Agusliadi
Tulisan ini tujuan utamanya sebagai kado Milad Pemuda Muhammadiyah yang ke-88 yang jatuh pada tanggal 2 Mei 2020. Meskipun demikian, sesungguhnya melalui tulisan ini, saya menaruh harapan dan memiliki optimisme bahwa masa depan Indonesia ada di tangan Pemuda Muhammadiyah.
Harapan dan optimisme ini bukan tanpa alasan, namun potensi utama yang dibutuhan Indonesia sebagai nation-state ada dalam diri Pemuda Muhammadiyah. Pemuda Muhammadiyah yang merupakan organisasi otonom Muhamadiyah dan memiliki posisi strategis. Dan elan vital tersebut built-in dalam dirinya.
Indonesia sebagai nation-state, hari ini masih jauh dari apa yang telah diimajinasikan dan diidealisasikan oleh para founding father bangsa ini. Ada selaksa fenomena atau realitas yang mengokohkan argumentasi tersebut sebagai antitesa dari apa yang telah termaktub dalam konstitusi negara khususnya dalam pembukaan Undang – Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia tahun 1945. Baik sebagai cita – cita maupun sebagai tujuan nasional.
Tentunya, kita dan terutama saya tetap tidak bisa bersikap nihilistik (menilai bahwa tidak ada sama sekali kemajuan dalam hal pembangungan). Indonesia telah mengalami banyak kemajuan dibandingkan beberapa dekade sebelumnya, hanya saja Indonesia masih tertinggal jauh dari derap langkah kemajuan bangsa lain.
Indonesia negeri yang kaya raya akan sumber daya alam. Bahkan seorang Beni Pramula ˗˗ Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah Periode 2014-2016 dan Presiden Pemuda Asia Afrika ˗˗ dalam Ironi Negeri Kepulauan (2015) menggambarkan bagaimana dirinya “tercenung kagum menyaksikan keindahan gugusan pulau –pulau yang terbentang bagaikan serakan mutiara dari Sabang hingga Papua”.
Setelah menyajikan data – data, argumentasi dan perspektif pada akhirnya, dirinya (Baca : Beni) sampai pada kesimpulan betapa ironisnya negeri ini, dan salah satu bagian tulisannya dalam buku tersebut, menyebut “Negeri Para Mafia”.
Satu dekade terakhir bahkan sampai pada hari ini, dalam pengamatan saya, carut marut kehidupan masih mewarnai jagad kehidupan berbangsa dan bernegara. Rancangan Undang – Undang (RUU) tentang omnibus law, PERPPU tentang penangangan COVID19, dan beberapa kebijakan lain masih menuai kontroversi dan penolakan keras.
Bahkan saya khawatir sebagai “diksi pencerahan dan penyadaran”, Fajlurrahman Jurdi (2015) itu akan terjadi. Dimana kita sedang menunggu lonceng perlawanan datang; elit bangsa ini sedang menanam benih revolusi; dan sedang menunggu kejatuhannya. Sebagaimana menurutnya kekuasaan harus sensitif pada kehendak rakyat, dan itu seakan nampak buram.
Cuaca perpolitikan Indonesia dalam atmosfir “demokrasi” yang menjadi kebanggaan Francis Fukuyamasebagaimana dalam tesisnya The End of Histrory and The Last Man (1999) −sistem pemerintahan yang terbaik dan sebagai pemenang −dalam konteks ke-Indonesia-an seakan menampakkan “cuaca buruk dan ekstrem”.
Salah satunya relevan dengan pidato Haidar Nashir –Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada pembukaan Munas Tarjih Muhammadiyah XXX (2018) − yang menyoroti tentang politik uang agar tidak dipahami dalam perspektif fenomena “hilir”, tetapi perlu dipahami secara komprehensif dan sampai pada kesimpulan bahwa “Demokrasi kita sebenarnya sudah matang, tetapi aktornya belum Akil Baligh”.
Perspektif Fajlurrahman Jurdi (2013), kita hanya sampai pada pencapaian demokrasi prosedural dan belum sampai pada demokrasi substansial. Hal ini karena pengaruh politik oligarki yang menenggelamkan politik etika dan political wisdom menurut perspektifJeffrieGeovanie (2013).
Haedar Nashir (2018) mengajukan satu pertanyaan “Benarkah kita mencintai Indonesia sepenuh jiwa-raga tatkala kehidupan kebangsaan ini sarat tarikan kepentingan yang serba niscaya?”. Berbangsa dan bernegara hari ini menjadi hitam putih, bertabrakan keras, masuk dalam pendulum ekstrim.
