Saudaraku, entah mengapa, setiap melihat pemberitaan baik di televisi maupun di surat kabar, kita selalu ketemu berita tentang bayi yang dibuang. Tentang anak perempuan yang hamil padahal dia belum menikah. Tentang suami-isteri yang terpaksa bercerai karena salah satunya selingkuh dan yang semacam itu. Ingatan saya selalu terpaut dengan surat Yusuf [12] ayat 24
وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِۦ ۖ وَهَمَّ بِهَا لَوْلَآ أَن رَّءَا بُرْهَٰنَ رَبِّهِۦ ۚ كَذَٰلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ ٱلسُّوٓءَ وَٱلْفَحْشَآءَ ۚ إِنَّهُۥ مِنْ عِبَادِنَا ٱلْمُخْلَصِينَ
Sesungguhnya wanita itu Telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusufpun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu Andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba kami yang terpilih.
Menurut catatan kaki di al-Qur’an terjemahan Departemen Agama, Ayat ini tidaklah menunjukkan bahwa Nabi Yusuf a.s. mempunyai keinginan yang buruk terhadap wanita itu (Zulaikha). Akan tetapi, godaan itu demikian besanya, sehingga andaikata dia tidak dikuatkan dengan keimanan kepada Allah SwT tentu dia jatuh ke dalam kemaksiatan.
Itu adalah Nabi Yusuf, putra Nabi Yakub, cucu dari Nabi Ishak, cicit dari Nabi Ibrahim. Seorang mulia yang sejak kecil dididik dan diasuh oleh seorang yang juga mulia merasa dirinya nyaris tergelincir dalam pusaran nafsu. Sebenarnya, keimanan dan hasil didikan yang diterima dari orang tuanya membentengi diri Nabi Yusuf untuk tidak berkeinginan melakukan hal yang buruk. Namun, ketiadaan niat untuk berbuat keji nyaris tidak berguna. Menghadapi rayuan Zulaikha yang cantik jelita, Yusuf nyaris jatuh. Saat itu, sempat timbul nafsu di hati Yusuf untuk berbuat keji. Zulaikha juga sudah terbakar nafsu.
Namun, saat itu, Yusuf tertolong karena dia melihat burhan (tanda) dari Allah. Tanda dari Allah itulah yang menyelamatkan Yusuf dari tindak keji. Dengan tanda yang ditampakkan Allah itu Yusuf kembali sadar. Yusuf bisa menangkap tanda itu karena jiwa dan hatinya bersih.
Saudaraku, di Surat yang sama dalam ayat 53, Yusuf juga berkata
وَمَآ أُبَرِّئُ نَفْسِىٓ ۚ إِنَّ ٱلنَّفْسَ لَأَمَّارَةٌۢ بِٱلسُّوٓءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّىٓ ۚ إِنَّ رَبِّى غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Dan Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), Karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha penyanyang.
Dalam ayat itu, Nabi Yusuf a.s. mengakui bahwa dirinya tidak bisa membebaskan diri dari godaan nafsu. Dia mengakui hampir terseret oleh hawa nafsunya. Hawa nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan. Jika dia tidak mendapat rahmat Allah yang Maha Pengasih dan Maha Pengampun, niscaya dia juga akan tergelincir. Kalau Nabi Yusuf, yang merupakan keturunan dari para Nabi, mengaku bahwa dirinya tidak bisa membebaskan diri dari nafsu, bagaimana lagi dengan kita yang bukan siapa-siapa ini?
Saudaraku, kisah Yusuf ini, pada era sekarang, pada dasarnya akan selalu terulang pada setiap manusia. Apalagi, pada manusia modern era sekarang. Gelombang Modernitas telah melahirkan cultural shock (kejutan budaya) secara massal. Kejutan budaya ini ditandai dengan banyaknya manusia yang mengalami kehilangan tujuan hidupnya. Orientasi yang serba fisik-materi mengalahkan orientasi yang yang bersifat ruhani.
Saat ini, sangat banyak sarana untuk membakar nafsu yang sudah panas itu. Situs atau laman internet yang mempercepat kematangan nafsu semakin banyak kita jumpai. Tidak hanya di dunia nyata, di dunia maya (internet) yang semakin mudah kita akses itu, sarana pematang nafsu itu juga semakin banyak berkembang biak.
Semua gemerlap pesona dunia yang ditampilkan dunia modern itu seringkali mengandaskan iman dan nalar jernih kita. Karenanya, sering semakin terdengar atau membaca berita, ada teman yang tega memakan teman. Guru memakan murid. Bahkan orang tua yang memakan darah dagingnya sendiri.
Tampaknya, hanya perilaku ihsan sajalah yang bisa menyelamatkan hidup kita dari jurang kehancuran yang disebabkan oleh jebakan nafsu.
Saudaraku, dalam sebuah hadis disebutkan, ihsan adalah “kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya. Jika kamu tak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu” (Hadis Riwayat Muslim dari Umar bin Khattab).
Dalam banyak kisah disebutkan, tatkala Zulaikha merayu Yusuf, Yusuf menjawab kalau dia malu melakukan hal terkutuk itu. Zulaikha menjawab, mengapa harus malu, malu kepada siapa, karena di ruangan tertutup yang sangat indah itu hanya ada mereka berdua. Saat itu, Yusuf masih bisa menjawab bahwa masih ada Tuhan di ruangan itu. Saat itu juga, mata Zulaikha menatap wajah berhala sesembahannya yang ditaruh di pojok ruangan. Dengan cekatan Zulaikha menutup mata berhala itu dengan sehelai kain. Yusuf kemudian menjawab bahwa Tuhannya bukanlah berhala yang bisa ditutup matanya hanya dengan selembar kain merah. Tuhan Yusuf dan juga Tuhan kita semua adalah Alllah SwT, meskipun Dia tidak bisa kita lihat, namun Dia selalu melihat tingkah laku kita. Nah, ketika Yusuf ingat pada diri Tuhannya itulah kemudian dia berlari meninggalkan Zulaikha. Zulaikha lalu mengejarnya, hingga baju bagian punggung belakangnya ditarik dan terobek tangan Zulaikha.
Ajaran ihsan semacam ini pada dasarnya akan melahirkan jiwa muraqqabah. Yaitu jiwa yang senantiasa sadar dan merasa bahwa diri ini selalu berada dalam pengawasan Allah. Sebagaimana kisah seorang penggembala kambing yang tidak mau dirayu Umar bin Khattab untuk menjual seekor gembalaannya yang lalu menjawab “fa-ainallah?”, ‘maka, di mana Allah?’.
Saudaraku, mumpung sat ini bulan Ramadhan, marilah kita selalu mendidik diri kita masing-masing. Dalam bulan Ramadhan seperti ini, kita bisa disiplin. Walaupun di tempat sepi, kita bisa menahan diri untuk tetap berpuasa karena adanya Iman kita kepada Allah SwT. Maka seharusnya iman itu tetap kita pertahankan ketika tawaran yang hendak merobohkannya juga semakin besar. Selama iman itu masih ada, maka kita akan selamat.
Isngadi Marwah Atmadja, Catatan Bulan Suci, Kumpulan Bahan Kultum Ramadhan