Oleh M Husnaini
Apabila ujian dan cobaan tidak mampu mendorong kita untuk kembali kepada Allah, maka manusia macam apakah sesungguhnya kita? “Dan pasti Kami timpakan kepada mereka sebagian siksa yang dekat (di dunia) sebelum azab yang lebih besar (di akhirat), supaya mereka kembali (ke jalan yang benar),” tegas surah As-Sajdah/32: 21.
Praktik kehidupan lokal, nasional, maupun internasional kita boleh jadi telah mencerminkan keangkuhan luar biasa. Peradaban ilmu dan aneka pencapaian akal manusia hampir pada posisi melupakan Tuhan. Kita merasa mampu segala. Berbagai alarm dan peringatan yang telah Tuhan hadirkan selalu kita abaikan.
Tuhan tentu tidak mau kita tersesat terlalu jauh. Covid-19 yang melanda sejak awal tahun 2020 lalu menjotos kesadaran kita. Bermula dari China, kini hampir tidak ada negara yang benar-benar merasa aman dari penyakit mematikan ini. Amerika Serikat yang sering mendaku sebagai “raja dunia” dibuat luluhlantak dan lemah daya.
Tidak terlalu penting berdebat ini azab Tuhan atau bukan. Terlebih kalau hasil akhir perdebatan itu kemudian dipakai untuk menghakimi dan melempar kesalahan pada selain kita. Memaknai persoalan secara demikian justru memperkeruh keadaan.
Hidup ini rangkaian kesenangan dan kesedihan. Yang penting diingat, segala yang menyedihkan belum tentu bentuk kebencian Tuhan ke kita. Karena itu, kita dilarang mengumpat ketika ditimpa segala yang tidak menyenangkan.
Al-Qur’an mengenalkan istilah bala’, fitnah, mushibah, dan ‘adzab. Bala’ bermakna ujian untuk mengetahui kualitas manusia. Al-Qur’an menggunakan kata bala’ bukan hanya dalam pengertian sesuatu yang dinilai negatif oleh manusia, tetapi juga sesuatu yang dinilai positif. Kewajiban-kewajiban agama juga disebut bala’ karena merupakan ujian untuk mengetahui kualitas hamba, dan juga karena berat dipikul. Simak, misalnya, surah As-Shaffat/37: 106 tentang perintah Tuhan kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih Nabi Ismail.
Fitnah juga berarti ujian atau cobaan. Penting digarisbawahi, sebanyak 30 kali kata ini terulang dalam Al-Qur’an, tidak satu pun yang bermakna “fitnah” dalam arti “ucapan yang menjelekkan orang lain” sebagaimana digunakan dalam bahasa Indonesia. Penekanan fitnah lebih ditujukan pada sesuatu yang bersifat sulit. Fitnah juga tidak selalu berarti ujian hidup di dunia, tetapi juga bermakna siksa di akhirat. “Rasakanlah fitnah-mu. Inilah siksa yang dahulu kamu minta supaya disegerakan” (QS Az-Dzariyat/51: 14).
Berbeda lagi dengan mushibah, yang berarti “mengenai” atau “menimpa”. Semua kata mushibah dalam Al-Qur’an digunakan untuk sesuatu yang tidak menyenangkan. Namun, harus diingat bahwa apa yang tidak menyenangkan itu, bila direnungkan, memang tepat dan benar. Karena itu, surah As-Syura/42: 30 menyatakan, “Dan apa saja musibah yang menimpa dirimu, maka hal itu disebabkan karena perbuatan tanganmu sendiri.”
Sementara itu, kata ‘adzab berarti “menjadikan seseorang mengalami lapar yang luar biasa” atau “ujung cambuk.” Karena itu, kata “mengazab” (‘adzdzaba) berarti menghilangkan kenyamanan. Kata ‘adzab, dengan begitu, lebih mengandung makna siksaan. Siksaan tidak selalu berarti ujian atau cobaan, meskipun ada juga ujian atau cobaan yang dirasakan sebagai siksaan.
Demikian penjelasan M Quraish Shihab dalam buku Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui yang diterbitkan oleh Penerbit Lentera Hati.
Wabah Covid-19, dengan demikian, harus kita posisikan secara tepat. Kita dukung dan doakan para ahli bekerja sesuai bidang keilmuan. Para tenaga medis yang berjuang keras untuk mencari vaksin dan berada di garda terdepan untuk menangani para pasien tidak main-main beratnya. Sudah puluhan yang gugur di medan jihad yang mulia itu.
