Rheza Firmansyah
Berdasarkan kalender demokrasi Indonesia, pada bulan september 2020 mendatang akan melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Namun penyelenggaraan pilkada tersebut tidak dapat dilakukan akibat pendemi Covid-19. Dengan kondisi demikian Komisi II DPR RI bersama dengan Pemerintah dalam hal ini diwakili oleh Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) penyelenggara pemilu yang terdiri dari unsur KPU, Bawaslu, dan DKPP melakukan rapat dengar pendapat (RDP) yang dilakukan di Komisi II DPR RI. Rapat dengar pendapat tersebut terhitung dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dan terakhir dilaksanakan pada 14 april 2020 lalu.
Dalam rapat dengar pendapat ini menghasilkan kesepekatan yakni: Pertama, dalam hal penundaan pilkada diperlukan dasar hukum yang kuat setingkat undang- undang, oleh karena itu Pemerintah didorong untuk segera menerbitkan Perppu penundaan Pilkada 2020. Pemilihan Perppu sebagai payung hukum penundaan Pilkada 2020 dinilai lebih praktis dan memiliki dasar konstitusional pada pasal 22 UUD NRI 1945 yang selaras dengan kegentingan di tengah pandemi Covid 19.
Kedua, sepakat melaksanakan pilkada pada 9 Desember 2020 (ditunda 3 bulan) opsi ini didasarkan pada batas akhir darurat nasional pada 29 Mei 2020. Dengan demikian otomatis bagi penyelenggara pemilu akan mengaktifkan kembali jajaran penyelenggara ad hoc baik itu dari KPU maupun Bawaslu dan memulai kembali tahapan Pilkada sebagaimana yang telah ditetapkan. Pemilihan opsi ini patut menjadi perhatian publik mengingat pandemi Covid-19 ini sulit diprediksi berakhirnya apabila jumlah penderita pasien positif covid terus melonjak dan belum tahu kapan berakhirnya.
Hal ini menjadi sangat riskan apabila opsi ini terus dilanjutkan. Kondisi masyarakat juga tidak dapat 100% antusias terhadap penyelennggaraan pilkada 2020 akibat pandemi covid 19,sehingga euforia pilkada bisa jadi berkurang. Selain itu dari segi finansial masyarakat juga mengalami penurunan drastis akibat PHK besar besaran. Akibatnya pola fikir masyarakat dalam menentukan calon kepala daerah juga ikut terpengaruh. Masyarakat akan cenderung lebih pragmatis dalam menerka pilihan politiknya. Dengan demikian bukan tidak mungkin akan menjadi bahan kapitalisme peserta pilkada maupun bakal calon yang akan berlaga di pilkada.
Bantuan masker, alkohol, cairan desinfektan, bagi bagi sembako merupakan senjata ampuh yang dapat dikeluarkan sewaktu- waktu. Calon yang memiliki modal besar tapi minus kualitas akan mudah menggaet hati masyarakat, sedangkan calon yang modalnya pas- pasan akan tetapi secara kualitas gagasan bagus akan tenggelam dengan sendirinya. Alhasil tidak menutup kemungkinan akan menghasilkan kepala daerah yang memiliki kapasitas dan integritas yang rendah.
Kemudian soal anggaran, UU Pilkada mengatur bahwa pilkada dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dalam prosesnya, tidak sedikit kendala yang dihadapi penyelenggara di daerah untuk sampai pada penandatanganan Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) sebagai basis pembiayaan pilkada. Mulai dari sulitnya mencapai kesepakatan alokasi anggaran yang diperlukan, politisasi anggaran oleh petahana, sampai ketidaksetaraan alokasi anggaran antara satu daerah dengan daerah lain akibat penyesuaian dengan kemampuan keuangan masing-masing daerah ditambah lagi banyak daerah yang kemudian mengalokasikan dana untuk pelaksanaan Pilkada tersebut dialihkan guna penaganan pandemi Covid 19.Tentu hal tersebut sangat sulit bagi penyelenggara untuk melaksanakan setiap tahapan pilkada ditengah ketidakpastian.
Akan tetapi jika pelaksanaan Pilkada ini dilakukan pada tahun 2021, sedangkan di tahun 2024 ada wacana menggabungkan antara Pemilu dan Pilkda, tentu akan menjadi persoalan lagi. Para calon kepala daerah baik pendatang baru maupun petahana yang berasal dari jalur perseorangan maupun parpol akan berhitung political cost yang dikeluaran dengan masa jabatan sekitar 2,5 tahun. Biaya politik yang mahal tentu peserta pilkada bisa jadi menganggap tidak sepadan antara ongkos politik dan masa jabatan yang singkat. Lebih lagi jika berbicara mengenai program kerja dengan masa jabatan yang singkat tentu tidak akan optimal.
Persoalan ini juga bertentangan dengan pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilkada yang mengatur masa jabatan kepala daerah selama 5 (lima) tahun sejak tanggal dilantik. Jika pilkada tetap dilaksanakan pada 2021 mendatang dan hanya berselang 3 tahun saja setelahnya tahun 2024 akan digelar pilkada serentak kembali. Tentu hal ini akan memboroskan anggaran. Belum lagi persoalan gesekan sosial yang terjadi di masyarakat pasca pelaksanaan pilkada di tahun 2021. Selain itu tidak menutup kemungkinan akan banyaknya gugatan perselisihan hasil pilkada ke Mahkamah Konstitusi.
Persoalan- persoalan tersebut harusmenjadi perhatian serius bagi pemerintah. Maka Perppu penundaan pilkada 2020 dan melaksanakannya di tahun 2024 adalah solusi yang ideal bagi penataan Pilkada serentak secara nasional. Sedangkan untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah dapat ditunjuk pelaksana tugas yang berasal dari pejabat struktural di lingkungan pemerintah daerah.
Terkait kekhawatiran beberapa pihak tentang tugas, kewenangan, dan kewajiban yang terbatas bagi pelaksana tugas kepala daerah sebanarnya sudah terjawab di dalam Pasal 9 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 74 Tahun 2016 yang menjelaskan bahwa Pelaksana Tugas Kepala Daerah dapat menetapkan APBD, menetapkan kebijakan, menjaga netralitas ASN, melakukan pengisian dan penggantian pejabat sesuai peraturan perundang- undangan yang berlaku. Terlepas dari itu semua Pelaksana Tugas Kepala Daerah haruslah memiliki kompetensi, kapasitas dan integritas.
Rheza Firmansyah, Alumni Muallimin, Anggota Bidang Hukum HAM PW PM DIY, Pegiat Hukum dan Demokrasi