Memahami Perihal Takdir dan Ikhtiar kala Pandemi

Memahami Perihal Takdir dan Ikhtiar kala Pandemi

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Problem perihal takdir dan ikhtiar ialah problem yang sudah banyak sekali dibicarakan terutama sejak awal-awal perkembangan Islam. Sebenarnya ketika pada zaman Nabi Muhammad SAW, yaitu ketika Islam mulai diajarkan dan dipraktikkan oleh para sahabat Rasulullah SAW, tidak banyak muncul persoalan-persoalan teologis. Terpenting bagi mereka kala itu bagaimana memahami apa-apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Baik itu yang berkaitan dengan urusan ibadah maupun muamalah.

Ketika Islam terus berkembang dan wilayahnya semakin luas, di situlah kemudian orang-orang Islam mulai berinteraksi dengan umat dari wilayah yang memiliki kebudayaan berbeda-beda juga memiliki tradisi intelektual yang berbeda, maka kemudian terjadilah dialog. Mereka mencoba membandingkan bagaimana ajaran Islam dengan ajaran lainnya yang tumbuh di wilayah-wilayah tersebut. Ada pengaruh di sana yang masuk ke dalam intelektual muslim. Para penakluk muslim juga mendapatkan khazanah-khazanah literatur yang luar biasa di berbagai daerah yang kemudian masuk ke dalam wilayah Islam seperti di Alexandria, Gundeshapur, dan lain sebagainya.

Dari berbagai macam interaksi antara teologi Islam dengan pra-Islam, maupun dengan kebudayaan-kebudayaan setempat, maka muncullah persoalan. Apa sebenarnya ajaran Islam tentang takdir dan juga ikhtiar. Apakah benar bahwa semua peristiwa di alam ini sesungguhnya sudah didesain dan diatur oleh Allah SwT sehingga manusia tinggal menjalaninya saja, atau apakah belum sehingga semua diserahkan kepada manusia untuk memilih sesuai dengan pikiran dan kehendak manusia itu sendiri.

Sebagaimana diterangkan oleh Prof. Dr. Syafiq A. Mughni yang merupakan Ketua PP Muhammadiyah (30/04), setidaknya ada dua golongan, yang secara klasik sudah menjadi bahan diskusi oleh para ulama, dalam hal memandang persoalan takdir dan ikhtiar ini.  Golongan pertama ialah Jabariyah atau dalam bahasa inggris disebut dengan golongan pre-destination. Golongan ini meyakini bahwa seluruh kejadian di alam ini, termasuk pula perbuatan manusia, itu sudah diatur dan ditentukan oleh Allah SwT.  Sehingga sudah tidak ada lagi ruang untuk manusia untuk memilih, maka manusia hanya menjalankan saja. Golongan ini meyakini bahwa nasib manusia yang akan datang baik secara individu maupun kelompok sudah ditulis dalam Lauhul Mahfudz.

Golongan yang melawan pendapat di atas ialah golongan Qadariyah, mereka meyakini bahwa apa yang manusia lakukan ialah sepenuhnya berangkat dari pilihan manusia itu sendiri dan tidak ada campur tangan dari Allah. Jika manusia berbuat baik atau buruk maka Allah akan berikan balasan yang setimpal. Sehingga, berhasil atau tidaknya manusia di dunia sangat tergantung pada kesungguhan dan upaya manusia itu sendiri untuk mencapai hasil yang direncanakan. Kalau tidak berhasil itu ialah kesalahan manusia dan juga terjadi sebaliknya.

Perdebatan pemikiran secara intens dari dua golongan itu pada momentumnya melahirkan banyak literatur dan karya-karya teologis yang membahas hal tersebut, termasuk dari kalangan ulama. Kemudian dari perdebatan itu pula muncullah sebuah golongan yang mencoba mengambil jalan tengah, tidak dalam golongan Jabariyah maupun golongan Qadariyah. Golongan ini yang secara tradisional disebut sebagai golongan Ahlussunnah wal Jama’ah atau middle pass. Golongan kemudian yang pula mengklaim dirinya sebagai golongan yang paling selamat atau disebut juga al-firqatu an-najiyah.

