Saudaraku, terlalu banyak dan terlalu sering kita bicara kalau Islam adalah ajaran yang utama dan sempurna. Islam adalah rahmat bagi semesta alam, tapi mengapa di banyak kesempatan, Islam sering dianggap sebagai sumber bencana bagi sesama? Mungkin memang ada pihak lain yang menyusun rencana dan terus meyudutkan Islam. Atau barangkali itu semua karena salah paham semata. Banyak orang yang salah dan sengaja disesatkan ketika memahami Islam.
Namun, sebagai bahan refleksi dan tidak terus menyalahkan orang lain, kita semua seharusnya juga merasa patut untuk mengaku sebagai pihak yang pantas dipersalahkan sebagai pangkal kesalahpahaman ini. Kita, umat Islam ini, telah gagal menjadi duta yang mewartakan keutamaan Islam.
Pada masa dahulu, Islam sering dijadikan duta tidak resmi budaya kekumuhan dan kejorokan. Masjid yang kotor, air di bak kamar mandi yang berlumut, santri yang gudiken (kudisan), mukena yang lepek (lusuh), peci yang kumal, maupun sarung yang kucel(tidak rapi) adalah kebiasaan yang tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan sehari-hari umat Islam Indonesia.
Apakah Islam mengajarkan itu? Orang yang tidak mengenal Islam pasti akan menganggap demikian. Sebagaimana kita yang juga tidak tahu ajaran Buddha pasti mengira ajaran Buddha menyuruh pemimpin umatnya untuk gundul dan berjubah kuning. Atau malah kita mengira umat Buddha disuruh agamanya untuk berlatih silat dengan menggunakan tongkat kayu. Karena kita lihat Buddha hanya lewat film-film Shaolin.
Oleh karena tampilan mayoritas umat Islam yang kumuh dan jorok, orang lain pasti mengira Islam adalah agama yang mengajarkan semua budaya kumuh dan jorok seperti itu. Bagaimana tidak, kaum santri, kelompok umat Islam yang dianggap paling banyak mempelajari ilmu agama, mengamalkan seluruh budaya kumuh itu dalam hidup kesehariannya.
Padahal, sebagai umat Islam yang tahu agama Islam, kita mengerti bahwa agama Islam adalah agama yang mengajarkan budaya kebersihan dan kerapian. Ajarannya tentang hal itu dianggap paling lengkap dibanding ajaran agama apa pun.
Semua santri pasti sudah hafal kata-kata mutiara Annadhafatu minal Iman, ‘kebersihan adalah bagian dari iman’. Nabi Muhammad SAW juga mengajarkan kepada seluruh pengikutnya untuk selalu hidup bersih dan sehat. Tidak boleh buang air sembarangan. Sekedar keluar atau masuk kamar kecil pun ada ajaran dan aturannya.
Namun, apakah orang lain percaya kalau umat Islam mempunyai mahfudhat itu? Annadafatu minal Iman. Kalau kita tidak pernah menampilkan gaya hidup bersih di dalam keseharian kita? Tidak perlu marah kalau orang lain melecehkan Islam dengan menganggap Islam sebagai agama yang mengajarkan kekumuhan. Sementara, umat Islam sendiri tidak menghormati apalagi menjalankan ajaran itu. Dari mana orang lain tahu jati diri agama lain kalau tidak dari perilaku para penganutnya?
Puluhan tahun yang lalu kita telah gagal menjadi duta yang mewartakan kepada warga Indonesia bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan hidup bersih dan sehat. Kini, kita juga kembali gagal mewartakan kepada dunia bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan kasih-sayang. Agama yang membawa kedamaian, agama yang membawa rahmat bagi seluruh penghuni alam semesta.
Saudaraku, puluhan tahun lalu, orang lain biasa melihat umat Islam dalam kekumuhan, sebagaimana kebiasaan kaum santri yang tadi telah kita sebut. Mungkin kita bisa mengatakan semua bentuk kekumuhuan itu sebagai perwujudan dari bentuk kesederhanaan. Agaknya, kita tidak perlu lagi berdebat tentang kumuh dan sederhana. Yang jelas, budaya “kumuh” itu telah menjauhkan kita dari kesan positif orang lain.
