Muhbib Abdul Wahab
Ramadhan merupakan bulan suci yang kedatangannya sangat dirindukan dan disambut umat Islam dengan penuh suka cita. Karena selama berpuasa Ramadhan umat Islam sejatinya diberikan kesempatan emas untuk memasuki sebuah universitas kehidupan universal (university of life), yaitu universitas Ramadhan. Dalam universitas ini umat Islam belajar, menempa diri, dan membentuk karakter Islami melalui program pendidikan holistik integratif Ramadhan.
Mengapa Ramadhan harus dimaknai sebagai universitas kehidupan universal? Bagaimana shaimin (puasawan) dan shaimat (puasawati) menjadi pembelajar yang kaya motivasi dan inspirasi Ramadhan, sehingga ketika “diwisuda” pada hari raya Idul Fitri sukses meraih prediket cumlaude takwa: la’allakum tattaqun” (semoga menjadi orang-orang bertakwa)? Universitas kehidupan Ramadhan itu ibarat universitas universal dan terbuka, universitas multidimensi nilai, universitas global lintas suku, bahasa, budaya, adat istiadat, dan bangsa. Universitas ini buka 24 jam; siang dan malam beroperasi melayani puasawan dan puasawati yang benar-benar mencari dan menggapai jati diri takwa sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya.
Meneguhkan Iman
Dalam universitas Ramadhan, puasawan dan puasawati wajib mempelajari aneka ilmu dan meneguhkan keimanannya. Dalam merespon panggilan “Ya ayyuha al-ladzina amanu kutiba alaikum as-shiyam…”, puasawan dan puasawati menyikapi dan meresponinya dengan sami’na wa atha’na. Salah satu indikator puasawan dan puasawati sukses belajar di universitas ini adalah merasakan nikmat dan indahnya berpuasa Ramadhan. Ibadah Ramadhan tidak dirasakan sebagai beban kewajiban yang memberatkan, tetapi diyakini sebagai kebutuhan dan kenikmatan hidup, seperti kebutuhan fisik lainnya: makan, minum, olah raga, istirahat, tidur, dan sebagainya.
Universitas ini juga mengajarkan bahwa iman merupakan modal spiritual terpenting karena memberi energi positif bagi setiap gerak langkah puasawan dan puasawati. Di universitas ini, puasawan dan puasawati dilatih meyakini bahwa puasa itu baik dan bermaslahat bagi hidupnya. Keimanan yang kuat pasti membuat pendiriannya tidak mudah goyah dan tidak merasa malas dan bermalas-malasan dalam menjalani ibadah Ramadhan.
Universitas ini melatih puasawan dan puasawati berhati ikhlas dan jujur dengan meyakini sepenuh hati bahwa puasa itu mengantarkan dirinya kepada ampunan Allah. Hadis Nabi SAW berikut menjadi etos jihadnya melawan hawa nafsu dan godaan setan di bulan Ramadhan: “Siapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap ridha Allah, maka dosa masa lalunya akan diampuni.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Jadi, universitas ini mendidik puasawan dan puasawati beribadah Ramadhan atas dasar iman yang kuat dan semangat mencari ridha Allah yang tinggi, agar dapat meraih tujuan berpuasa: menjadi muttaqin sejati.
Selain itu, universitas ini juga mengajarkan bahwa iman itu ibarat ruh dalam jasad yang membuat organ-organnya dapat berfungsi dengan baik. Iman itu memberi energi positif yang membuat puasawan dan puasawati memiliki tujuan hidup yang jelas. Karena iman yang kuat, puasawan dan puasawati merasakan nikmatnya beribadah dan manisnya ketaatan kepada Allah. Iman juga menjadikan hati dan pikiran puasawan dan puasawati mendapat pencerahan cahaya Ilahi sehingga semua ibadah Ramadhan, yang wajib maupun yang sunnah, dilaksanakan dengan penuh keikhlasan, kekhusyukan, kesabaran, ketekunan, dan kenikmatan.
Dimensi Kemanusiaan
Universitas Ramadhan juga memberi peluang puasawan dan puasawati untuk mengkatualisasikan dimensi sosial kemanusiaan. Dalam hal ini, puasawan dan puasawatidididik mampu mengaktualisasikan nilai-nilai moral, sosial, dan kemanusiaan: jujur, sabar, kasih sayang, berjiwa filantropis, peduli, empati, baik hati, sederhana, gemar bersedekah, dan sebagainya. Pendidikan Ramadhan diorientasikan kepada aktualisasi multiintelegensi, sehingga setelah Ramadhan, puasawan dan puasawati menjadi manusia yang lebih cerdas intelektual, emosional, sosial, kultural, finansial, dan spiritualnya.
