengikat dan memberitahu pada dunia bahwa ‘Aku milikmu, kamu milikku’ agar orang lain enggan untuk mendekati karena sudah termiliki orang lain. Sejak dulu Ati memang anti sekali dengan yang namanya pacaran. Walaupun masih banyak teman-teman terdekatnya yang memilih jalan itu, namun ia tak bisa membencinya. Daripada mengutuk kegelapan, lebih baik ia menyalakan lilin. Kenyataannya ia membenci apa yang mereka perbuat, tidak pada individunya. Tak terkecuali juga pada Ridwan, orang yang dia sukai.
“Oh iya pak. Ada yang ingin saya sampaikan sebenarnya ke bapak sama mas. Saya besok akan berangkat ke Yogyakarta untuk melanjutkan studi saya S2. Alhamdulillah saya mendapatkan rezeki melalui jalur beasiswa. Jadi tidak akan menyusahkan Ibu di sini. Saya ke sini mau pamitan sekaligus mau meminta tolong supaya mas dan bapak membantu menjaga ibu di sini. Kalau misal terjadi sesuatu, saya minta tolong segera hubungi saya ya pak.” Ucap Ati dengan senyuman manisnya namun tak juga dapat menutupi raut wajah kesedihannya.
“MasyaAllah. Alhamdulillah Ati, bapak turut seneng ngedengarnya.” Kata bapak seolah turut merasakan kebahagiaan yang Ati rasakan.
“Apa? Kamu mau ke Yogya? Kenapa kamu baru ngasi tau aku?” balas Ridwan terkejut.
“Bagaimana bisa aku memberitahumu? Sementara kita sejak tadi bertengkar dengan mengedepankan ego masing-masing.” Jawab Ati sinis.
“Maaf.” Ucap Ridwan datar.
“Ah biasa aja mas. Yasudahlah. Gak apa-apa. Kan yang penting kita tetap baikan hehehe…” balas Ati sambil menggoda Ridwan, berusaha mencairkan suasana.
Keesokan harinya Ati pun berangkat ke Yogya. Awalnya ia memilih tinggal di rumah dan bekerja saja. Supaya bisa menabung dan juga menjaga Ibu di rumah. Tapi lagi-lagi ibu tidak ingin menghentikan langkah kakinya untuk menggapai mimpi, khususnya dalam hal menuntut ilmu demi meraih cita-citanya yang mulia. Terlebih lagi ketika ia tahu bahwa Ridwan sudah termiliki. Semakin pupus harapannya sejak ia tau bahwa cintanya bertepuk sebelah tangan. Rasa sakit, cemburu, kecewa, semuanya hadir saat itu juga.
Ia berharap jarak dapat mambantu dirinya untuk melupakan Ridwan. Memusnahkan segala kenangan yang telah ada. Kini ia menyerahkan segala keputusannya kepada Sang Maha Pemilik Hati, karena Dia yang menggenggam hati setiap hambanya. Karena kini tangannya tak berani bahkan tak akan mampu memeluk sosok lelaki yang dicintaiya itu. Ia hanya berani memeluk Ridwan dengan doa-doa yang ia panjatkan. Berharap tangan Tuhan memeluknya erat sebagai perantara tangan dirinya yang tak sampai.
…
Hari demi hari berlalu Ridwan lalui tanpa ada tawa ceria dan omelan yang ia dengar dari Ati. Ia kesepian, ia benar-benar merasakan kehilangan setelah ditinggalkan. Memang benar, sesuatu akan terasa berharga ketika ia telah tiada. Ia selalu berusaha mengalihkan pikirannya pada hal lain, namun lagi-lagi wajah Ati yang muncul. Ia benar-benar merindukan kehadiran sosok perempuan teduh itu. Perempuan tangkas dan berkepala batu itu tak bisa dihilangkan dari pikirannya. Semakin berusaha dihilangkan, semakin memenuhi pikirannya saja. Saat itu ia teringat tentang buku bersampul merah yang tak sengaja Ati tinggalkan di rumahnya dan ia sembunyikan di laci kamarnya.
Lalu untuk mengobati kerinduannya pada Ati, ia baca tulisan-tulisan pada buku merah itu. Perlahan Ridwan membuka setiap lembar halaman catatannya. Kisah-kisah dalam setiap coretan pena itu terasa tak asing baginya. Ia mencoba menerka-nerka dan bertanya-tanya, apakah tulisan itu membicarakan tentang dirinya? Tapi lagi-lagi ia mengelak dan melanjutkan membaca. Hingga terhenti pada suatu halaman yang membuatnya yakin bahwa setiap coretan pena itu seakan tak henti membicarakan tentang dirinya.
Pintu kenang itu tertutup rapat.
Tepat di depan sorot mataku.
Kau membukakan pintu itu kepada perempuan lain, sebelum datangnya aku.
Aku kah yang terlambat datang?
Atau pintu kenang itu tercipta memang bukan untukku.
Lalu hujan turun, tepat di atas wajah merah padam ini.
Berusaha mendinginkan hati yang sedang kalut.
Kemudian hujan menyamarkan air mata yang keluar dari kelopak mata ini.
Ia mengajakku pergi sekaligus menghapus jejak langkahku.
Agar dirimu tak tau bahwa aku pernah hadir untuk mengetuk pintu itu.
Begitulah Tuhan menyadarkan.
Untuk suatu waktu, pertemuan di antara kita.
