Puasa Pemantik Kesadaran Religiusitas: Spiritual Capital Menghadapi Konsumerisme

Puasa Pemantik Kesadaran Religiusitas: Spiritual Capital Menghadapi Konsumerisme

Kurma sebagai makanan khas Ramadhan (Dok boston)

Agusliadi

Tulisan saya ini, dengan judul yang sama sebenarnya adalah awalnya sebagai status facebook saya pada bulan juni 2016, kemudian dua tahun kemudian tepatnya juni 2018 oleh tim redaksi Pustakamu.id diterbitkan melalui media onlinenya. Hanya saja pisau analisis yang digunakan belum terlalu tajam, hanya seadanya. Selain daripada itu belum menggunakan perspektif yang beragam untuk memperkuat tesis. Dibandingkan tulisan sebelumnya meskipun judulnya sama, tetapi isinya mengalami perubahan lebih dari 70%. Begitupun volumenya bertambah 2 (dua) kali lipat.

Tulisan ini sangat signifikan untuk dipahami, relevansinya dengan fenomena keagamaan dan realitas empiris terkait kehidupan ekonomi kapitalisme global hari ini. Selain daripada itu meskipun ini hanya hipotesis atau paling jauh hanya dugaan pribadi semata, wabah covid-19 sebagai alternatif lain  ̶  untuk tidak menyebut sebagai “tentara Tuhan”  ̶  Allah untuk memperkuat spiritual capital menghadapi konsumerisme.

Mengapa saya menyebutnya alternatif lain dari Allah ?, karena seakan kesadaran religiusitas sebagai spiritual capital terutama puasa  ̶  yang memiliki relasi meskipun berada pada oposisi biner dengan aktus konsumerisme  ̶  ternyata nampak gagal. Namun bukan covid-19 yang menjadi inti tulisan ini melainkan tentang puasa.

Puasa sebagaimana dalam QS Al-Baqarah/2 : 183. “Wahai orang – orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. Puasa yang oleh para ulama menyebutnya al-imsak yang berarti menahan, menahan diri dari makan, minum dan berhubungan suami istri (dan saya tambahkan menahan segala sesuatu yang membatalkan puasa) sejak terbit fajar sampai terbenam matahari. Sebagaimana firman Allah tersebut, muara daripada puasa adalah takwa.

Secara etimologi kata takwa atau taqwa memiliki kata dasar waqa yang berarti menjaga, melindungi, hati, hati –hati, waspada, memperhatikan dan menjauhi. Adapun secara terminologi, takwa berarti menjalankan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi segala apa yang dilarangNya.

Puasa dan beberapa aspek ajaran lainnya dan merupakan satu kesatuan sistem nilai yang terlembagakan menjadi agama, idealnya diketahui, dipahami, dialami dan dirasakan dengan penuh kesadaran akan fungsi dan substansinya. Apalagi seiring perjalanan sejarahnya  ̶  menurut Asratillah (2014:11) akan semakin tersolidkan dan termassifkan dan memmpunyai semacam mekanisme internal yang membentuk sistem tertutup. Dan bagi saya inilah yang dimaksud dengan kesadaran religiusitas dan sekaligus merupakan spiritual capital.

Kesadaran religiusitas ini adalah merupakan spiritual capital. Muhammad Shadiq Khairi sebagaimana saya kutip dari Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 4, Nomor 2, Agustus 2013, meminjam defenisi Woodberry (2003) yang menyatakan bahwa “spiritual capital berbeda dengan modal lainnya yang memiliki sumber daya material.

Khairi juga mengutip dari Zohar dan Marshal (2004) kekayaan yang memperkaya kedalamn aspek hidup. Kekayaan yang kita peroleh melalui makna terdalam, nilai terdalam, tujuan paling fundamental, dan motivasi tertinggi serta dengan mencari cara untuk menanamkan hal tersebut pada hidup dan pekerjaan kita.

Rinaldi Agusyana pada pengantar buku ESQ Power (Ary Ginanjar, 2003) menjelaskan bahwa spiritual capital adalah modal menjalani kehidupan yang telah built-in dalam diri manusia bukan atas stimulus luar sebagaimana teori behaviorisme JB, Watson.

Spiritual capital inilah yang merupakan modal untuk menghadapi konsumerisme

Yasraf Amir Piliang dalam karyanya Dunia yang Dilipat (2011) mengurai secara mendalam tentang konsumerisme, spirit yang mengiringi dan dimensi yang ada di dalamnya. Menurut Yasraf sebagaimana dirinya menarik kesimpulan dari para pemikir sosial dan budaya Eropa, konsumerisme adalah ketika yang dikonsumsi tidak lagi sekedar objek, tetapi juga makna – makna sosial yang tersembunyi di baliknya.

