Covid-19, Ekonomi, dan Etos Kemanusiaan

riba

Foto Dok Ilustrasi

Azhar Syahida

Hari-hari belakangan ini dan beberapa bulan ke depan adalah waktu yang sulit bagi para pekerja terdampak pandemi Covid-19. Terutama sekali pekerja harian, pekerja paruh waktu, dan pekerja formal yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Kelompok masyarakat itu menghadapi buntunya pendapatan. Tentu jika tidak segera diselamatkan, para pekerja tersebut, yang mayoritas masuk kategori rentan miskin, berpotensi menambah angka kemiskinan negeri ini, yang sekarang mencapai 25 juta jiwa.

Pada pangkal April 2020, Bank Dunia merilis sebuah laporan bertajuk, East Asia Pasific in the Time of Covid-19. Dalam laporan setebal 210 halaman tersebut, Bank Dunia memperkirakan dalam skenario terburuknya, akan terjadi lonjakan jumlah penduduk miskin di kawasan East Asia Pasific sebanyak 11 juta jiwa pada 2020. Sementara itu, Oxfam melalui laporan lainnya, Dignity Not Destitution, memperkirakan potensi jumlah kemiskinan baru untuk Kawasan East Asia Pasific sebanyak 239 juta jiwa.

Laporan tersebut terang saja menjadi alarm pengingat bagi pemerintah. Khususnya, agar pemerintah lekas menyalurkan dan memperlebar cakupan bantuan jaring pengaman sosial yang sudah dijanjikan kepada masyarakat terdampak pandemi Covid-19.

Secara mondial, pagebluk ini memang memukul aktivitas ekonomi antar-negara yang terhubung dalam jaringan produksi global. Kendati begitu, sebetulnya, kelompok yang sekarang paling nelangsa adalah masyarakat kelas menengah bawah. Terutama, masyarakat yang tidak memiliki tabungan untuk perbekalan hidup di hari-hari depan.

Pierre-Oliver Gourinchas (2020), ekonom di UC Berkeley, menyebutkan hal yang sekarang mesti menjadi fokus utama pemerintah adalah penjinakan virus. Memang, konsentrasi pada penahanan persebaran virus membutuhkan biaya. Tapi, kalkukasi tersebut setidaknya tidak akan lebih besar bila virus itu menyebar secara eksponensial dan melampaui batas sistem kesehatan yang kita miliki. Jika hal itu terjadi, jelas akan lebih mematikan sendi ekonomi dalam jangka panjang.

Dalam ulasan lain, Richard Baldwin (2020) menyinggung adanya dilema antara penanganan virus dan penyelamatan ekonomi. Kata Baldwin, ketika pemerintah memutuskan langkah-langkah pembatasan, seperti karantina wilayah atau pembatasan jarak sosial, memang akan memukul aktivitas ekonomi, tetapi, jika pemerintah melonggarkan pembatasan, justru di situlah letak kegagalan kita memutus akar krisis ini.

Strategi yang kredibel, komprehensif, nir-birokrasi, dan nir-moral hazard harus diambil oleh pemerintah. Berapa pun biaya yang dibutuhkan.

Pemerintah sudah mengumumkan ruang fiskal baru sebanyak Rp 405 triliun dengan alokasi Rp 110 triliun untuk bantuan sosial dan Rp 75 triliun untuk anggaran kesehatan. Namun, kalau melihat situasi sekarang, mestinya alokasi bantuan sosial dan pemenuhan kebutuhan alat kesehatan perlu ditambah lagi.

Dalam pada ini, pemerintah perlu mengetatkan pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), yang kini sudah diterapkan di beberapa daerah episentrum persebaran pandemi Covid-19. Khawatirnya, jika kita tidak serius, virus ini akan menyebar ke berbagai pelosok daerah. Lebih-lebih, umat muslim sudah berada di pangkal bulan suci Ramadan dan sebentar kemudian Hari Raya Idul Fitri, yang menuntut berjibun aktivitas keagamaan secara komunal.

Pengalaman sejarah mengatakan: untuk menghentikan sebuah krisis, pungkasi akarnya. Perbedaan mendasar krisis saat ini dengan krisis 1997/1998 dan 2008/2009 adalah sumbernya. Akar krisis 1997/1998 adalah kejatuhan rupiah akibat ulah spekulan, sementara 2008/2009 adalah krisis keuangan global yang bermula dari kegagalan subprime mortgage di Amerika. Adapun sekarang, sumber krisis itu adalah virus. Maka, fokus kita mestinya pada pengendalian virus sembari menjamin kebutuhan masyarakat terdampak.

Etos Kemanusiaan

Sebagaimana saya kemukakan di muka, kelas menengah bawah adalah kelompok masyarakat yang paling terpukul. Kelompok masyarakat itu rata-rata bekerja di sektor informal. Dan, tidak tercatat sebagai kelompok miskin.

Bisa jadi kelompok masyarakat tersebut masuk ke dalam kategori masyarakat rentan miskin dan hampir miskin yang jumlahnya, per Maret 2019, mencapai 66,7 juta jiwa. Lebih-lebih, menurut Bank Dunia, 76% pekerja sektor non-pertanian di Indonesia bekerja pada sektor informal. Sebagian besar tersebar di sektor perdagangan, akomodasi makanan & minuman, manufaktur, konstruksi, dan transportasi.

Jika pemerintah benar serius mengamankan kebutuhan kelompok masyarakat rentan, saya kira masyarakat juga akan menaati himbauan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Yang itu artinya, mengurangi risiko persebaran Covid-19.

Sementara itu, bila pemerintah masih berkutat pada data dan metode penyaluran bantuan sosial, kiranya pemerintah dapat menjalin kerja sama dengan kekuatan civil society yang mengakar kuat di negeri ini.

Saat ini, yang terpenting, masyarakat kelas menengah bawah yang terdampak lekas mendapat bantuan tunai. Salah satu ciri kebijakan fiskal yang efektif adalah ketepatan waktu, dan saat ini adalah waktunya masyarakat membutuhkan bantuan itu, terutama di daerah-daerah yang menjadi episentrum persebaran Covid-19.

Saya kira, di sini, menjadi sangat relevan apa yang disampaikan oleh Yuval Noah Harari, seorang sejarawan yang kini tengah naik daun itu: “Keputusan pemerintah dalam beberapa minggu ke depan akan sangat menentukan wajah dunia untuk beberapa tahun ke depan.”

Azhar Syahida, Alumni Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta, Peminat Kajian Ekonomi

Exit mobile version