Cristoffer Veron P
Marhaban ya Ramadan. Selamat datang duhai Ramadan. Kehadiran Ramadan telah lama dinanti-nantikan oleh seluruh umat muslim di persada dunia. Insan mukmin menyambut Ramadan dengan gelora dan spektrum keagamaan yang super tinggi. Tidak dapat dipungkiri bahwa Ramadan menjadi salah satu bulan mulia dari 11 bulan Islam lainnya.
Serangkaian aktivitas ibadah yang berjalan di Ramadan dengan spirit yang tinggi, umat Islam mengimplementasikannya dengan perasaan sukacita. Pelbagai tradisi yang sejak zaman dahulu tak luput disemarakkan. Tradisi berupa padusan menjadi salah satu rangkaian kegiatan pra berpuasa yang sangat tenar di Indonesia. Ini menjadi agenda yang spesial bagi kalangan umat Islam ketika hendak berpuasa. Orientasi padusan ini untuk mensucikan sukma, membersihkan jiwa dan raga sebelum menjalankan puasa, sehingga dalam berpuasa nanti raga manusia kembali suci (bersih) dari noda-noda hitam.
Selain tradisi padusan, masyarakat Indonesia juga melakukan ziarah ke makam para leluhur. Dalam bahasa Jawa dikenal dengan istilah “Nyekar”. Budaya menabur bunga dia atas makam yang dikunjungi menjadi salah satu serangkaian kegiatan umat Islam sebelum menjalankan puasa Ramadan setelah padusan. Kedua tradisi yang telah berlaku dari zaman dahulu tersebut tidak dapat dipisahkan dari sosialita masyarakat, khususnya sosialita Jawa.
Kendati pun demikian, masyarakat harus merelakan untuk tidak melakukan tradisi tersebut. Pasalnya Ramadan tahun ini menjadi salah satu Ramadan yang sangat eksentrik di temukan. Bertepatan dengan virus Korona yang terus bereskalasi, meniscayakan masyarakat untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak relevan di luar rumah. Diketahui bahwa kegiatan tersebut harus keluar dari rumah, padahal kita ketahui makhluk gaib ini (Korona) bisa menyerang siapa saja tanpa mengenal usia, profesi, jabatan, agama, dan rumpun. Maka untuk mengantisipasi terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, kita harus mentiadakan tradisi tersebut untuk tahun ini.
Korona masih menjadi ‘momok’ bagi seluruh manusia di bumi. Penyebarannya sangat cepat, disusul keberadaannya sangat misteri. Tidak ada yang mengetahui keberadaan virus ini. Secara pasti virus ini berada disekeliling kita atau boleh jadi berada di dalam tubuh kita. Ramadan menjadi salah satu bulan yang mulia, disampuing itu juga membawa kedukaan yang mendalam bagi seluruh umat manusia.
Namun, jangan sampai terabaikan dengan kondisi sekarang sehingga ibadah Ramadan menjadi terganggu. Umat Islam wajib berpuasa di tengah pandemi ini (Qs Al-Baqarah [2]: 183) dengan berusaha secara maksimal untuk dapat menjadi insan yang bertakwa. Namun, dalam situasi krusial ini Muhammadiyah berpandangan bahwa bagi para tenaga medis untuk tidak berpuasa agar menjaga kekebalan tubuh ketika sedang bertugas dan menggantinya sesuai dengan tuntunan syariat (Qs Al-Baqarah [2]: 195).
Tujuan ibadah puasa adalah untuk menahan nafsu dari berbagai syahwat, sehingga siap mencari sesuatu yang menjadi puncak kebahagiaanya; menerima sesuatu yang menyucikannya, yang di dalamnya terdapat kehidupan nafsu terhadap lapar dan dahaga serta mengingatkannya dengan keadaan orang-orang yang menderita kelaparan diantara orang-orang miskin; menyempitkan jalan syetan pada dirinya dengan menyempitkan jalan aliran makanan dan minuman.
Puasa adalah untuk Rabb semesta alam, tidak seperti amalan-amalan yang lain. Ini berarti meninggalkan segala yang dicintai karena kecintaannya kepada Tuhan. Puasa merupakan rahasia antara hamba dengan Tuhannya, sebab para hamba mungkin bisa diketahui bahwa ia meninggalkan hal-hal yang membatalkan puasa secara nyata, tetapi keberadaannya meninggalkan hal-hal tersebut karena Sembahannya, maka tak seorangpun manusia yang mengetahuinya. Itulah substansi dari puasa.
Ikhtiar Adalah Kunci
Kita telah memasuki Ramadhan. Di bulan suci yang banyak sekali keberkahan dan kemuliaan ini sejenak marilah kita kontemplasikan secara kolektif atas kejadian yang sedang menimpa penduduk muka bumi sekarang. Tatkala kita mendengar kata ujian, apa yang terpikir dalam benak Anda? Pasti jawabanya ujian anak sekolah atau boleh juga ujian kehidupan. Jawaban ini boleh kita implikasikan dengan potret kehidupan akhir-akhir ini. Manusia sekarang sedang dalam pusaran ujian dari Tuhan. Raja Sang Alam Semesta tersebut ingin mencoba melakukan penilaian terhadap manusia siapa saja yang dapat meraih nilai sempurna dengan cobaan yang diberikan-Nya berupa virus Korona ini.