Masih menurut Yasraf bahwa perubahan sosial yang menyertai kemajuan ekonomi di Indonesia belakangan ini adalah berkembangnya gaya hidup, sebagai fungsi dari diferensiasi sosial yang tercipta dari relasi konsumsi. Konsumsi tidak lagi sekadar berkaitan dengan nilai guna dalam rangka memenuhi fungsi utilitas atau kebutuhan dasar manusia tertentu, akan tetapi kini berkaitan dengan unsur simbolik untuk menandai kelas, status atau simbol sosial tertentu.

Logika yang mendasari aktus konsumerisme (laku konsumsi yang melampaui kebutuhan) bukan lagi logika kebutuhan melainkan logika hasrat. Dan bagi saya ini semakin mempelebar jarak sosial bahkan jarak psikologis antara si kaya dan si miskin.

Menurut data hasil riset yang pernah dirilis, bahwa pada umumnya di bulan Ramadhan, tingkat transaksi jual beli melambung tinggi dibandingkan sebelas bulan lainnya. Dalam konteks ini saya tidak mau mengatakan daya beli masyarakat yang meningkat.

Meskipun dalam kehidupan bernegara ini dikapitalisasi dan dikonversi menjadi data yang memberikan kabar gembira karena statistiknya menunjukkan berkah Ramadhan mempengaruhi laju perekonomian. Sebagaimana hukum ekonomi jika permintaan di pasar meningkat, harga barang juga meningkat. Tentunya ini adalah masalah bagi masyarakat kuran mampu.

Tahun –tahun sebelumnya, salah satu fenomena rutin yang sekaligus merupakan antitesa dari kesadaran religiusitas, bahwa hari ke-15 Ramadhan sampai hari terakhir, pusat – pusat perbelanjaan, mall, dan lain – lain lebih ramai “jamaahnya” daripada masjid – masjid. Dan tentunya, tahun dengan covid-19, fenomena itu berubah drastis. Disinilah saya mengatakan bahwa, “Apakah ini alternatif lain dari Allah untuk membatasi nafsu konsumtif dan aktus konsumerisme manusia?. Wallahu a’lam.

Hadi Saputra dalam artikelnya Mazhab Nazaruddin telah mengutip pernyataan Buya Syafii Maarif dalam sebua diskusi “Jakarta Lawyers Club” yang ditayangkan Tv One (09/08/2011). “Setiap tahun jumlah jamaah haji kita selalu bertambah. Namun kesadaran religiusitas tersebut tidak berbanding lurus dengan perilaku bangsa.

Dan saya pun berkata setiap Ramadhan, betapa banyak yang berpuasa bahkan saya yakin jumlahnya setiap tahun meningkat, tetapi sangat sedikit yang mampu menekan budaya konsumtif apalagi melawan aktus konsumerisme.

Mengapa puasa yang saya yakini memiliki nilai sosial dan psikologis  ̶  sebagaimana tulisan saya yang telah terbit di media online kalaliterasi tidak mampu mengcounter aktus konsumerisme tersebut?. Padahal muara dari sebuah puasa adalah takwa. Puasa yang telah dilaksanakan bertahun – tahun idealnya telah menjadi sebuah karakter muslim yang memiliki self controlling.

Mengapa puasa yang merupakan satu kesatuan sistem nilai dari sebuah pelembagaan bernama Agama, yang menciptakan mekanisme internal sebagai sebuah sistem tertutup tidak mampu mengcounter konsumerisme. Apakah semua ini telah menjadi kesadaran religiusitas bagi muslim?, ya/belum?. Apakah ini belum cukup sebagai spiritual capital menghadapi konsumerisme?

Ketika akumulasinya, ummat Islam/Muslim masih lebih banyak berada dalam aktus konsumerisme, maka tentunya bisa menjadi hipotesis dan bahkan menjadi tesis bahwa puasa dan nilai/ajaran agama lainnya belum menjadi kesadaran religius apalagi diharapkan menjadi spiritual capital.

Fenomena ini justru memperkuat tesis bahwa agama pada umumnya hanyalah  ̶  sebagaimaan istilah yang saya pinjam dari artikel Hadi Saputra  ̶  Pseudo Religius dan Religion Tainment. Pseudo religius adalah agama dijadikan hanya sebagai pelarian, pensucian jiwa, topeng keburukan moralitas untuk kepentngan pribadi. Religion Tainment, agama hanya menjadi alat yang digunakan oleh para kapitalis untuk semakin membangkitkan hasrat konsumtif.