Beberapa bulan yang lalu narasi itu kembali menggeliat dan membuat bangsa ini kembali gaduh pasca pernyataan kontroversial seorang kepala BPIP yang membenturkan agama dan pancasila. Selang beberapa hari Haedar Nashir (2020) menggugah kesadaran dan menunjukkan̶ istilah saya ̶ “kemarahan intelektual”nya dengan lahirnya tulisan/artikel “Dunia Ekstrem Indonesia”.
Sekelumit problematika Indonesia sebagai nation-state, jika saya meminjam perspektif fenomena “hilir” Haedar Nashir (2018) dan berangkat dari pandangan Hajriyanto Y. Thoharidalam Islam Berkemajuan Untuk Peradaban Dunia (2015) ketika menarasikan dan mendeskripsikan terkait refleksi seorang kader Muhammadiyah tentang Indonesia bahwa, “Kemajuan itu (dalam hal ini Indonesia) Masih Jauh Di Depan Sana”.
Ada sekelumit problematika yang menjadi dasar argumentasi, refleksi dan kesimpulan intelektualnya yang membawa dirinya sampai pada kesimpulan tersebut. Dan di antara problematika yang disajikan, saya menilai ada satu hal yang relevan dengan tulisan ini dan menjadi pemantik sehingga bangsa ini sedang “sakit” dan mudahan – mudahan tidak sampai “sakratul maut”.
Sajian problematika Hajriyanto Y. Thohari yang dimaksudkan adalah Problem Kepemimpinan. Ketika saya meminjam perspektif ̶ lupa sumbernya, saya hanya ingat bahwa kuntowijoyo pernah menyusun sebuah bangunan teori tentang Ilmu Sosial Profetik ̶ sifat Kepemimpinan Profetik sebagai derivasi dari Q.S At-Taubah Ayat 128.
Ada tiga sifat kepemimpinan profetik dan dalam lensa kesadaran dan intelektualitas saya, itu yang tidak dimiliki oleh sebagian besar pemimpin dan/atau elit bangsa Indonesia hari ini, mulai dari pusat sampai ke daerah. Alhamdulillah, sebagaimana sikap awal saya, tidak nihilistik, tentunya saya menilai bahwa tetap ada juga yang memiliki sikap kepemimpinan tersebut.
Tiga sifat kepemimpinan profetik yang dimaksud adalah : Pertama, azizin ‘alaihi ma’anittum (sence of crisis), kepekaan, empati dan simpati, Kedua, harisun ‘alaikum (sence of achievement), semangat yang menggebu dan ketiga, raufurrahim (kasih sayang), kebaikan.
Untuk sifat ketiga ini dalam perspektif tangga kepemimpinan Ary Ginanjar Agustian menyebutnya tangga kepemimpinan pertama. Dalam pandangan penulis ESQ ini, “kita bisa mencintai tanpa memimpin, tetapi kita tidak akan pernah mampu memimpin tanpa mencintainya”.
Pemuda Muhammadiyah adalah candradimuka bagi kader – kader Ikatan Pelajar/Remaja Muhammadiyah dan kader –kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah sudah cukup matang, telah melewati locus (tempat) dan tempus (ruang) penggemblengan yang luar biasa. Sehingga di Pemuda Muhammadiyah pada dasarnya kader – kader Muhammadiyah yang berkecimpung pada hakikatnya adalah kader yang sudah jadi.
Pemuda Muhammadiyah bukan lagi sebagai tempat belajar tentang kepemimpinan dan beberapa nilai –nilai yang dibutuhkan dalam berbagai sendi kehidupan. Pemuda Muhammadiyah tempat mengimplementasikan atau lebih dalam tempat untuk melakukan proses eksternalisasi interior (manifestasi hasil berpikir dan renungan mendalam).
Pemuda Muhammadiyah adalah merupakan starting point (titik berangkat) untuk mempersiapkan diri terjun menjadi pimpinan di Muhammadiyah pada level tertentu. Sama halnya dengan Nasyiatul Aisyiyah (salah satu ortom/putri Muhammadiyah), setelah itu terjun ke Aisyiyah.
Ditinjau dari dimensi umur – umur yang berkecimpung dalam Pemuda Muhammadiyah, sangat tepat jika disimpulkan bahwa masa depan bangsa dan negara satu atau dua dekade ke depan ada di tangan Pemuda Muhammadiyah. selain dimensi umur tersebut yang merupakan umur produktif Pemuda Muhammadiyah, dalam dirinya telah built-in sifat yang bisa dikategorisasikan sebagai kepemimpinan profetik.