Puasawan dan puasawati yang sukses belajar di universitas ini diharapkan menjadi pribadi yang jujur, sabar, welas asih, berjiwa sosial tinggi, gemar bersedekah, suka menolong dan menyantuni fakir miskin, tidak suka menyakiti hati orang lain, menggunjing, apalagi suka marah dan mendendam. Dalam universitas ini, puasawan dan puasawati juga harus belajar mengembangkan budaya toleransi, damai, bersilaturrahim, memaafkan orang lain, antikekerasan, antikemaksiatan, termasuk antikorupsi dan antipersekusi.
Universitas ini juga membiasakan shaimin untuk hidup sederhana. Karena itu, Ramadhan harus menjadi bulan penuh penghematan dan kesederhanaan karena pola makan dan minum puasawan dan puasawati “dipangkas” menjadi hanya dua kali: santap sahur dan berbuka puasa. Sayangnya, fakta empirik menunjukkan bahwa Ramadhan justeru seringkali menjadi bulan peningkatan konsumsi aneka kebutuhan sekaligus peningkatan anggaran belanja rumah tangga.
Menurut Said Nursi, Ramadhan melatih hamba berjiwa ikhlas, berpola hidup hemat, sederhana, dan merasakan penderitaan fakir miskin yang terbiasa lapar, kekurangan makanan dan minuman, sehingga melahirkan sikap empati, peduli, dan gemar berbagi kepada sesama.
Pola hidup sehat, sederhana dalam makan, minum, dan berpakaian merupakan akhlak mulia yang diteladankan oleh Nabi SAW yang mesti dihabituasi dalam diri shaimin. ‘Aisyah ra. meriwayatkan bahwa “Demi Allah, Rasulullah SAW tidak pernah kenyang karena memakan roti dan daging dua kali dalam sehari.” (HR Turmudzi). Sampai meninggal dunia, Nabi tidak pernah makan hingga kekenyangan. Beliau selalu berhenti makan sebelum kenyang, dan tidak pernah menyisakan makanan yang sudah diambilnya, agar tidak mubazir.
Sedemikian pentingnya pola hidup sehat dan sederhana, sehingga Nabi Saw mewajibkan umatnya menerapkan “manajemen perut”. Perut harus dimanaj sedemikian rupa secara proporsional, karena perut berpotensi menjadi sumber penyakit. Dengan puasa, perut hanya diisi sepertiganya untuk makanan, sepertiganya untuk minuman, dan sepertiga lainnya untuk pernafasan. Nabi bersabda: “Tidak ada tempat yang diisi oleh seorang manusia, lebih buruk daripada perut, cukuplah bagi seorang manusia beberapa suap, untuk menegakkan punggungnya. Apabila hawa nafsunya mengalahkannya, maka sepertiga perutnya itu untuk makanan, sepertiga untuk minum, dan sepertiga lainnya untuk nafasnya.” (HR at-Turmudzi).
Tidak jarang puasawan dan puasawati gagal berpuasa akibat gagal memanaj hawa nafsunya lantaran “balas dendam” atas nama kehausan dan kelaparan saat berbuka puasa. Banyak puasawan dan puasawati berhasil mempuasakan perutnya di siang hari, namun gagal mempuasakan “mulut dan perutnya” di malam hari. Akibatnya, capaian puasanya hanya sebatas puasa perut. Rasulullah berulang kali mengingatkan puasawan dan puasawati agar puasanya itu tidak sekadar mendapatkan rasa lapar dan dahaga, sementara nilai-nilai sosial kemanusiaan Ramadhan “menguap” begitu saja. Padahal, pesan moral Ramadhan itu harus diaktualisasikan pada sebelas bulan pascaRamadhan.
Dimensi sosial kemanusiaan Ramadhan juga memotivasi puasawan dan puasawati untukmengembangkan budaya memberi dan berbagi. Menurut ‘Aisyah RA, Rasulullah adalah orang paling dermawan di bulan Ramadhan. Beliau menegaskan bahwa sedekah terbaik adalah sedekah di bulan Ramadhan. Bahkan, shaimin tidak hanya mendapatkan pahala puasanya selama sebulan penuh, tapi juga dapat meraih pahala plus-plus jika misalnya berbudaya berbagi sekadar makanan dan minuman untuk ta’jil bagi musafir atau fakir miskin. Karena memberi makanan dan minuman untuk orang lain itu akan diberi pahala sama dengan orang yang berbuka tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun.
Etos berbagi dan memberi diaktualisasikan sedemikian rupa, sehingga Nabi SAW selalu memotivasi umatnya untuk memberi makan dan minum kepada orang lain. Beliau bersabda: “Makanan untuk dua orang itu bisa mencukupi untuk tiga orang, dan makanan untuk tiga orang dapat mencukupi empat orang.” (HR al-Bukhari dan Muslim). Karena itu, universitas ini mewajibkan umat Islam yang mampu untuk menyempurnakan puasanya dengan membayar zakat fitri dan zakat harta sebagai pembersih hartanya dari hak-hak orang lain sekaligus sebagai manifestasi kepedulian sosial kepada fakir miskin.
Perubahan Mindset
Universitas Ramadhan berorientasi pada perubahan paradigma kehidupan puasawan dan puasawati dari zona nyaman (comfort zone) menuju budaya mutu kehidupan. Karena itu, universitas ini menghendaki puasawan dan puasawati berkomitmen kuat merubah pola pikir, pola tidur, pola bangun, pola makan, pola belajar, dan pola kerja. Karena itu, puasawan dan puasawati harus membudayakan aneka disiplin: waktu, bangun tidur, makan, beribadah, shalat berjamaah, zikir, disiplin berdoa, bekerja, berkarya, berolah raga, tadarus al-Qur’an, bersedekah, beri’tikaf, membayar zakat, dan sebagainya.
Dengan disiplin bangun waktu sahur misalnya, puasawan dan puasawati didik bukan saja untuk memenuhi kebutuhan fisiknya berupa santap sahur, melainkan juga membudayakan pola hidup sehat dan bugar. Menurut sebuah riset, bangun di waktu sahur lalu keluar rumah sejenak untuk menghirup oksigen paling bersih, murni, dan segar (fresh) merupakan salah satu kunci hidup sehat yang selalu dipraktikkan Nabi SAW.
Budaya bangun lebih awal dan menikmati udara segar merupakan anugerah luar biasa dahsyat dan bermanfaat. Salah satu budaya mutu orang bertakwa adalah membudayakan bangun di waktu sahur untuk shalat malam dan beristighfar. “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan mata air, mereka mengambil apa yang diberikan Tuhan kepada mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu (di dunia) adalah orang-orang yang berbuat baik; mereka sedikit sekali tidur pada waktu malam; dan pada akhir malam mereka memohon ampunan (kepada Allah).” (QS al-Dzariyat [51]: 15-18)
Dalam universitas ini, puasawan dan puasawati juga dilatih berbudaya menyegerakan buka puasa (ta’jil). Setelah sekian jam tidak makan dan minum, puasawan dan puasawati dianjurkan untuk menyegarakan berbuka untuk memperoleh kebahagiaan fisikal, berupa kegembiraan dan kenikmataan berbuka. “Orang yang berpuasa itu memiliki dua kebahagiaan, yaitu kebahagiaan saat berbuka dan kebahagiaan saat bertemu dengan Tuhannya (HR Muslim). Selain karena sudah waktunya untuk memenuhi hak perut, berbuka itu terasa nikmat karena organ-organ tubuh kita yang selama berpuasa tidak diasupi makanan dan minuman turut bersyukur.
Jadi, puasawan dan puasawati yang sukses belajar di universitas ini adalah puasawan dan puasawati yang pandai bersyukur.
Universitas Ramadhan memang mengharuskan puasawan dan puasawati cerdas bersyukur, karena syukur itu salah satu kunci kebahagiaan hakiki dan multidimensi. Selain kebahagiaan fisikal, puasawan dan puasawati mestinya juga merasakan kebahagiaan intelektual, emosional, sosial, moral, dan mental spiritual, karena selalu mengingat dan mendekatkan diri kepada Allah dan dekat dengan sesamanya melalui aneka amalan-amalan yang sangat dianjurkan dilakukan selama Ramadhan.
Puasawan dan puasawati yang sukses meraih kebahagiaan bersama universitas kehidupan Ramadhan pasti berhasil menjadi pemenang yang beruntung (faizin) dan semakin bahagia dengan merayakan Idul Fitri. Jadi, Ramadhan itu memang sebuah universitas kehidupan universal yang mencerdaskan dan membahagiakan umat manusia. Karena kita tidak pernah tahu apakah Ramadhan tahun ini merupakan yang terakhir atau masih diberi kesempatan belajar lagi di universitas Ramadhan tahun berikutnya, maka kita harus memanfaatkan momentum studi di universitas ini dengan penuh keikhlasan, ketekunan dan kesabaran. Semoga kita semua sukses menjadi hamba-Nya yang bertakwa dengan derajat yang setinggi-tingginya.
Muhbib Abdul Wahab, Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Wakil Ketua Umum IMLA Indonesia