Agama tidak terjun secara langsung menangani persoalan manusia. Al-Qur’an menegaskan agar berbagai macam urusan praktis dan teknis itu diserahkan kepada pakarnya. “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,” perintah surah An-Nahl/16: 43.
Ada sebuah ilustrasi menarik ditulis Sa’ad Riyadh dalam buku Anakku, Cintailah Al-Qur’an yang diterbitkan oleh Penerbit Gema Insani berikut ini:
“Anda bilang Al-Qur’an memuat segala sesuatu dan tidak melupakan sedikit pun,” kata seorang non-Muslim.
“Benar,” respons Muslim. “Dan itu tertulis dalam Al-Qur’an surah Al-An’am ayat 38 yang berbunyi: Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam Kitab.”
“Kalau begitu, apakah Anda bisa menunjukkan ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang tata cara pembuatan roti dari tepung?” tantang non-Muslim.
“Tentu saja bisa,” jawab si Muslim enteng.
“Coba ayat mana yang membicarakan hal itu?”
“Apakah Anda sekarang mau memanggilkan seorang pembuat roti?”
“Ya.”
Setelah tukang pembuat roti datang, Muslim itu bertanya tentang tata cara membuat roti. Tukang pembuat roti kemudian menjelaskan tata cara pembuatan roti secara detail kepadanya.
“Apakah Anda sudah puas dengan jawaban saya?” tanya si Muslim kepada non-Muslim yang bertanya tadi.
“Tetapi Anda tidak menjawab dengan Al-Qur’an yang Anda katakan memuat segala sesuatu,” protes non-Muslim.
Sambil tersenyum, si Muslim menjawab, “Kenapa Anda menuduh saya tidak menjawab dengan ayat Al-Qur’an, padahal jawaban saya itu berdasarkan ayat Al-Qur’an yang berbunyi: …maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui dan saya telah mengamalkan ayat itu dengan bertanya kepada tukang roti, karena dialah yang mengetahui tata cara membuat roti.”
Non-Muslim itu terdiam. Si Muslim kemudian menggenapkan kalimat, “Allah telah mengajarkan kami untuk selalu belajar, mencari ilmu, dan menghormati para ulama. Banyak sekali ayat Al-Qur’an yang mengajak umat Islam untuk belajar dan mencari ilmu dari para ulama kompeten dan mumpuni.”
Tentu kita jangan berpikir bodoh seperti non-Muslim dalam cerita di atas.
Covid-19 harus menyadarkan betapa manusia memang lemah. Tiada tempat kembali yang paling tepat kecuali Tuhan. Kita juga dituntut siap menerima segala perubahan. Covid-19 mengubah semua, dan boleh jadi kehidupan masa mendatang tidak sepenuhnya kembali seperti sedia kala sebelum muncul wabah.
Kita kenal, setidaknya dalam dunia bisnis dan manajemen, istilah “reasons why people resist change”. Ada banyak alasan, dan beberapa di antaranya takut sesuatu yang tidak diketahui (fear of the unknown), takut sesuatu yang baru (fear of the new), terhubung dengan cara/kebiasaan lama (connected to the old way), dan takut meninggalkan zona nyaman (fear of leaving a comfort zone).
Dengan semangat belajar tinggi dan sikap optimis menatap masa depan, kita akan pelan-pelan belajar ilmu-ilmu baru, termasuk keadaan baru, yang mungkin dulu tidak kita alami. Kita begitu senang dengan media sosial dan berbagai perangkat online. Tetapi ketika semua diminta harus dikerjakan secara online seperti sekarang, rasanya juga tidak mudah.
Ada semacam ketidaknyamanan dalam beberapa urusan, karena kita terbiasa dengan tradisi temu jumpa. Komunikasi tidak selalu nyaman dilakukan tanpa ada kontak fisik. Tetapi, inilah fakta di depan mata. Sekali lagi, Covid-19 telah mengubah banyak kebiasaan kita.
Kita harus terus tingkatkan radar ilmu dan iman. Semoga kita semua kuat dan lulus dengan ujian Tuhan, apa pun bentuk yang diberikan. Wabah jangan membuat kita kalah dan menyerah. Tuhan bersama kita.
_
M Husnaini, Kandidat Doktor di International Islamic University Malaysia (IIUM) dan Anggota Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Malaysia