Aku harap tangan Tuhan yang mengetukkan pintu itu untukku.
Karena raga ini, tak lagi mampu meraihmu.
…
(Dua tahun berlalu.)
Ati pun kembali pulang ke rumahnya. Namun sebelum masuk rumah. Ia mendapatkan notifikasi, pesan dari lelaki yang tak asing lagi baginya.
Ridwan : “Aku ingin kau mengetuk pintuku lagi? Pintu kenang yang telah lama tertutup rapat.”
Ati : “Untuk apa aku mengetuk pintu itu lagi? Jika di balik pintu telah ada tamu lain yang telah kau persilakan masuk lebih dulu dan padanya telah kau perlihatkan sebuah kenang yang selama ini terkunci rapat-rapat.”
Ridwan : “Aku mohon buka pintu itu. Kali ini saja.”
(Ati sudah paham bahwa yang dimaksud pintu itu adalah pintu rumah Ridwan. Ati buka pintu itu dan berjalan masuk)
Ridwan : “Apa kau melihat gelas di depanmu? Ambillah gelas itu, lalu kau tuangkan ke mangkok kecil itu.”
Ati : “Untuk apa? Bukankah sebaiknya air itu diminum. Bukan dibuang-buang.”
Ridwan : “Hehhh kau tak berubah ya ternyata selama dua tahun ini. Tetap saja keras kepala. Aku tidak menyuruhmu pun untuk membuangnya. Aku hanya memintamu untuk menuangkannya kan?”
Ati : “Baiklah.”
(Ati pun menuangkan air dari gelas itu ke dalam mangkok perlahan. Lalu di tetesan air terakhir Ati melihat cincin emas putih ikut mengalir dari dalam gelas itu)
“Akhirnya pintu kenang itu sudah benar-benar terbuka.” ucap Ridwan yang tiba-tiba muncul di hadapan Ati.
“Apa maksud mas?” tanya Ati dengan raut wajah yang bingung.
“Aku memilihmu.” Tegas Ridwan.
“Aku tidak tau apakah aku harus menangis karena terlalu bahagia atau karena luka yang terbuka kembali. Bagaimana dengan perempuanmu? Pacar mas yang selama ini?” tanya Ati tak sabar ingin tau apa yang terjadi selama dia pergi.
“Saat kamu pergi meninggalkanku. Akupun mengakhiri hubunganku dengannya. Hubungan salah yang selama ini aku jalani dan diikuti dengan cara yang salah pula. Aku tak bisa berhenti memikirkanmu. Yang ku tau, walau aku bersamanya tetap saja hatiku memilihmu. Sekeras apapun aku mencoba melupakan. Aku selalu mengingat omelanmu, tawamu, amarahmu, dan nasihatmu tentang hubungan yang salah itu. Aku selalu mengingat semuanya Ati dan aku tak menemukan perempuan lain selain dirimu yang tangguh dan berani memarahiku seperti itu di saat aku berada di jalan yang salah.” Papar Ridwan kepada Ati.
“Mas apakah aku yang menyebabkan kalian berpisah? Apa itu semua karena ku?” balas Ati karena merasa bersalah menyakiti perasaan perempuan lain yaitu pacar Ridwan.
“Ya salah satunya adalah karenamu. Tapi bukan karena aku mencintaimu. Bukan karena kamu yang merusak hubunganku dengannya. Tapi karena kesucian dan ketulusan cintamu padaku, yang mampu mengetuk pintu hati ini agar kembali ke jalan yang benar. Allah menghadirkan kamu untuk memanduku kembali ke jalan-Nya. Maka dari itu aku memintamu mengetuk pintu itu sekali lagi. Kali ini bukan hanya sekadar singgah. Tapi untuk menetap sampai jantung ini tak lagi berdetak. Oke… Rizky Rahmawati maukah kau menjadi pengingat Surgaku? Menemani suka dukaku. Menjadi saksi pertama atas luka dan rasa sakitku bahkan atas kebahagiaan yang aku raih nantinya? Bersediakah kau Ati?” Tanya Ridwan harap-harap cemas dengan jawaban Ati. Takut jika selama dua tahun ini perasaan Ati berubah terhadap dirinya.
Ati tak bisa berkata-kata lagi. Ati hanya bisa menangis. Kali ini, ia menangis bukan karena luka tapi karena ia yang terlalu bahagia. Bahagia karena rencana-Nya ternyata lebih indah. Sangat indah dari yang ia bayangkan. Keyakinan dan tawakkal yang selama ini tertanam, ternyata membuahkan cinta yang hakiki. Tak hanya cinta dari makhluknya namun juga cinta dari Sang Maha Pemilik MakhlukNya di dunia.
“Mas membaca buku merahku ya?” Tanya Ati
“Iya. Maaf.” Jawab Ridwan dengan wajah polos, takut Ati marah padanya.
“Aku harus berterima kasih pada buku merah itu. Melaluinya perasaanku jadi tersampaikan, hehehehehe. Hemmm btw, Mas aku haus. Boleh ambilkan aku minum?” pintanya.
“Lalu jawabannya?” tanya Ridwan tak sabar sudah menunggu dari tadi. Penasaran.
“Hmmm rahasia dong. Kepo ya? Ahahahahaha.” Godanya sambil tertawa dengan wajah mengejek.
-Malang, 30 Maret 2020
Putri Ambarwati, Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Muhammadiyah Malang