Marsinah, Pejuang Hak Buruh Lulusan Sekolah Muhammadiyah
“Setiap yang hidup harus makan, yang dimakan hasil kerja, jika tidak bekerja, tidak makan, jika tidak makan pasti mati. Inilah undang-undangnya dunia, inilah undang-undangnya hidup. Mau tidak mau semua makhluk harus menerima undang-undang ini.” Pidato Bung Karno Dalam Rangka HUT RI ke-8 pada Tanggal 17 Agustus 1953.
Apa kabar dengan keadaan atau nasib buruh kita hari ini? Mungkin masih seperti namanya yang terdengar keras dan kasar. Keras hidupnya dan kasar tanggungjawab serta majikannya. Apalagi setelah dihantam badai Corona yang meluluh lantahkan seluruh sendi perekonomian masyarakat, tidak terkecuali kaum buruh. Tsunami PHK yang terjadi hampir di setiap daerah mengirimkan sinyal kuat kepada kita bahwa buruh harus bekerja lebih keras dari yang sebelumnya sudah sangat keras. Menerima gaji bulanan atau tunjangan pensiun yang sangat pas-pasan di tengah nilai kebutuhan hidup yang terus merangkak naik merupakan kenyataan yang harus diterima oleh sebagian besar saudara kita kaum buruh.
Sepertinya keadaan tidak banyak berubah, sebagaimana yang dialami oleh Marsinah, tiga dekade silam yang hanya seorang buruh pabrik arloji PT CPS di Sidoarjo. Namun namanya terus berdengung sampai hari ini karena semangat dan upayanya memperjuangkan hak buruh yaitu terkait dengan kenaikan upahnya. Hal tersebut merupakan bentuk manifestasi dari perasaan terpendamnya untuk keluar dari tekanan kesulitan hidup. Bebas dari belenggu ketidakadilan dan himpitan kemiskinan merupakan obsesi perjuangannya.
Nasib baik adalah anda dilahirkan kemudian bermanfaat. Dalam kenyataannya setiap manusia tidak dapat memilih untuk dilahirkan dari keluarga yang seperti apa. Sejak kecil Marsinah sudah terbiasa menghadapi kesulitan hidup. Saat usia dua tahun Marsinah sudah ditinggal mati ibunya. Setelah ayahnya menikah lagi, ia dipungut anak oleh pamannya. Sejak SD ia sudah bergelut mencari nafkah, berjualan kue selepas sekolah. Kehidupan seperti itu ia jalani hingga lulus SMA Muhammadiyah pada tahun 1989.
Kepahlawanan Marsinah
Selepas SMA ia langsung bekerja karena tidak memiliki biaya untuk meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Kebiasaan mandiri terus ia tempuh dengan berjualan bahan pakaian, seprei, buku-buku dan barang-barang lain di tempat kerjanya. Marsinah juga merupakan sosok yang gemar membaca apa saja dari buku dan koran. Di samping itu ia juga mengikuti kursus komputer dan bahasa Inggris. Keterbatasan tidak menghalangi tekadnya untuk terus belajar apa saja yang mampu ia jangkau.
Hingga saat ini namanya harum dikalangan kaum buruh. Sebenarnya peristiwa ini bermula dari tuntutan yang sangat sederhana, tuntutan kenaikan upah bagi kaum buruh. Seandainya tuntutan tersebut dikabulkan, maka masalah akan selesai. Namun kenyataan berkata lain, perusahaan menolak tuntutan yang akhirnya berujung pada unjuk rasa karena beberapa buruh merasa tidak puas, dan Marsinah ikut di dalamnya. Perusahaan mengancam untuk memecat 13 orang pengunjuk rasa. Marsinah pun tidak bisa tinggal diam, ia balik mengancam akan membongkar rahasia perusahaan jika pemecatan terjadi.
Setelah kejadian tersebut Marsinah gugur dalam keadaan sangat menyedihkan. Ia gugur sebagai seorang pejuang atas nama keadilan dan kemanusiaan. Marsinah juga dinominasikan untuk menerima penghargaan “Yap Thiam Hien Human Right Award” dari Yayasan Pusat Studi Hak Asasi Manusia di Jakarta. Lebih dari itu, banyak yang mengusulkan supaya Marsinah diberi gelar pahlawan. Tidak ketinggalan, Pimpinan Pusat Muhammadiyah pun telah menetapkan Marsinah sebagai pahlawan. Sidang Tanwir Muhammadiyah II di Surabaya pada bulan Desember 1993 menetapkan Marsinah sebagai “Pahlawan Pekerja”. Sikap Muhammadiyah tersebut tidak sendirian. Jauh sebelum Muhammadiyah menentukan sikapnya, beberapa kalangan telah memberikan penghargaan serupa.
Sepenggal kisah Marsinah ini setidaknya sudah cukup untuk mewakili nasib jutaan buruh yang banyak dilupakan kepentingan. Berjuang melawan tirani kekuasaan yang tak berkesudahan. Memeras keringat untuk sesuap nasi dan seteguk dahaga sehari kedepan. “Yang ada disyukuri, jika tidak ada dicari dan diupayakan. Yang terpenting besok kami masih bisa makan”. Sulit bagi mereka untuk berpikir, bermimpi, dan berharap jauh kedepan, jika upahnya hanya cukup untuk mengganjal perut yang sedang lapar. (diko)