Menangkap makna dari kajian akademik, filosofis dan ideologis Yasraf  dalam bukunya Dunia yang Dilipat, saya menemukan bahwa dibalik semua ini sebuah ideology, mendesain bahkan merekaya libido (hasrat) kita dengan melibatkan tiga kekuasaan besar yang beroperasi di belakangnya: kekuasaan kapital, kekuasaan produksi dan kekuasaan media massa.

Membaca buku Etika Muhammadiyah & Spirit Peradaban khususnya Bab I dan Bab II (Hal. 1 – 72) karya Zakiyuddin Baidhawy & Azaki Khoiruddin (2017) ada relasi dan senantiasa terintegrasi antara etos keagamaan dan aktivitas ekonomi. Dan ini tidak bisa dilepaskan dari Magnum Opus Max Weber berjudul The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism.

Bagi saya, Zakiyuddin & Azaki sampai pada kesimpulan terkait gambaran Weber mengenai Etika Protestan. Etika Protestan model Weber berhenti pada lahirnya semangat kapitalistik di kalangan Calvinis yang asketik. Dan apa yang dimiliki Muhammadiyah terkait etika dan etos melampaui gambaran Weber.

Etika Muhammadiyah bukan semata berpengaruhi melahirkan etos wirausaha di kalangan pengikutnya, bahkan mewujud dalam sistem peradaban secara simultan yang meliputi sistem kepribadian, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Etika Muhammadiyah berhasil mengembangkan dari relasi etos-spirit kapitalisme ke relasi etos-spirit peradaban.

Ketika puasa dan pemahaman tentang nilai sosial dan psikologis yang di dalamnya tidak mampu menghadapi konsumerisme, maka dalam Etika Muhammadiyah dan Spirit Peradaban menawarkan etos Al-Ma’un dan Etos Welas Asih dan bagi saya sebagai solusi untuk menghadapi dan melawan konsumerisme.

Secara sederhana Etos Al-Ma’un, saya memahami tentang pentingnya pelembagaan amal sholeh dan sebuah kesadaran bahwa ukuran kesalehan individual barometernya adalah kesalehan sosial. Sejauh mana kesalehan indivual kita termasuk puasa kita berdampak positif terhadap realitas empirik terutama dalam memberikan solusi atas problematikan kehidupan. Etos welas asih, dalam pemahaman sederhana saya sebagaimaan diuraikan oleh Zakiyuddin & Azaki, sejauh mana kita mengedepankan kasih sayang.

Spirit persaingan, sebagai derivasi dari spirit seleksi alam yang menjadi inti dari teori Darwin, bisa dicounter dan mengedepan spirit kolaboratif.

Selain daripada itu untuk meningkatkanpuasa dan aspek ajaran agama lainnya sebagai kesadaran religiusitas untuk selanjutnya menjadi spiritual capital menghadapi konsumerisme, maka proses habitus penting juga dilakukan. Proses habitus yang saya maksudkan dan berkolaborasi positif dengan substansi tulisan ini adalah bagaimana, nilai – nilai puasa, agama, ajaran agama, etika Mumammadiyah yang di dalamnya ada etos al-Ma’un dan etos welas asih mampu dilakukan sebuah internalisasi eksterior.

Internalisasi eksterior ini secara sederhana menyerap secara mendalam nilai – nilai yang ada untuk selanjutnya dilakukan eksternalisasi interior. Nilai –nilai yang sudah ada dalam diri, bukan semata untuk diri sendiri tetapi dimanifestasikan dalam kehidupan sosial.

Selain hal tersebut di atas, sebagaimana saya pahami dari tulisan Umar Shihab dari sebuah artikelnya bahwa agar puasa dan ajaran agama lainnya bisa menjadi spiritual capital, agama dan Islam pada khususnya jangan hanya dipahami secara fiqh oriented. Yang memandang agama hanya dalam dimensi hitam putih, halam-haram. Untuk konteks teman ini, puasa jangan hanya dilihat sebagai untuk memenuhi kewajiban semata.

Dan terakhir, kita harus mampu mengcounter kecendrungan media terutama media massa (tv) dan media sosial yang menjadikan Ramadhan hanya sebagai komoditas yang kapitalistik

Agusliadi, Eks, Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng, sekarang menjabat sebagai Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan.

Exit mobile version