Sebagaimana tulisan saya yang lain yang juga merupakan kado Milad Pemuda Muhammadiyah, telah membahas bahwa Pemuda Muhammadiyah bukan hanya lahir dari “rahim Muhammadiyah”. Pemuda Muhammadiyah mewarisin gen pemikiran dan pandangan Muhammadiyah. Sebagai “warisan” pemikiran dan pandangan yang utuh, Pemuda Muhammadiyah juga memiliki Pandangan Islam Berkemajuan, etos al-Ma’un, etos welas asih, etos al-Ashr dan termasuk etika cosmopolitan.
Dan berdasarkan pemahaman tersebut, saya berani menyimpulkan bahwa Pemuda Muhammadiyah sebagai episentrum (pusat) kepemimpinan profetik. Kepemimpinan profetik yang saya maksudkan dalam diri Pemuda Muhammadiyah bukan hanya sebagai diskursus yang memperkaya wacana tetapi termanifestasikan dalam praksis sosial.
Pemuda Muhammadiyah sebagaimana sifat pertama dari kepemimpinan profetik yakni, sence of crisis tidak lagi diragukan. Program dan kegiatan yang direncanakan dan telah dilaksanakan banyak yang mengindikasikan, menandakan sebagai bentuk sence of crisis.
Terkait sence of crisis secara “genetik” pemikiran dan pandangan Muhammadiyah telah hadir dan sangat dirasakan oleh masyarakat jauh sebelum kemerdekaan Indonesia. Sence of crisis merupakan pengejawantahan dari pandangan keagamaan Muhammadiyah yang bermuara pada dua etos yakni: Al-Ma’un, etos welas asih dan bahkan termasu percikan dari etos al-Ashr dan etika kosmopolitas.
Sifat kepemimpinan profetik yang kedua yaitu sence of achievement (semangat yang menggebu), Muhammadiyah sebagai induknya sejak awal berdirinya memiliki semangat yang luar biasa termasuk dalam mendorong spirit pembaharuan.
Dan pembaharuan yang dilakukan oleh Muhammadiyah (dan sudah pasti spirit terwariskan ke dalam diri Pemuda Muhammadiyah) dalam pandangan Nurcholish Madjid menilai sebagai break trought, suatu lompatan dan terobosan, tidak berdasarkan prakondisi sebelumnya (Haedar Nashir, 2010:4).
Untuk contoh lainnya dan dilakukan oleh Pemuda Muhammadiyah sendiri, bagaimana Pemuda Muhammadiyah senantiasa hadir mengambil peran – peran penting dalam sendi kehidupan berbangsa dan bernegara dengan spirit utama tampil sebagai aktor untuk memperbaiki keadaan sebelumnya. Dan ini berada dalam bingkai ”ber-fastabiqul khairat”.
Sifat kepemimpinan profetik yang ketiga yaitu kasih sayang. Terutama untuk hal ini tentunya Muhammadiyah dan termasuk organisasi otonomnya tanpa kecuali Pemuda Muhammadiyah tidak diragukan lagi. Etos welas asih selama ini bukan hanya retorika belaka namun menjadi sebuah pandangan, pijakan/landasan aksi pergerakan.
Etos welas asih dalam diri Muhammadiyah dan ortom -ortomnya sebagaimana konsepsi Habitus Pierre Bourdieu telah melewati sebuah proses internalisasi eksterior. Etos welas asih lahir dengan landasan teologis, ideologis, filosofis dan epistemologis yang jelas.
Disarikan dari Al-Qur’an dan Sunnah yang menjadi pegangan utama Muhammadiyah, termasuk hasil pemikiran mendalam Muhammadiyah dalam mengarungi perjalanan sejarahnya. Terkait sifat kepemimpinan profetik yang ketiga ini, Pemuda Muhammadiyah telah menunjukkan praksis sosial yang jelas, bagaimana Pemuda Muhammadiyah memperjuangkan korban tuduhan teroris dan termasuk yang terakhir membela Novel Baswedan
Selain daripada itu beberapa aksi keberpihakan terhadap mustadh’afin pada periode sebelumnya dan untuk periode sekarang bisa kita lihat bagaimana Pemuda Muhammadiyah di tengah wabah covid-19 ini secara massif melakukan penggalangan dana untuk selanjutnya disalurkan ke korban dampak covid-19. Ini dilakukan mulai dari tingkat Pusat sampai di tingkatan cabang.
Jadi apa yang saya simpulkan Pemuda Muhammadiyah Episentrum Kepemimpinan Profetik bukan tanpa alasan. Ini menjadi harapan, optimistik dan sekaligus modal keyakinan dalam meneropong bangsa dan negara, Indonesia yang berkemajuan pada beberapa dekade ke depan.
Dan tentunya Pemuda Muhammadiyah harus mengambil peran strategis sejak dari sekarang.
Agusliadi, Eks Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng, sekarang menjabat sebagai Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan