Royyan Mahmuda Daulay
Dalam sebuah riwayat pernah diceritakan kisah tentang Abu Bakar Ash-Shiddiq pergi berdagang ke Bashrah bersama dengan Nu’aiman bin Amru dan Suwaibith bin Harmalah. Keduanya adalah sahabat Nabi yang pernah ikut dalam perang badar. Saat berada di kota Bashrah, Nu’aiman meminta makanan kepada Suwaibith karena bekalnya habis. Akan tetapi Suwaibith menolak. Lantas Nu’aiman berujar, “Akan aku bikin kau marah” kepada Suwabith. Abu Bakar yang mendengar itu hanya bersikap biasa saja karena dikira Nu’aiman sedang bercanda, pasalnya memang Nu’aiman terkenal sebagai sosok sahabat yang suka bercanda.
Setelah kejadian itu, Nu’aiman pergi ke kerumunan orang sambil berseru, “Belilah dariku seorang budak Arab yang tangkas lagi cerdas. Mungkin saat engkau ambil dia akan berkata : aku orang merdeka, namun jangan percaya. Kalau sampai dia memberontak, biar aku yang menanganinya. Yakinlah dia tidak berbahaya.”
Seseorang lalu menawar, “Aku ingin membelinya seharga 10 ekor unta belia.”
“Tawaran yang bagus, baik aku terima.” Jawab Nu’aiman.
Lantas para pembeli itu mendatangi Suwaith sebagaimana yang diarahkan oleh Nu’aiman seraya berkata, “Kami telah membelimu, ayo ikut.”
Suwaibith yang tampak kebingungan menjawab, “Aku bukan seorang budak, aku orang merdeka. “
Tanpa banyak omong para pembeli itu menjerat leher Suwaibith dan berkata, “Jangan bohong dan melawan, kami telah membelimu dari pria itu.” Seraya menunjuk Nu’aiman.
Abu Bakar yang dari tadi sedang sibuk lantas mengetahui kejadian tersebut. Beliau langsung meluruskan permasalahan dan mengembalikan uang yang telah dibayarkan. Kemudian Abu Bakar menasehati para sahabatnya itu. Setelah kembali dari Bashrah, Abu Bakar menceritakan kejadian tersebut kepada Nabi Muhammad SAW. Lantas Nabi pun tertawa tak henti-hentinya.
Kisah tersebut dicatat dalam kitab, Al-Anbiyaa’ wa al-Sholihuun Yadlhakuun wa Yabkuun, karya Bakr Muhammad Ibrahim (kisah tersebut dapat ditemukan pula dalam Musnad Ahmad). Sahabat Nu’aiman yang diceritakan di atas adalah sosok orang yang ceria dan bersikap lucu semasa hidupnya. Tidak sedikit tingkah-tingkah konyol yang diperbuatnya. Akan tetapi Rosululloh Saw tidak memarahi ataupun melarangnya untuk berbuat demikian. Bukannya apa-apa, sosok Nu’aiman ini memang sudah dikenal oleh Nabi sebagian sahabat yang suka membuat orang lain tertawa. Bahkan tidak sedikit Nabi dibuat mesam-mesem oleh Nu’aiman, seperti kisah di atas.
Adapula riwayat lain yang menceritakan kejadian (dalam kitab yang sama) Nu’aiman menjagal unta milik seorang Badui ketika melewati depan rumah Rosulullah. Kebetulan unta tersebut milik seorang Badui yang sedang mengunjungi Nabi. Ketika selesai bertamu, si Badui kaget melihat unta nya sudah tidak ada. Nabi yang berada di sampingnya pun ikut mencari kemana onta milik Badui itu. Ternyata kata seseorang yang duduk tidak jauh dari situ memberi tahu bahwa Nu’aiman lah pelakunya.
Lantas Rosul pun mendatangi Nu’aiman dan berkata, “Kenapa kau melakukannya Nu’aiman? “
Dengan polos Nu’aiman menjawab, “Sudah lama kita tidak makan daging bersama, Nabi”.
Nabi Muhammad Saw pun tertawa sembari mengusap wajah Nu’aiman. Kemudian mengganti unta milik si Arab Badui tadi.
Kisah tersebut bukan hanya berisikan humor, tetapi membawa pesan secara tersirat bahwa kehidupan Nabi serta para sahabat saat itu tetap diiringi canda dan tawa. Tentu kita tidak bisa menebak mengapa Nabi tetap membiarkan Nu’aiman bertingkah laku lucu seperti itu. Pasti ada banyak rahasia yang hanya diketahui oleh Beliau dan para sahabat saja.
Meskipun tingkah sahabat Nu’aiman seperti itu, tetapi Nabi Saw tetap menjamin beliau sebagai calon penghuni surga. Terlepas dari itu semua, ada hal yang bisa kita petik selain humor dan canda, yaitu mendahulukan kasih sayang ketimbang omongan dengan kemarahan. Tidak bisa dibayangkan bila kita, manusia zaman sekarang, berada bersama Nu’aiman. Tidak menutup kemungkinan emosi dan ocehan lebih dahulu kita layangkan.
Akan tetapi berbeda dengan sikap Abu Bakar dan juga Nabi Muhammad Saw, beliau berdua mendahulukan welas asih daripada sikap yang lainnya. Nabi Muhammad Saw dengan sukarela membantu mengganti unta milik Badui, begitu juga Abu Bakar yang rela menyelesaikan persoalan jual beli di Bashrah tadi. Intinya, ketika manusia yang kita teladani dan ikuti lebih mendahulukan kasih sayang dalam setiap tindakan, mengapa kita tidak. Tentu menjadi keharusan bagi kita untuk bisa menerapkan apa yang telah beliau contohkan, yaitu beragama dengan menyebarkan kedamaian dan kasih sayang.
Wallahu a’lam bisshowab.
Royyan Mahmuda Daulay, Alumni Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta