Filsafat Puasa: Mengapa Kita Diwajibkan Berpuasa?

Filsafat Puasa: Mengapa Kita Diwajibkan Berpuasa?

Prof Din Syamsuddin

JAKARTA, Suara Muhammadiyah – M. Din Syamsuddin, Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Pondok Labu menjelaskan, agar manusia sampai kepada Tuhan, ia harus mensucikan nafsu yang ada di dalam dirinya. Menurut Suhrawardi di dalam filsafat yang ia tulis mengatakan, puasa adalah menyiapkan diri (mensucikan diri) untuk bisa bertemu dan mengetahui Allah Swt. “Dengan kata lain, puasa adalah sarana untuk menyiapkan batin. Maka kita akan mampu memasuki pintu ma’rifatullah,” ujarnya dalam pengajian daring PRM Pondok Labu, Jakarta Selatan (25/4).

Muhammad Syamsi Ali, Imam Besar di Islamic Center of New York menyampaikan bahwa tujuan utama dari puasa adalah untuk membangun rasa syukur. Setelah terbentuk rasa syukur dalam diri orang-orang yang berimana, maka akan timbul pikiran positif yang terejawantahkan melalui mentalitas dan tekad baja dalam mengarungi samudera kehidupan dunia. “Tujuan terpenting dari puasa ialah menemukan kepuasan dan kebahagiaan hidup, karena banyak manusia yang gagal menemukan kepuasan hidupnya di dunia,” ujarnya.

Puasa merupakan ibadah yang bersifat personal sehingga Allah lah yang akan memberikan balasannya secara langsung. Dalam konteks inilah puasa juga dapat membangun kedekatan diri dengan Allah Swt. “Kedekatan diri dengan Allah Swt akan membuat orang-orang yang beriman merasa lebih percaya diri dalam menghadapi seluruh problematika kehidupan baik kecil maupun besar,” ungkap Syamsi Ali yang juga direktur Jamaica Muslim Center, yaitu sebuah yayasan dan masjid di kawasan timur New York.

Shamsi Ali menambahkan, selain membangun rasa syukur dan kedekatan diri dengan Allah, puasa juga dapat membangun dan memupuk rasa solidaritas kemanusiaan yang sejati. Di tengah lautan budaya kapitalisme yang mendekatkan manusia kepada rasa egoism yang tinggi, puasa yang dilakukan oleh orang-orang yang beriman diharapkan mampu melahirkan rasa solidaritas terhadap sesama. “Ketika manusia kehilangan rasa solidaritasnya maka telah hancur rasa kemanusiaannya. Sehingga ia menjadi rakus tak ubahnya binatang,” pesannya.

Jika kita amati kondisi dan situasi saat ini, kita khawatir sedang berada di ambang kehancuran. Banyak manusia telah kehilangan kontrol dalam hidupnya.”

Manusia senantiasa membutuhkan kontrol dalam hidupnya. Tanpa kontrol, fmanusia akan berlaku sewenang-wenang dan melampaui batas. Maka puasa hadir sebagai fungsi kontrol dalam diri manusia. “Islam harus menjadi garda terdepan untuk menyelamatkan kehidupan umat manusia yang telah tenggelam di dalam lumpur keduniaan,” tutupnya. 

Andar Nobowo, Kandidat Doktor di Ecole Normale Superieure (ENS) Paris mengungkapkan bahwa selain memberikan kesehatan terhadap jasmani, puasa juga dapat menghadirkan ketenangan dalam jiwa dan mental. Secara epistimologis, inti dari ibadah puasa adalah untuk mengendalikan diri. Ada tujuh macam nafsu yang harus dikendalikan di dalam diri setiap manusia. Pertama, nafsu amarah, yaitu nafsu yang berada pada tingkatan terendah. Contohnya adalah baqil, benci, bodoh, sombong, cinta dunia, dan lain sebagainya.

Kedua, nafsu lawamah, yaitu nafsu menyesal yang diakibatkan karena terus mengikuti kesenangan. Contohnya menyesal karena telah menipu, menggunjing, riya’, ujub, dan lain sebagainya. Ketiga, nafsu mulhimah, nafsu ini dicirikan seperti lemah lembut, dermawan, santun. Keempat, nafsu mutmainnah, yaitu nafsu yang meneduhkan serta menenangkan. Kelima, nafsu radhiyah, yaitu nafsu yang rela, berzikir. “Nafsu ini ditandai dengan sifat wara’, zuhud, wafa’, menepati janji, dan rindu kepada Allah,” ujarnya.

Keenam, nafsu mardhiyah, ciri dari nafsu ini adalah memiliki budi pekerti yang baik serta selalu mendekatkan diri kepada Allah Swt. Dan yang terakhir adalah nafsu kamilah. “Kalau kita sudah mencapai martabat tertinggi di dalam dalam tingkatan-tingkatan nafsu ini maka inshaAllah kita akan masuk ke surga Allah Swt,” paparnya. (diko)

Exit mobile version