Abdul Mu’ti
Islam adalah agama “kebudayaan”. Hal ini sama sekali tidak berarti bahwa Islam adalah agama “ciptaan” manusia. Dari perspektif ajaran, secara keseluruhan Islam adalah wahyu Allah. Tidak ada keraguan sama sekali. Islam berisi ajaran-ajaran yang menuntun manusia hidup sesuai dengan tuntunan wahyu dan mengembangkan kreativitas serta produktivitas amal dengan kekuatan akal dan ketajaman kalbunya. Dari sinilah lahir kebudayaan Islam. Jika kepatuhan kepada Tuhan dipadukan dengan kreativitas nalar dan hati, maka terbangunlah kebudayaan Islam.
Sebagai contoh adalah ajaran Islam tentang shalat. Al-Qur’an memerintahkan manusia menegakkan shalat. Nabi Muhammad menganjurkan shalat berjamaah dan keutamaannya. Pengamalan ajaran shalat membangkitkan kreativitas kaum Muslim membangun masjid dengan berbagai gaya arsitektur yang mengagumkan. Pengamalan shalat menginspirasi para seniman Muslim membuat kreasi sajadah yang terbuat dari bahan yang beraneka ragam dan motif yang warna-warni. Para ahli teknologi komunikasi dan informasi merancang program-program komputer untuk waktu-waktu shalat, arah kiblat dan kreativitas lainnya. Masjid dan hamparan sajadah yang ada di dalamnya serta penanda shalat hanyalah beberapa artefak kebudayaan Islam yang lahir dari pengamalan ajaran shalat.
Tetapi, shalat ternyata belum mampu merapatkan dan mengikat kaum Muslimin dalam barisan (shaf) yang kokoh. Ukhuwah Islamiyah semakin sayup-sayup dan ringkih di tengah hiruk pikuk politik dan primordialisme keagamaan. Ajaran merapatkan shaf dan shalat berjamaah belum cukup kuat menyemen persaudaraan, merajut toleransi dan memperkuat kerjasama. Khilafiah (perbedaan pendapat) dalam masalah-masalah furuiyyah (Cabang) yang lahir karena perbedaan ijtihad meraja di tengah-tengah ambisi kekuasaan. Shalat —ternyata— belum mampu melahirkan kebudayaan yang santun, saling menghormati, rendah hati dan peduli. Tembok-tembok masjid yang kokoh seolah menjadi benteng yang memisahkan Muslim yang satu dengan yang lainnya.
Tidak hanya shalat, banyak ajaran Islam yang lain seakan terkubur oleh sikap dan perilaku kaum Muslim. Islam menjadi kusam karena perilaku pemeluknya. Berulangkali Al-Qur’an memerintahkan manusia untuk berkata dan berlaku jujur, memegang teguh amanah dan sumpah setia. Tetapi, korupsi di negara Muslim masih yang tertinggi di jagat raya. Puluhan kali Al-Qur’an memerintahkan agar manusia menggunakan pikiran, mengasah nurani, membuka mata dan telinga untuk memahami alam semesta. Al-Qur’an menegaskan pentingnya ilmu baik dalam kehidupan keagamaan maupun keduniaan. Tetapi, angka buta huruf, drop-out dan keterbelakangan yang tertinggi masih berada di negara-negara Muslim. Kaum Muslim gagal mengembangkan Kebudayaan Progresif karena masih terpasung dalam kebudayaan Ekspresif.
Kebudayaan progresif berporos pada ilmu: pengembangan cara berpikir ilmiah yang menghasilkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Sebaliknya, Kebudayaan ekspresif sangat dipengaruhi mitologi sehingga bersifat statis, mistis dan tradisional. Karena itu, di tengah gegap gempita perkembangan teknologi mutakhir, sebagian Muslim justru memilih asyik masyuk dengan spiritualisme eskapis, menghujat habis kehidupan modern dan menyokong terorisme karena putus asa dan kalah. (IM)
Sumber: Majalah SM Edisi 8 Tahun 2019