Sekarang, bila melihat umat Islam, orang lain menyatakan bahwa umat Islam adalah umat yang garang dan menakutkan. Mereka menyatakan, bahwa perbuatan sebagian dari kita yang suka bernahi munkar dengan cara yang keras. Menyerbu (untuk menertibkan?) tempat-tempat yang dianggap maksiat di luar koordinasi aparat yang berwenang itu sebagai perbuatan yang menakutkan.
Apalagi, disinyalir ada kelompok-kelompok lain yang ikut nimbrung, berpura-pura sebagai bagian kelompok umat Islam yang berpakaian sebagai laskar Islam, namun menjalankan agenda untuk mencapai tujuan mereka sendiri bukan untuk kepentingan Islam sama sekali.
Tujuan kelompok pura-pura ini biasanya sangat pragmatis dan bernilai sangat rendah, semisal motif ekonomi. Kelompok semacam inilah yang oleh Prof. A. Syafii Maarif disebut sebagai kelompok preman berjubah. Jubah keagamaan yang mereka kenakan hanya dijadikan kedok untuk menutupi tujuan jangka pendek mereka.
Bahkan perkembangan yang ada semakin mengkhawatirkan. Kelompok pura-pura ini pada perkembangannya semakin besar dan ditiru di berbagai daerah. Aksi-aksi mereka semakin menutup dan menenggelamkan aksi mayoritas umat Islam yang sebenarnya masih konsisten menjalankan jalan dakwah Islam sebagai rahmatan lil alamin.
Dengan semakin seringnya kelompok-kelompok pembajak Islam ini tampil di berbagai pemberitaan tanah air, citra Islam semakin jauh dari kesan rahmatan lil alamin.
Saudaraku, kita mungkin bisa mengatakan bahwa seluruh bentuk yang garang itu adalah bagian dari bentuk ketegasan dan penuh semangat. Namun, jangan salahkan oramg lain kalau ternyata mereka menganggap hal itu sebagai hal yang menakutkan. Kita pun sering takut jadi sasaran perbuatan yang kadang ngawur itu, bukan?
Saudaraku, mumpung masih di bulan Ramadhan yang suci, apakah kita tidak perlu merenung sejenak. Bila budaya kumuh yang dahulu itu telah berhasil kita tinggalkan, tampaknya kita juga tidak perlu memperdebatkan hal ini sebagai bentuk tegas atau menakutkan. Yang jelas, orang lain yang seharusnya merasa nyaman dengan adanya Islam justru banyak yang merasa takut dan menghindar dari Islam.
Tampaknya, perlu juga kita memikirkan cara mewartakan Islam dengan cara yang lembut dan penuh hikmat dan kaya rahmat, sebagaimana yang telah dijalankan Nabi Muhammad dalam hidup keseharianya. Konon, Nabi tidak pernah berbicara dengan nada tinggi. Suarannya selalu terkesan teduh dan penuh kedamaian, mencerminkan jiwanya yang penuh rasa welas asih. Nabi Muhammad juga tidak pernah mengumbar kemarahan atau pun bertindak dengan semangat kebencian. Islam juga mengajarkan kepada umatnya untuk senantiasa berlaku sopan dalam menjalankan kehidupan. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam ayat 19 surat al-Luqman:
وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ ۚ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ
Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.(QS Al-Luqman/ 31; 19)
Saudaraku, di ayat yang lain Allah juga berfirman
وَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَٰلَمِينَ
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semsta alam. (al-Anbiya’ [21]:107)
Nabi juga bersabda, “Aku bukan tukang laknat. Sesungguhnya aku diutus sebagai pembawa rahmat.” (HR Muslim).
Dengan mengetahui semua ini, apakah kita masih patut mengaku meneladani Nabi Muhammad yang bijaksana. Kalau hanya karena berbeda pendapat dan pemikiran, kita melaknat sesama dengan cara yang semena-mena? Patutkah kita yang setiap kali berbuat selalu memulai dengan kalimat “dengan nama Allah yang maha pengasih dan maha penyayang” berbuat sewenang-wenang dan mengobarkan kekerasan di mana-mana?
Isngadi Marwah Atmadja, Catatan Bulan Suci, Kumpulan Bahan Kultum Ramadhan