Dalam hal ini Prof. Dr. Syafiq berkomentar bahwa umat manusia saat ini sudah tidak bisa lagi menggunakan pendekatan-pendekatan lama  seperti tiga golongan di atas dalam memaknai takdir dan ikhtiar. Meskipun ada banyak literatur dari Al-Qur’an dan hadits yang mereka gunakan untuk mendukung sudut pandang mereka, tetapi mereka hanya menggunakan pendekatan teologis. Padahal sesungguhnya ada pendekatan etis yang juga bermanfaat bagi umat muslim saat ini.

Pemahaman tentang Takdir dan Ikhtiar dalam Konteks Pandemi Covid-19

Terkait dalam konteks pandemi Covid-19 Prof.Dr. Syafiq mengungkapkan, pemahaman terkait takdir dan ikhtiar ini masih relevan jika dilihat dari dua golongan yang sebelumnya baik dari sudut pandang Jabariyah  maupun Qadariyah. Golongan Jabariyah dalam hal pandemi ini memandang bahwa pandemi ini ialah apa yang sudah ditakdirkan oleh Allah SwT, sehingga mau tidak mau kita harus menerimanya.

Tertular atau tidaknya kita oleh virus corona 2019 ini ialah sudah ditentukan oleh Allah. Dalam hal pemikiran ini menganggap bahwa tidak ada pilihan lain bagi manusia untuk mengikuti apa yang sudah diatur oleh Allah itu. Walaupun ada orang-orang yang tidak melakukan kumpul-kumpul di Masjid atau di luar masjid, tapi kalau sudah ditakdirkan Allah kita akan terjangkit virus tentu akan menimpa mereka juga. Sebaliknya, jika pun tidak ditakdirkan Allah terkena virus, meskipun berkumpul-kumpul, tetap tidak akan terjangkit juga. Bagi golongan ini, usaha atau ikhtiar itu menempati pada posisi yang ke sekian, bukan yang utama.

Sebaliknya dengan golongan Qadariyah, dalam hal pandemi mereka memandang bahwa manusia telah diberikan akal oleh Allah SwT, yang kemudian baiknya digunakan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Maka usaha manusia dalam mempelajari ilmu pengetahuan termasuk di bidang kesehatan dan mikrobiologi ialah hal yang penting sebagai ikhtiar menghadapi virus corona 2019.

Akal yang diberikan oleh Allah SwT ini sangat berharga sehingga dalam pandangan golongan Qadariyah, harus digunakan untuk mencari upaya-upaya dan berikhtiar melawan virus yang bisa saja menjangkiti manusia, semisal dengan cara social distancing atau physical distancing, menggunakan masker, atau bahkan melakukan lockdown. Itu semua ialah merupakan manifestasi dari kepercayaan manusia terhadap berkah ilmu pengetahuan yang diberikan oleh Allah dan harus dimanfaatkan untuk kepentingan bersama.

Namun kalau kita terjebak dalam posisi Jabariyah yang mana menekankan pada takdir itu juga akan mengakibatkan malapetaka juga. Karena sesungguhnya virus ini akan menjangkiti baik orang-orang beriman maupun tidak dan orang-orang yang beragama maupun tidak. Pandangan ini juga akan mengarahkan manusia yang tidak punya semangat berjuang untuk menemukan solusi dari pandemi Covid-19.

Begitu juga jika kita terjebak dalam posisi pandangan Qadariyah, bahwa manusia bisa mengatasi segala-galanya, itu juga akan berakibat fatal. Misal yang terjadi di Jepang dengan ilmu pengetahuan yang luar biasa, namun juga tetap terjangkit virus corona 2019 ini. Manusia dalam golongan ini tidak memiliki rasa spiritualitas yang tinggi sehingga kala mengalami kecewa akan mudah terguncang jiwanya. Mereka akan melakukan hal-hal yang tidak baik untuk dilakukan, misal hingga bunuh diri. Hal ini juga dikarenakan mereka tidak memiliki konsep tawakal  dan qona’ah.

Dalam hal Muhammadiyah, menurut Prof. Dr. Syafiq, kita bisa melihat dalam dua hal. Pertama ialah apa yang sudah diberikan oleh pemikir-pemikir kita masa lalu ialah dengan tengah. (ran)

Exit mobile version