Rahmat Allah Lebih Besar daripada Murka-Nya

Royyan Mahmuda Al’Arisyi Daulay

Dalam buku Kisah 1001 Malam, ada sebuah cerita tentang Abu Nawas saat didatangi ketiga muridnya. Lantas mereka masing-masing bertanya kepada gurunya. Orang pertama memulai pertanyaan, ” Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?. “

” Orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil, ” Jawab Abu Nawas.

” Mengapa? ” kata orang pertama.

” Sebab lebih mudah diampuni oleh Tuhan, ” kata Abu Nawas. Orang pertama puas karena ia memang yakin dengan argumentasi seperti itu. Lalu orang yang kedua bertanya dengan pertanyaan yang sama, ” Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil? “

” Orang yang tidak mengerjakan keduanya, ” jawab Abu Nawas.

” Mengapa? ” kata orang kedua.

” Dengan tidak mengerjakan keduanya, tentu tidak memerlukan pengampunan dari Tuhan, ” kata Abu Nawas. Orang kedua pun bisa menerima pendapat tersebut, karena sesuai dengan harapannya.

Kemudian orang ketiga bertanya hal yang serupa, ” Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil? “

” Orang yang mengerjakan dosa-dosa besar, ” jawab Abu Nawas.

” Mengapa? ” kata orang ketiga.

” Sebab pengampunan Allah kepada hamba-Nya sebanding dengan besarnya dosa hamba itu, ” jawab Abu Nawas. Orang ketiga menerima alasan gurunya itu.

Lantas ketiga murid itu bingung, mengapa jawaban atas pertanyaan yang sama bisa berbeda. Setelah itu Abu Nawas menjelaskan, ” Bahwa manusia itu dibagi tiga tingkatan. Tingkatan mata, tingkatan akal, dan tingkatan hati. Anak kecil yang mengatakan bahwa bintang di langit itu kecil atas dasar pengelihatannya saja, maka itu tingkatan mata. Lalu ada orang yang mengatakan bahwa bintang itu besar apabila melihat menggunakan alat, maka ini masuk kategori tingkatan akal. Kemudian ada pula orang yang memandang bahwa bintang itu kecil meskipun ia tahu bahwa itu besar, akan tetapi atas dasar pemahamannya yang mendalam mengenai Tuhan, maka ia menganggap bahwa tiada yang lebih besar selain Allah Swt. Pandangan ini merupakan tingkatan hati, biasanya dimiliki oleh ahli hikmah.”

Terlepas dari benar atau tidaknya kisah Abu Nawas tersebut, dari cerita di atas kita bisa memetik hikmah dan pelajaran bagi kehidupan. Kasih sayang Allah Swt benar-benar besar kepada para hamba-Nya. Ketimbang murka-Nya, rahmat Allah lebih luas dan diberikan kepada seluruh makhluk, termasuk kepada orang-orang yang berbuat dosa. Memang yang paling baik adalah tidak melakukan dosa sebagaimana cerita di atas, akan tetapi manusia yang terjamin tidak melakukan dosa hanyalah Muhammad Saw, manusia yang paling mulia.

Sedangkan kita sangat mustahil untuk luput dari perkara yang menyebabkan dosa. Dan Maha Bijaksana Allah yang masih memberikan kita banyak jalan untuk mendapatkan ampunannya. Sehingga tidak pantas bagi kita untuk saling mengutuk hamba lainnya yang dianggap pendosa. Padahal Allah sangat membuka pintu maghfirah-Nya.

Sebagaimana termaktub dalam sebuah hadis Qudsi pada kitab Riyadhus Sholihin, Rosulullah Saw bersabda : Allah berfirman, ” Wahai anak adam, sesungguhnya selama kamu masih berdoa dan berharap kepadaKu, pastilah Aku mengampuni kamu semua atas dosa apa saja yang ada pada dirimu dan Aku tidak mempedulikan berapa banyaknya. Hai anak Adam, apabila dosa-dosamu sampai mencapai mega di langit, kemudian kamu beristighfar kepadaKu, niscaya Aku mengampuni dan Aku tidak peduli seberapa banyak itu. Hai anak Adam, sesungguhnya apabila kamu mendatangiKu dengan membawa berbagai kesalahan hampir sepenuh isi bumi, kemudian kamu menemuiKu, asalkan kamu tidak menyekutukanKu dengan sesuatu pun, niscaya Aku akan datang kepadamu dengan pengampunan sebanyak dosa itu” (HR. Tirmidzi).

Sehingga sangat tidak layak bagi Ahli Ibadah ataupun kita yang biasa saja untuk menyempit-nyempitkan Rahmat dan Maghfirah Allah Swt kepada orang lain yang belum sebarisan dengan kita atas dasar apapun. Karena kita hanyalah sesama ‘abdi Ilahi yang tidak punya hak untuk saling menghakimi.

Wallahu a’lam bisshowab.

Royyan Mahmuda Al’Arisyi Daulay, alumni Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Exit mobile version