Kehadiran virus ini meniscayakan bagi kita untuk selalu berpikir positif, rasional, analitis, dan kritis. Jangan sampai muncul pemikiran bahwa Tuhan membenci seluruh penduduk muka bumi. Justru dengan adanya musibah Korona inilah merupakan zenit dari bukti Tuhan sayang terhadap para hamba-Nya. Dia memiliki misi boleh jadi menegur dan memperingatkan atas kelakukan atau perangai yang telah diperbuat oleh para hamba-hamba-Nya. Sekarang yang harus kita lakukan di masa-masa urgen ini bukan malah mencaci satu sama lain, mencari dalil yang berkorelasi dengan perilaku manusia. Kita harus mencari titik pencerahan untuk bisa keluar dari kungkungan yang telah menglobal ini.
Ingat bahwa agama Islam mengajarkan bahwa masalah ada untuk diselesaikan. Agar bisa meneruskan hidup, kita harus menyelesaikan masalah yang kita hadapi, karena masalah memang bagian dari kehidupan. Bukan justru tenggelam dan larut dalam pusarannya dan enggan bangkit untuk mencari solusi yang mungkin untuk dilakukan. Apalagi sampai berputus asa dan hilang harapan. Kita harus bersatu dan bersinergi secara komprehensif agar bisa terbebas dari Korona ini.
Ujian dan peringatan berupa Korona ini mungkin salah satu dari manifestasi yang perlu kita aktualisasikan. Menyikapi Korona ini maka kita perlu membuka pemikiran kita secara transparan mengapa Tuhan menurunkan Korona ini kepada penduduk bumi. Sebab belum pernah ada kasus yang terparah dalam dasawarasa terakhir ini. Sikap kita ketika terdapat ujian dan peringatan dari Tuhan berupa Korona ini ialah ikhtiar.
Ikhtiar itu meniscayakan diri kita untuk bersungguh-sungguh dalam menggapai harapan yang diinginkan. Harapan kita yang sangat dibutuhkan dan paling dominan yakni wabah Korona segera berakhir. Haraapan seluruh manusia saat ini bukan terletak pada harapan bisa mudik atau pulang kampung, akan tetapi yang paling fundamental ialah harapan besar untuk bisa keluar dan terbebas dari wabah Korona ini.
Seseorang dengan berikhtiar itu berarti dia telah meyakini dengan sepenuh hati bahwa segala paradigma ujian dan peringatan yang datang dari Tuhan dia selalu yakin bahwa atas segala usaha yang telah diperbuat maka akan mendatangkan hasil yang terbaik. Jika usaha yang diperbuat belum memenuhi targetnya, maka dia menyerahkan kepada Tuhan. Sikap ikhtiar ini menjadi kunci bersama untuk melawan Korona. Walaupun kita sudah berjuang menghadapinya di garda terdepan, namun sikap ikhtiar tidak membara, niscaya hanya sebatas kesia-siaan belaka dan kita hanya menjadi insan yang merugi.
Salah satu bukti ikhtiar yang dapat kita implementasikan dalam nuansa Ramadan ini ialah kita berdoa memohon keharibahan Tuhan untuk dibukakan petunjuk agar wabah yang diturunkan oleh-Nya bisa pupus. Virus Korona mungkin dapat berdesiminasi dengan cepat tapi kita bisa mencegahnya. Sebuah pepatah mengatakan, “mencegah (to prevent) lebih utama daripada mengobati (to cure)”. Upaya preventif yang dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah desiminasi virus Korona boleh dinyatakan telah sesuai dengan strandarisasi yang berlaku. Namun problem muncul ketika masyarakat berasumsi pencegahan yang dilakukan oleh pemerintah tidak maksimal.
Budaya masyarakat yang menilai sepihak menjadi salah satu budaya irasional sehingga harus ditransformasikan, dibersihkan, dan disucikan bak sebuah bayi yang baru dilahirkan oleh ibunya. Sebab jika kita melihat dari sisi khitah pemerintah yang berlaku saat ini, kiranya telah menunjukkan sikap mahardika untuk melindungi bangsanya. Kebijakan tidak mudik atau pulang kampung salah satu kebijakan yang digelorakkan, bahkan organisasi terbesar di Indonesia Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama pun saling berintegrasi dan bersatu hati untuk mendorong masyarakat agar tidak mudik atau pulang kampung dahulu di tengah wabah virus Korona ini.
Dalam bingkai kehidupan sekarang, kita harus menerapkan konsep “La Dharara wa Laa Dhirara”, jangan melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri ataupun orang lain. Kita harus memprioritaskan keselamatan jiwa kita sendiri dan juga orang lain, terlebih bagi keluarga kita di kampung halaman. Kini kita harus merealisasikan konsep tersebut sebagai ikhtiar kita bersama untuk menjaga diri dan keluarga kita dari serangan virus yang ganas itu.
Hal ini memiliki implikasi yang dikatakan oleh Prof Dr Haedar Nashir, “Ini bukan soal takut atau berani hadapi wabah, tetapi soal ikhtiar yang dari segi agama maupun ilmu dibenarkan untuk usaha mencegah datangnya wabah agar tidak semakin luas”.
Ikhtiar bersama menjadi kunci utama dalam menjaga diri dari virus Korona. Maka Ramadan ini meniscayakan sebagai momentum untuk berikhtiar secara kolektif, masif, dan revolusioner bagi seluruh elite bangsa baik itu muslim atau nonmuslim. Budaya saling membedakan agama (Ad-Diin) harus muktadimkan disituasi urgen seperti sekarang agar kita bisa berkolaboratif satu sama lain. Sikap kolaboratif menjadi tameng elementer untuk memutus matarantai penyebaran virus Korona.
Cristoffer Veron P, Siswa Kelas XII SMK Muhammadiyah 1 Yogyakarta, Anggota MCCC PCM Jetis, dan Penulis Buku