Ketika kecil, saya sering merasa jengkel dengan Ayah. Sebagai orang Jawa, Ayah sering tidak berterus terang. Ketika suatu hari saya dipaksa mempelajari kitab kuning saya bertanya, “Untuk apa belajar kitab seperti ini, Yah?”
Apa jawaban Ayah? “Suk nek Gedhe Kowe ngerti dhewe”, yang artinya nanti saya sudah besar akan mengerti sendiri.
Demikian juga ketika saya disuruh belajar kitab Syarah dari kitab kuning awal itu di tempat Pak Dhe. Sebelum saya protes dan bertanya untuk apa, Ayah keburu berkata, “Cepet berangkat ke rumah Pakdhemu. Suk nek gedhe kowe ngerti dhewe.”
Begitulah, Ayah punya jawaban standar untuk pertanyaan pertanyaan saya, “Nanti kalau sudah besar akan mengerti sendiri.”
Ketika suatu hari Ayah membeli kitab hadits yang ada terjemahannya bahasa Jawa ditulis dengan huruf Pegon, saya bertanya untuk apa? Jawabnya, “Suk nek wis gede ngerti Dewe.” Akhirnya saya bosan tidak bertanya-tanya lagi pada Ayah.
Tetapi suatu hari keinginan bertanyaku kumat. Saat itu saya sudah khatam turutan atau Qaidah Baghdadiyah. Saya diajari membaca Al-Qur’an. Lancar-lancar saja sampai banyak juz dan banyak surat.
Waktu itu Ayah masih sibuk mencari rotan yang saya sembunyikan. Sebab Ayah suka memukulkan rotan sebesar ibu jari kaki ke meja kayu tempat saya mengaji, kalau saya salah membaca ayat-ayat suci, atau kurang panjang dalam membaca huruf hidup yang ada tanda atau kode mad-nya. Saat Ayah sibuk mencari rotan pemukul itu saya buka-buka kitab suci mulai halaman pertama.
Dalam diri saya muncul pertanyaan, kenapa kitab suci ini diawali dengan surat Al-Fatihah? Wah, ini bahan pertanyaan untuk Ayah. Rotan pemukul itu tidak diketemukan, selamatlah saya dari ancaman mendengar ledakan suara rotan dipukulkan ke meja.
Kadang kalau kesalahan baca saya parah, rotan itu muncul menyapa dahi saya yang bertulang keras, maka saya pun mengaji sambil menangis sampai ibu saya gelisah di balik dinding gedeg penyekat ruang dalam dengan tempat mengaji.
Tapi ibu membiarkan saja saya mengaji sambil menangis, tidak mau menginterupsi pengajaran gaya pesantren kuno yang diterapkan Ayah. Karena menurut cerita Ayah, di pesantren pernah ada santri yang ilmunya bertambah berlipat-lipat setelah dahinya dipukul pakai rotan oleh Kiai.
Ibu saya yang pernah mengajar di taman kanak-kanak sebenarnya tidak tega mendengar saya mengaji sambil menangis, tapi ibu tidak berani menegur Ayah.
Nah, malam ketika rotan itu aman di tempat persembunyiannya, saya justru bisa mengaji dengan lancar sampai beberapa ruku’. Mungkin Ayah heran kenapa malam ini saya bisa secerdas itu? Dalam hati saya tertawa, jelas saya makin cerdas dong, karena ngajinya tidak berada di bawah ancaman rezim rotan.
Waktu saya selesai mengaji dan selesai membaca takbir, saya bertanya kepada Ayah seraya membuka halaman pertama Al-Qur’an, “Yah, kenapa kitab suci ini diawali dengan surat Al-Fatihah?” Ayah memandang saya sambil tersenyum. Jawabnya, “Suk nek wis gede kowe ngerti sendiri.”
Wah, saya kecewa mendengar jawaban standar itu-itu lagi, “Kalau sudah besar kamu akan mengerti sendiri.”
Risikonya, ketika saya sudah besar saya justru lupa dengan pertanyaan itu. Saya terlalu sibuk bekerja dan aktif di berbagai organisasi atau komunitas, sehingga tidak pernah lagi ingat bahwa saya pernah punya banyak sekali pertanyaan yang tidak dijawab Ayah. Intinya saya disuruh mencari jawaban sendiri.
Khusus tentang Al-Fatihah, dulu di perpustakaan Pemuda Muhammadiyah yang berdiri sejak tahun 1926, yang tahun 1970 dikelola saya dan teman-teman Pemuda Muhammadiyah ada koleksi buku lama, judulnya Samudera Al-Fatihah, karangan Kolonel Bachrum Rangkuti.
Buku itu saya baca dan tidak sempat saya hafalkan isinya. Keburu pengarang buku itu suatu pagi berkunjung ke perpustakaan, dia melihat buku itu. Dia bilang ini buku langka. Pengarang saja tidak punya. Dengan alasan buku itu akan dicetak ulang, dia minta buku itu dengan memberikan uang ganti rugi yang lumayan banyak untuk harga buku yang tidak begitu tebal halamannya. Buku itu kami lepas dan cetakan barunya tidak sempat kami peroleh, keburu teman-teman Pemuda Muhammadiyah pergi berpencar ke berbagai kota.
Saya merantau ke Jakarta lalu pulang, menetap di kota Yogyakarta. Pertanyaan soal Al-Fatihah di awal kitab suci dan masalah cetakan ulang buku Samudera Al-Fatihah pun tertutup oleh kegiatan dan persoalan sehari-hari di kantor dan di rumah.
Nah, ketika hari-hari ini saya harus bekerja di rumah dan berpuasa juga berdiam di rumah, pertanyaan waktu kecil itu muncul lagi. Apa istimewanya Al-Fatihah hadir di awal kitab suci?
Saya pun membacanya pelan sambil menyerap konstruksi makna yang terkandung di dalamnya. Saya betul-betul tergugah oleh Al-Fatihah ketika menyadari kalau surat ini memberi petunjuk penting kepada manusia agar pas patrap hidupnya dan pener arah hidupnya.
Patrap bersyukur karena hidup manusia senantiasa diasuh oleh Allah SwT dengan penuh kasih sayang yang sekaligus menyadarkan bahwa tingkah laku dan tindak-tanduk perbuatan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan Yang Memiliki Hari Pengadilan.
Allah SwT juga mengajarkan, patrap hidup manusia adalah mengabdi setia sebagai hamba kepada sang Khalik, dan hanya mengarahkan doa permintaan tolong kepada Allah SwT.
Doa apa yang paling strategis agar hidup manusia menjadi punya arah atau orientasi yang jelas dan tepat? Yaitu doa agar diberi petunjuk untuk mengikuti jalan yang ditempuh orang-orang yang istiqamah.
Yaitu orang-orang yang sepanjang hidupnya melewati jalan yang yang diridlaiNya (bukan jalan yang membuat Allah SwT marah kalau kita melewatinya) dan jalan terang-benderang (bukan jalan yang gelap yang menyebabkan manusia tersesat di dalamnya).
Orang-orang istiqamah itu tidak berlebih-lebihan dalam beragama dan tidak semau gue dalam beragama. Ini antara lain hikmah tersembunyi diletakkannya Al-Fatihah di awal Al-Qur’an.
Nah kalau kesimpulan atau penemuan sederhana ini saya sampaikan kepada Ayah (seandainya sekarang Ayah masih hidup) mungkin ayah tersenyum diikuti suara tertawanya yang lunak. “Benar kan kalau kau sudah besar akan mengerti sendiri.”
(Mustofa W Hasyim)